FREEPORT DAN KEJAHATAN EKOSIDA DI WILAYAH SUKU AMUNGME-MIMIKAWE WEST PAPUA (Bagian 3)
FREEPORT DAN KEJAHATAN EKOSIDA DI WILAYAH SUKU AMUNGME-MIMIKAWE WEST PAPUA (Bagian 3)
Pengantar
Dua tulisan kami sebelumnya telah ulas tentang Kejahatan Freeport melalui Perjanjian January Agreement 1974: Dosa Pusaka Freeport pada Suku Amungme-Mimikawe dan Bangsa Papua. Kemudian pada tulisan kedua mengulas tentang Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan dalam Hidup Suku Amungme-Mimikawe. Pada bagian ketiga ini secara khusus kami ketengahkan Kejahatan Freeport yang berdampak pada ekosida Papua. Untuk kaum awam, barangkali kata ekosida kurang populer didengarkan di West Papua bila dibandingkan dengan kata genosida yang menjadi perbedabatan dan kanjian populer di West Papua.
Perlu diketahui bahwa ekosida telah menjadi diskursus internasional sejak era 70 an, sebagai imbas dari keprihatinan atas perilaku manusia terhadap lingkungan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ekosida telah nampak begitu nyata sebagai suatu bagian tindakan eksploitatif yang terstruktur, sistematis dan massif. Perkembangan kejahatan lingkungan dalam bentuk ekosida belum diikuti oleh upaya konkrit dalam bentuk konsensus internasional untuk menentapkan ekosida sebagai suatu kejahatan paling serius yang dapat mengancam pada kemusnahan lingkungan, (Bdk. Triantono Triantono, dkk Ekosida: Studi Atas Pendekatan Loss of Ecological Service Dan Environmental Crime Serta Prospek Pengaturan Di Indonesia dalam Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 52 No. 2 (2022), 470-484, Universitas Indonesia).
Secara terminologis kata “ekosida” berasal dari kata “eco” yang berati habitat, tempat tinggal, maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan habitat/tempat tinggal tersebut seperti manusia, hewan tumbuhan udara, air maupun matahari. Sedangkan kata cide merupakan Bahasa latin Cedere yang berarti membubuh atau memusnahkan. (Arie Elcaputera and Dede Frastien, 2020, ‘Kajian Ecocide Terhadap Pertambangan Batubara Dalam Kawasan Hutan Pada Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu’, Bina Hukum Lingkungan, (2020) 62-81.
Dengan demikian ekosida dapat diartikan juga pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia dengan cara eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam secara masif.
Independent Expert Panel (IEP) mendefiniskan Ekosida sebagai "tindakan yang melanggar hukum atau tindakan sembarangan yang dilakukan secara sadar bahwa ada kemungkinan besar terjadinya kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang yang disebabkan oleh tindakan tersebut.”
Sifat dari ekosida adalah merusak lingkungan dan memusnahkan manusia secara bersamaan khusunya pada wilayah yang mengalami kemiskinan. Ekosida dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan berbagai masalah sosial, budaya dan kesehatan manusia di sekitar lingkungan tersebut. Masyarakat yang terkena dampak ekosida dapat mengalami krisis ekonomi akibat kehilangan sumber daya ekonomi dan pekerjaan. Ekosida juga dapat menimbulkan penyakit yang mematikan pada tubuh manusia dan mengubah budaya serta mengurangi keeratan interaksi sosial antarwarga. Pertanyaannya ialah bagaimana eksploitasi massif 50 tahun di tanah Papua (wilayah suku Amungme-Mimikawe) dapat dikategorikan kejahatan eksosida?
Dalam ulasan kami bagian ketiga ini akan memperlihatakan gambaran kejahatan ekosida yang dilakukan oleh Freeport. Perusahaan ini bukan hanya melakukan kejahatan ekosida tetapi melakukan juga pelanggaran HAM dan etnosida pada kedua suku tadi. Gugatan hukum Bapa Tom Beanal dan Mama Yosepa kepada Freeport pada 1996 jelas menyebutkan terjadinya (1). Pelanggaran Hak Asasi Manusia, (2). Perusakan Lingkungan Hidup (Enviromental tort), (3). Pembasmian Budaya (Cultural Genocida). Ketiga tuntutan tersebut, diajukan dengan berlandaskan pada dua dasar hukum Amerika Serikat, yaitu Alien Tort Act (ATA) dan Torture Victim Protection Act (TVPA).
Upaya hukum penduduk Amungme melalui kedua tokoh tadi ditempuh lewat dua jalur. Pertama, gugatan diajukan ke Pengadilan Federal (Federal Court) atas nama Tom Beanal. Kedua, gugatan diajukan ke State Court atas nama Yosepa Alomang. Pada ulasan bagian ketiga ini terdapat 4 pokok bahasan,
- Bencana Longsor dan Tragedi Kemanusiaan oleh PT. Freeport,
- Kejahatan Ekosida,
- Tailing Freeport yang merusak Kehidupan Masyarakat,
- Freeport dan Mencairnya Es di Cartenz.
1.Bencana Longsor dan Tragedi Kemanusiaan oleh PT. Freeport
Dalam melakukan eksploitasinya, PT. Freeport Indonesia sangat lemah dengan sistem keselamatan bagi karyawan. Hal itu terbukti dengan sering terjadi bencana longsor yang berakibat pada jatuhnya korban warga sipil di areal Freeport.
Berikut kami rangkumkan sejumlah bencana longsor akibat penambangan PT. Freeport (Lih. Markus Haluk, Menggugar Freeport, Suatu Jalan Penyelesaian Konflik, Penerbit Diyai-Honai Center, October 2014. Halaman, 13-20).
Pada 1995, terjadi longsor dengan jebolnya Danau Wonagon yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan rusaknya sejumlah fasilitas, rumah dan harta milik warga Amungme dipemukiman Banti, Tembagapura. Bencana ini menuai protes keras dari berbagai lembaga dan komunitas di West Papua dan Internasional.
Pada Mei 2000, terjadi longsor diareal Freeport, Longsornya tumpukan batuan limbah ke tempat pembuangan di Danau Wonangon tersebut menewaskan 4 orang pekerja sub-kontraktor. Petaka di Danau Wonagon ini adalah yang ketiga kalinya, sejak kejadian juni 1998 dan luapan lumpur akibat gempa pada 20-21 Maret 2000.
Pada 9 October 2003, longsor terjadi lagi di daerah tambang terbuka Grasberg. Insiden ini menewaskan 8 orang.
Pada 11 October 2003. Sebanyak 13 orang pekerja Freeport Indoensia tertimbun dan dua orang diantaranya tewas.
Pada Maret 2006, sebanyak 6 orang pekerja tewas dan sebagian menderita luka akibat lonsor.
Pada Mei 2013 bencana longsor terbesar terjadi di areal Freeport. Dalam insiden itu, sebanyak 28 orang pekerja tewas dan 10 orang selamat dalam kondisi luka-luka. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi runtuhnya terowongan Big Gossan dan peristiwa tersebut merupakan bencana kecelakaan terbesar di Indonesia. (Bdk. Laporan Tim Pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terhadap runtuhnya Terowongan Big Gossan PT. Freeport Indonesia pada 14 Mei 2013, Halaman 2).
Bencana di atas terus menimpa PT. Freeport dalam 20 tahun ini tidak pernah dilakukan investigasi independen oleh lembaga internasional yang memiliki legitimasi untuk melakukan investigasi. Pemerintah Indonesia maupun Amerika Serikat serta negara-negara yang mempunyai saham pada perusahaan ini tidak pernah memberikan sangsi tegas atas kelalaian dalam memberikan jaminan hidup bagi pekerja maupun masyarakat Amungme disekitarnya.
2.Kejahatan Ekosida
Banyak pemimpin dan mantan pemimpin Negara berdebat dan menyetujui kesepakatan tentang penyelamatan Ekologi diplanet bumi ini. Indonesia pernah menjadi tuan rumah dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember 2007. Konferensi dimaksud dilaksanakan di Internasional Covention Center Denpasar Bali. Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan untuk mendiskusikan persiapan negara-negara di dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca setelah protocol Kyoto kedaluwarsa pada tahun 2012.
Konferensi yang diadakan oleh badan PBB, United Nation Fremework Convention Climate Change (UNFCC) ini merupakan kali ke-13 dan diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara. Selain itu ada sekitar tiga ratus Lembaga Swadaya Internasional yang terlibat. Konferensi internasional ini diliput oleh lebih dari tiga ratus media internasional dengan jumlah wartawan lebih dari seribu orang.
Para pemimpin Dunia dan Pemerintah Indonesia membicarakan perubahan suhu diplanet bumi ini, tanpa melakukan tindakan nyata atas kehancuran lingkungan, gunung, air dan seluruh ekosistem yang dilakukan oleh PT. Freeport secara massif, sistematis tanpa ampun di Tembagapura Timika West Papua. Berdasarkan fakta-fakta dalam 40 tahun belakangan ini telah memperlihatkan secara jelas bahwa sedang terjadi bencana kemanusiaan dan bencana ekologi di Tanah Amungsa dan Bumi Kamoro Timika oleh PT. Freeport.
Salah satu fakta bencana ekologi oleh Freeport ialah Kolam penampungan (modified ajkwa deposition area/ModADA) di bantaran Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua, sudah tak mampu menampung sedimen pasir sisa tambang.
Pada 2 April 2017, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menduga pencemaran tak hanya terjadi di Sungai Ajkwa, tapi juga di lima sungai lain di Mimika.
Sebagai ilustrasi, kata Koordinator Kampanye Jatam Melky Nahar, produksi 1 gram emas menghasilkan 2,1 ton material sisa dan 5,8 kilogram emisi beracun berupa logam berat, timbal arsen, merkuri, dan sianida. “Bisa dibayangkan bagaimana kerusakan atas air yang terjadi.”
Pada 13 Maret 2018 Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Yazid Nurhuda kepada Tempo, menegaskan bahwa "Kami sejak tahun 2017 mulai melakukan pengawasan. Dari hasil tersebut ditemukan 47 pelanggaran yang dikelompokkan dalam bagian tertentu."
Dari instansi yang sama, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan San Afri Awang mengatakan endapan pasir sisa tambang (sedimen) telah meluber hingga sungai, hutan, dan muara. Menurut Awang, hal inilah yang belum terangkum dalam berkas lingkungan Freeport. “Dampaknya ke mana-mana. Itu harus ada adendum amdal karena melampaui ruang lingkup wilayah yang sudah disetujui.”
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menganggap eksploitasi tambang Freeport di Timika West Papua telah merusak lingkungan karena tumpahan sisa tambang tersebut. Perpanjangan tanggul dan perubahan skema pemanfaatan limbah juga tidak memiliki izin lingkungan. Akibatnya, potensi kerugian lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 185 triliun.
BPK juga menilai kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia telah merusak lingkungan. Berdasarkan pemeriksaan di lapangan dan citra satelit, limbah tambang Freeport meluber dari hulu sungai hingga ke laut. Limbah juga menyebar ke daerah aliran sungai lain di pesisir Kabupaten Mimika, Papua. "Hutannya sudah habis, sungainya sudah tidak ada. Nelayan yang hidup di sana sudah terkena. Ini mengapa dibiarkan?”
Hal yang sama ditegaskan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay. Ia mendesak agar PT Freeport lebih bersungguh-sungguh memperhatikan ekosistem di wilayah pertambangan mereka. Penambangan yang masih terus berlanjut diharapkan tidak merusak lingkungan. Sebab, kerusakan lingkungan bisa menimbulkan bencana yang merugikan semua pihak.
A. Profil PT Freeport Indonesia
a. Luas: 230 hektare.
b. Lokasi: 120 kilometer dari bibir pantai.
c. Panjang tanggul: Barat 54 kilometer dan timur 55 kilometer.
d. Kapasitas air: 36,6 juta kubik air per tahun
e. Kapasitas sedimen: 230 ribu ton per hari
B. Dugaan pelanggaran
a. Terdapat endapan tailing yang keluar dari ModADA.
b. Freeport belum memiliki izin lingkungan mengenai dampak perubahan metode pemanfaatan tailing terhadap biota akuatik.
c. Penambahan panjang tanggul pada ModADA
C. Nilai ekosistem yang dikorbankan berdasarkan wilayah
a. ModADA: Rp 10.706.969.394.593
b. Muara: Rp 8.211.764.892.242
c. Laut: Rp 166.099.643.700.642
d. Total: Rp 185.018.377.987.478
D. Dugaan wilayah pencemaran lain
a. Sungai Aghawagon
b. Sungai Otomona/Otomona
c. Sungai Minajerwi
d. Sungai Aimoe
e. Sungai Tipuka
Selain 5 sungai besar yang diduga telah tercemar, sesuai dengan fakta temuan dilapangan terdapat banyak sungai kecil yang tercemar.
Sungai ini, mengalir dari wilayah komunitas Suku Amungme hingga ke Selatan wilayah hidup suku Kamoro Kabupaten Timika West Papua. Berikut ini kami daftarkan 110 kali yang diduga tercemar oleh limbag Freeport yang mengalir dari 24 Kampung dalam Distrik Tembagapura yang berada dalam komunitas Suku Amungme. Berikut ini kami ringkaskan 110 kali di 24 Kampung di DIstrik Tembagapura:
Terdapat 7 Kampung:
Waa, Bewilawak, Doliningokin, Beanekogom, Jongkogoma, Miniponogoma dan kampung Nosolanop.
Dalam 7 Kampung ini, 27 kali: Wanogon nama Kali & Wanogoma dem atau Tega dana Wanagon, Kuaro Wil, Tagaro wil, Hagap ogo ung, Oragamao kini, Uhi nogo ung, Kalogoponogo ung, Utekinogo ung, Nikailoni, Nepkailoni, Mulkinogo ung, Kawi kinogo ung, Damune-tulogoung, Kemehil nogoung, Bantok goung, Ema-tomowil, Anipon nogoung, Entawar nogoung, Wani, Komki nogoung, Komplik ogoung, Mea wonemo nogoung/kali kopi, Ogoltanipo nogoung, Kul-wulli, Amut ogoung, Jewek ogoung dan Awal tawarma nogoung.
Sungai Agap Ogoung dan Wanogoung tercemar ke Sungai-sungai lain dan mengalir dari Tembagapura hingga di Timika disebutnya Wanogoung atau Otomona.
66 kali yang mengalir dari kampung yang di atas Waa, Bewilawak, Doliningokin, Beanekogom, Jongkogoma, Miniponogoma dan kampung Nosolanop.
Berikut ini 66 nama kali dimaksud: Hilamao nogong, Nemtaro nogoung, Uk-in utekia, Komki nogoung, Nosola nogoung, Jekeroki nogoung, Jani, Uyalema nogoung, Woep ogoung, Utapamo nogoung, Akalma nogoung, Amarbo nogoung, Tarama nogoung, Nigip-nigip onogoung, Kolamul ogoung, Hono-goung, Tongma nogoung, Wawu nogoung, Meilparki nogoung.
Toga nogoung, Kalogopo nogoung, Hiom ogoung, Etal ogoung, Dun nogoung, Inopo nogoung, Ding ogoung, Buruk ogoung, Akogul ogoung, Kelo goung/kelangin, Konma nogoung, Dekgok koma nomon, Alar palarki nogoung.
Kemudian Atuagamoki nogoung, Bemogoung, Awungki nogoung, Tsingo goung, Meluk ogoung, Amekagamki nogoung, Dingma nogoung, Tarama nogoung, Hurni are, Magakam wilki, Domogoung, Beanogoung, Nemao nogoung, Ensawar ogoung, Kalbug nogoung, Kailtumki nogoung, Kemakini, Mag-ogoung, Minipo nogoung, Polma nogoung, Jongko goung, Nagalaki nogoung, Jipulogoung, Bengma nogoung, Iyom ogoung, Aganeweyoki nogoung, Me-hermongamo nogoung, Mingma nogoung, Nagul ogoung, Kaing ogoung, Kerawalma nogoung dan Dilamul ogoung.
Kali Beano-goung tercemar ke sungai-sungai lain dan Mengalir ke Timika disebut sungai Tsingo-goung atau Otakwa
Ada 6 Desa/kampung:
Arwanop, Waa, Desa Banti I, Desa Banti II, Desa Opitawak, Desa Ombani, Desa Aingokgin, Desa Jagamin, dan Baluni.
Berikut 25 Kali yang mengalir dari 6 kampung tersebut: Aroa-nogoung, Dupia-nogoung, Poel-ogoung, Jongkogoung, Nengkong-ogoung, Tanogoung, Kempamo-nogoung, Ulal-nogoung, Wab-nogoung, Uttawar-ogoung, Teh-nogoung, Bun-ogoung, Woung-ogoung, Omban-ogoung, Minipo-nogoung, Hotawar-ogoung, Simat-ogoung, Dagalin-onogoung, Wiwilin-ogoung, Anggait-ogoung, Mulelekia, Kanipoa, Suampiga, Umaha dan Olaronomon dan telaga Olaro. Sungai ini di Timika disebut dgn Sungai Ajkwa.
3.Tailing Freeport yang merusak Kehidupan Masyarakat
Menurut kajian R. Hamsky 2014, menunjukkan bahwa kehadiran perusahaan juga dapat menimbulkan kesenjangan yang tinggi dimana Freeport gagal menempati janji untuk menempati kesejahteraan suku Amungme dan Suku Kamoro, kemudian limbah tailing telah merusak sungai dan laut yang kemudian menjadi sumber mata pencaharian suku Kamoro sebagai nelayan beralih dengan berpindah ke tempat yang lebih tinggi untuk bertani dan berternak. (Bdk. Hamsky R: Dampak Operasi PT Freeport pada suku Kamoro, eJurnal Hubungan Ilmu Internasional, 2014, 2 (2), 411426, ejurnal.hi.fisib.unmul.org)
Dampak lingkungan, limbah tambang (talling) Freeport yang dibuang di sistem sungai sejauh ini telah menimbulkan:
1. Matinya ekosistem disekitar lokasi tambang seperti pencemaran satwa liar sekitar yang terpapar logam berat,
2. Matinya fungsi sungai Aijkwa, Wanagon dan Otomona, karena badan sungai dipenuhi dengan tumpukan limbah batuan tailing dari sisa ekstrasi dari bahan kimia berbahaya yang mengakibatkan kehidupan air tawar telah hancur,
3. Selain itu, dampak limbah tailing sejauh ini dapat diketahui, sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat sekitarnya, seperti suku Kamoro yang bergantung pada muara sungai Aijkwa, sekitar 60% air digunakan untuk minum dan 95% air digunakan untuk mencuci.
4. Dampak logam berat terhadap kesehatan suku Kamoro diketahui penyebab radang selaput otak (meningitis), yang mengakibatkan kematian bayi Kamoro,
5. Kerusakan pada pencernaan sistem saraf, gangguan reproduksi, gangguan pada pernapasan, paru-paru, mata, katarak, kemudian hingga berkurangnya usia harapan hidup dan diare.
6. Selain itu masalah tercemarnya kondisi lingkungan menyebabkan masalah kesehatan lainnya, Polio, DBD, Alergi, ISPA, Flu dan dikategorikan jenis penyakit yang dipengaruhi, factor lingkungan karena kontaminasi logam berat tailings.
Sungai Wanagon, merupakan salah satu sungai yang digunakan oleh PT. Freeport untuk membuang limbah tailings. Limbah tailing dibuang dengan volume 200-300 ton/hari sedangkan perminggu 70 ton tailings yang meningkat menyebabkan penumpukan pada badan sungai sampai laut. Tailing tersebut mengandung logam berat yang terdiri dari: Selenium (Se), Arsenik (As), Seng (Zn), Mangan (Mn), Tembaga (Cu) dan lainnya. Secara empirik kadar logam berat ini sudah melebihi ambang batas ilmiah (phitotoxicity).
Berdasarkan bukti empirik diketahui beberapa organisme yang tercemar logam berat beracun terdiri dari:
1. Bagi larva udang (Caridinasp), Udang Sungai Dewasa (Macrobrachium rossenbergii),
2. Ikan-ikan dan larva ikan minnow (Cibrinodon variegatusdan phimephales promelas),
3. Ganggang sungai (chlorella), embrio dan larva rain bowfish (melanotaenia sp ledida),
4. Hewan tak bertulang belakang (gammarusdan Nassarius sp)
Sedangkan tumbu-tumbuhan terkontaminasi logam berat yaitu terdiri dari 15 Jenis Tanaman; Seledri, Sawi hijau, bayam merah dan hijau, kangkung, buncis, bengkoang, kentang, singkong, talas, padi, ketimun, mentimun hijau, mentimun dan tanaman kol yang terbukti logam berat 5-6%.
Dengan adanya logam berat dapat mengakibatkan kematian organisme akutik dan teristrial dengan tingkat kematian rata-rata 50% yaitu pada ikan, udang dan biota air lain sedangkan dampak pada organisme teristrial yaitu hutan mangrove, sagu dan tumbuhan darat mengalami kekeringan dan kematian.
Selain itu, dampaknya terhadap kehidupan Manusia, menunjukkan dampak kesehatan yang selama ini diketahui, yaitu akumulasi logam berat mengandung unsur logam berat melebihi nilai ambang batas menyebabkan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan saraf dan sel.
Dari hasil wawancara dan temuan dilapangan memperlihatkan bahwa dampak akumulasi logam berat selama ini menimbulkan kerusakan organ tubuh Manusia seperti, kerusakan usus, kerusakan hati, iritasi, kerusakan saraf jika melebihi, akan menyebabkan kelumpuhan dan kematian. Dari tahun 1977-2012, 1000 jiwa meninggal dunia, akibat limbah beracun berbahaya dari PT. Freeport yang terakumulasi pada tubuh. (Lih. Januarius Wakerkwa: Dampak Pembuangan Limbah Tailings PT Freeport Papua Terhadap Kehidupan Sosial di Kampung Waa Distrik Tembagapura Kabupaten Mimika,Hal. 6), Tahun 2012.
4.Operasi Freeport dan Mencairnya Es di Cartenz
Gunung Nemangkawi, Ersberg dan Grasberg yang dulu diselimuti Salju Abadi akibat eksploitasi pertambangan telah berdampak pada mencairnya salju.
Lonnie Thompson, peneliti senior dari pusat riset Ohio State's Byrd Polar, yang juga profesor dari School of Earth Sciences dan para ahli geologi dari Ohio State University memperkirakan gletser yang ada di pegunungan Puncak Jaya, Papua, terancam hilang karena mencair. Salju di pegunungan itu mencair karena pemanasan global. "Diperkirakan esnya akan bertahan beberapa tahun lagi."
Thompson mengambil tiga sampel inti es dari Pegunungan Puncak Jaya. Penelitian, yang merupakan hasil kerja sama National Science Foundation, perusahaan tambang Freeport, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ini mengebor inti es yang bersemayam di Puncak Jaya dengan ketinggian 16 ribu kaki, menjadi tiga batuan dasar. Es yang pertama sepanjang 30 meter, es kedua 32 meter dan es ketiga sepanjang 26 meter.
Dari ulasan ini dapat disimpulkan bahwa fakta ekosida sedang terjadi di areal konsesi PT. Freeport. Rakyat Papua dan komunitas Internasional bersatu untuk menuntut dihentikannya proses ekosida yang terjadi di West Papua.
*Bersambung, bagian ke-empat, memuat Freeport dan konflik Politik di West Papua.
Oleh Markus Haluk
Sekretaris Eksekutif ULMWP
Penulis Buku:
1. Menggugat Freeport Jalan Penyelesain Konflik Papua (2015).
2. Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Ekologi Freeport dan Pelanggaran HAM Degeuwo Paniai (2023)
Comments
Post a Comment