Markus Haluk: Berkarya bagi Gereja dan Tanah Air Papua

Ora et Labora di Tanah Terluka: Kesaksian Markus Haluk, Awam Katolik Papua dalam Doa dan Karya

“Hidup seorang awam bukanlah hidup yang pasif dalam Gereja, melainkan hidup yang aktif, terlibat, dan menjadi terang bagi dunia. Di Tanah Papua, panggilan itu menjadi semakin mendesak di tengah luka kolonialisme, kekerasan, dan pengingkaran martabat manusia.” — Markus Haluk


Awam Katolik di Garis Depan Papua

Dalam dunia yang sering mengabaikan peran kaum awam dalam kehidupan Gereja, Markus Haluk hadir sebagai pengecualian yang mencolok. Ia bukan sekadar pengamat dari kejauhan, melainkan seorang peziarah iman yang menyatu dalam denyut Gereja Katolik di Papua — menyentuh baik tubuh maupun jiwa umat, melalui tindakan nyata dan refleksi mendalam.

Sebagai tokoh awam Katolik di Keuskupan Jayapura, Markus Haluk tidak menempatkan imannya hanya dalam liturgi atau diskusi-diskusi teologis semata. Iman baginya adalah praksis — tindakan konkret untuk membangun Gereja yang hidup dan membela manusia yang menderita.


Karya Fisik: Membangun Gereja, Menopang Tubuh Kristus

Dalam banyak kegiatan fisik gerejawi, keterlibatan Markus Haluk bukan sekadar simbolik. Ia hadir nyata: memberikan sumbangan dana dan material seperti semen, seng, kayu, paku — bahan-bahan sederhana tetapi penting untuk mendirikan tempat ibadah dan sarana umat. Dalam budaya Papua, ia juga memberikan wam (babi), sebagai simbol penghormatan dan persembahan, menandai partisipasi aktif dalam kehidupan ritmis umat.

Partisipasinya adalah cerminan dari spiritualitas inkarnasional — iman yang menjelma dalam batu, kayu, dan daging babi. Gereja bukan sekadar tempat, tapi rumah komunitas, dan ia membantu membangunnya dengan tangan dan hati.


Karya Non-Fisik: Mendidik Iman, Menyalakan Pikiran

Markus Haluk tak hanya membangun gedung, tetapi juga membangun manusia. Dalam berbagai forum iman — PMKRI, OMK, komunitas lingkungan, hingga gereja-gereja dari denominasi lain seperti KINGMI dan GIDI — ia hadir sebagai narasumber, mentor, dan pembina. Ia memberikan kursus ibadah, latihan menulis, serta membina liturgi di lingkungan Kombas. Dalam hal ini, Markus menghidupi gagasan Konsili Vatikan II tentang 'participatio actuosa' (partisipasi aktif) awam dalam kehidupan Gereja.

Sebagai intelektual Katolik, ia juga mendokumentasikan suara dan kisah Gereja dalam bentuk buku — bukan sekadar karya tulis, tetapi arsip spiritual umat. Buku-buku seperti 'Pastor Frans Lieshout OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua' serta 'Mewujudkan Visi Gereja Mandiri di Keuskupan Jayapura' menjadi sumbangan intelektual yang meneguhkan jejak profetis Gereja lokal.

Kini, ia tengah menyelesaikan proyek besar: tujuh buku serial 'Suara Awam Katolik Papua' — suatu warisan literer yang jarang ditemukan dalam Gereja Katolik Indonesia, apalagi dari wilayah yang terus terpinggirkan secara politik dan teologis.


Gereja dan Bangsa: Satu Nafas, Satu Panggilan

Markus Haluk mewujudkan semboyan benediktin 'Ora et Labora' (berdoa dan bekerja) bukan sebagai slogan, tetapi sebagai jalan hidup. Kehadirannya dalam masyarakat tidak terlepas dari kesaksian iman. Ia menjadi pembina, pengarah, dan penasihat rohani dalam banyak organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan Katolik. Ia juga memimpin ibadah lingkungan, termasuk upacara pemakaman — tindakan sederhana, namun sarat makna pastoral.

Baginya, menjadi Katolik bukan berarti tinggal di altar, tetapi berjalan di jalan berlumpur perjuangan: memperjuangkan martabat manusia, menyuarakan keadilan, dan membela tanah leluhur Papua. Sebagai direktur eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), ia berdiri di garis depan perjuangan politik rakyat Papua. Namun, ia tetap berdiri sebagai anak Gereja, membawa salib bukan hanya sebagai simbol iman, tetapi sebagai beban sejarah yang harus dipikul bersama umat.


Gereja di Tengah Luka Kolonial

Dalam konteks Papua, iman bukan hal netral. Gereja berada dalam situasi dilematis: di satu sisi dipanggil untuk mewartakan Injil kasih, tetapi di sisi lain hidup di tengah struktur kekerasan yang menindas. Markus Haluk menjadi suara kenabian dari dalam tubuh Gereja: menolak diam, menolak kompromi, dan menolak bersekutu dengan kekuasaan yang menindas umat Allah.

Ia menjadi contoh nyata bahwa menjadi Katolik bukan berarti tunduk pada otoritas bisu, melainkan menjadi saksi yang hidup dari Allah yang berpihak pada yang tertindas.


Doa dan Karya Tak Pernah Usai

Markus Haluk menghidupi panggilannya sebagai awam Katolik dengan penuh integritas. Ia adalah jembatan antara altar dan jalanan, antara liturgi dan demonstrasi, antara doa dan perjuangan. Dalam dunia yang sering menyekat iman dari realitas, kehadirannya menunjukkan bahwa di Tanah Papua, iman sejati adalah iman yang berani terlibat, menderita, dan berharap.

“Ora et Labora. Mari terus bekerja bagi Gereja dan Tanah Air selama matahari masih bersinar. Waaa… waaa… waaa…”

Comments