Penyelamatan Tanah Papua: Sebuah Panggilan Hidup

:
Penyelamatan Tanah Papua: Sebuah Panggilan Hidup

Oleh: Markus Haluk, tokoh awam Katolik Papua, Direktur Eksekutif ULMWP

Bagi saya, pengabdian kepada Gereja dan Tanah Air bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya adalah satu kesatuan. Keduanya berbicara tentang pelayanan, pengabdian, dan penyelamatan manusia. Setiap langkah kecil yang saya lakukan dalam pelayanan di Gereja adalah perwujudan karya penyelamatan bagi umat dan tanah Papua.

Sejarah pelayanan Injil di Tanah Papua dimulai pada 5 Februari 1855, ketika dua misionaris dari Belanda dan Jerman, Carl Willem Ottow dan Johann Gotlob Geissler, menginjakkan kaki di pulau Mansinam. Bagi saya, kedatangan mereka bukan kebetulan. Itu adalah bagian dari rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dan alam Papua. Saat menapakkan kaki di tanah ini, mereka berkata: “Dalam nama Tuhan, kami menginjakkan kaki di tanah ini dan menguduskan tanah ini bagi kemuliaan Tuhan.”

Pesan itu tetap hidup hingga kini. Pada 2022, Bapa Servo Tuamis, tokoh adat dan tokoh awam Katolik di Kabupaten Keerom, menegaskan: “Di Kabupaten Keerom ini, hutan, kali, tanah, air, burung, hewan, dan manusianya adalah milik Tuhan Yesus.” Ungkapan serupa terdengar dari banyak tokoh awam di seluruh Papua: alam dan manusia adalah anugerah Tuhan yang harus dilindungi dan diselamatkan.

Lebih dari 95% Orang Asli Papua mengikuti Kristus, terbagi dalam Katolik dan Protestan. Sisanya beragama Islam dan kepercayaan lain. Menurut data Dukcapil 2021, penduduk Papua beragama Kristen mencapai 2,99 juta jiwa (69,56%), Katolik 675,15 ribu jiwa (15,68%), dan Muslim 627,56 ribu jiwa (14,58%). Sisanya menganut Hindu, Buddha, Konghucu, atau aliran kepercayaan.

Namun, realitas ke depan mengkhawatirkan. Pemekaran provinsi dan arus migrasi dari Indonesia, sebagian besar beragama Islam, terus membanjiri tanah Papua. Bahkan, sebelum pemekaran, seorang purnawirawan Jenderal Indonesia, A.M. Hendropriyono, pernah menyatakan bahwa 2 juta penduduk asli Papua bisa dipindahkan ke Manado, sementara penduduk Indonesia menempati Papua.

Jika tren ini terus berlangsung, saya membayangkan pada 2055—ketika kita merayakan 200 tahun Injil masuk di Papua—Orang Asli Papua bisa menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Dalam perspektif ini, perjuangan politik Papua Merdeka bukan sekadar tuntutan politik, melainkan jalan untuk melindungi iman Kristiani, manusia, dan alam semesta Papua.

Saya percaya Papua Merdeka adalah pagar untuk menyelamatkan sisa manusia dan tanah Papua agar anak-anak kami memiliki masa depan. Sebagai seorang intelektual Katolik-Papua, saya konsisten memperjuangkan kemerdekaan Papua—bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi sebagai bagian dari misi penyelamatan Kristus di Tanah Papua.

Comments