West Papua Zona Darurat Kemanusiaan

Pernyataan sikap ULMWP atas aneksasi West Papua oleh Indonesia 1 Mei 1963-2024.


PERNYATAAN SIKAP ULMWP:


INDONESIA ANEKSASI WEST PAPUA 1 MEI 1963 ILEGAL   

BANGSA PAPUA MEMPUNYAI HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI


Situasi West Papua Zona Darurat Kemanusiaan


Syukur Bagi-Mu Tuhan!   

Hari ini 1 Mei 2024, bangsa Papua memperingati 61 tahun (1 Mei 1963-2024) tragedi aneksasi hak politik bangsa Papua oleh pemerintah kolonial Indonesia melalui bantuan Pemerintah Amerika Serikat, Belanda dengan menggunakan tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami hari ini juga kembali menegaskan bahwa Papua Barat (West Papua) sesungguhnya bukan bagian dari wilayah Republik Indonesia, karena:   

a). Secara historis Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (Pantai Selatan Tanah Papua) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland,   

b). Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus-secara terpisah,   

c). Bangsa Papua tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,  

d). Dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa Perang Jepang di Saigon pada tanggal 12 Agustus 1945 Mohammad Hatta menegaskan bahwa "...bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri...". Sementara Ir. Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia.  

Hal yang sama pernah dikemukakan Drs. Mohammad Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bulan Juli 1945;   

a). Papua Barat tidak termasuk di dalam daerah-daerah yang diproklamirkan sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,  

b). Dalam konferensi Meja Bundar tanggal 23 Agustus 1949 - 2 November 1949 status Papua Barat (Nederlands Niew Guinea) secara eksplisit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa " masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka. "  

Kehendak yang suci dan luhur bangsa Papua untuk memiliki negaranya sendiri ternyata ditanggapi dengan tindakan aneksasi pemerintah Indonesia melalui pengomandoan Trikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Fakta bahwa Presiden Indonesia memerintahkan “... Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial..." sudah merupakan pengakuan eksplisit tentang adanya sebuah Negara.   

Trikora semakin memperuncing konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai status politik tanah Papua Barat. Adanya perang dingin antara blok Barat dan blok Timur (komunis), dan semakin eratnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok Timur, sebagaimana yang tertera dalam surat Rahasia Presiden Amerika Serikat, J.F. Kennedy kepada Perdana Menteri Belanda, Dr.J.E. de Quay tanggal 2 April 1962, mengakibatkan Belanda tunduk pada tekanan politik Amerika Serikat untuk menandatangani persetujuan dengan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962.  

Persetujuan ini disebut dengan New York Agreement. Isi New York Agreement, termasuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua untuk memilih:   

a). Apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia, atau   

b). Apakah mereka ingin memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia, tidak pernah dipersoalkan.  Tetapi tanpa pernah meminta keterlibatan dan persetujuan rakyat dan pemimpin bangsa Papua sejak 1 Mei 1963 pemerintah Indonesia mengurus atministrasi dan mulai menempatkan pasukan- pasukan meliternya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. 

Mereka berasal dari semua Kodam dan seluruh Angkatan TNI dan Polri. Akibatnya, hak-hak politik dan hak-hak azasi manusia Papua telah secara brutal diluar batas-batas perikemanusiaan.  Beberapa di antarany adalah pembunuhan secara kilat, penguburan hidup-hidup, pembunuhan terhadap korban yang terlebih dahulu disuruh menggali kuburnya sendiri, pembunuhan ayah yang kemudian dagingnya dibakar dan dipaksakan untuk dimakan oleh istri dan anak-anaknya, pembunuhan dengan cara diikat dan ditenggelamkan ke dalam laut, dibuang dari helicopter, diciduk dari rumah dan tidak pernah kembali. 

Berbagai bentuk penyiksaan dilakukan terhadap bangsa Papua yang korbannya masih hidup sampai sekarang. Ada yang disiksa dengan cara memasukkan besi panas ke dalam lubang anus, digantung dengan kepala ke bawah dan disundut dengan api rokok, disetrum, diteror, dijemput malam hari, dan lain-lain. Para wanita juga mengalami perlakuan keji dan amoral.  Pemerkosaan terjadi dimana-mana, termasuk pada anak wanita di bawah umur. Suami dan istri dipaksa bersetubuh di muka umum. Ada yang setelah diperkosa ditusuk alat kelaminnya dengan bayonet atau kayu.  Selain itu, terjadi banyak penahanan tanpa proses peradilan terhadap mereka yang dicurigai menentang keinginan pemerintah Indonesia untuk memasukkan Papua Barat sebagai bagian dari wilayahnya. Mereka juga membakar rumah- rumah rakyat, kebun-kebun masyarakat dirusak, serta bangunan-bangunan gereja dibakar dan dihancurkan. Mereka yang tidak berpengaruh, tidak dipaksa dengan cara kekerasan namun dibujuk dengan berbagai sogokan dalam bentuk uang, barang, jabatan maupun perempuan.   

Perbuatan- perbuatan keji dan biadab ini semakin memuncak menjelang pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) dan terus berlangsung sesudah PEPERA. Tujuannya adalah untuk membungkam aspirasi murni dan kehendak bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri pada tahun 1969 dan seterusnya.  Keterlibatan pihak militer Republik Indonesia dalam pelaksanaan PEPERA sangat dominan. 

Tidak saja bahwa militer Indonesia terlibat dalam intimidasi terhadap penduduk, tetapi militer terlibat dalam pengaturan pelaksanaan PEPERA. Misalnya, Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, Perihal: Pengamanan PEPERA, tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku Anggota Muspida Kabupaten Merauke. Isi surat tersebut antara lain menyatakan: "... Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota DEMUS, penggantiannya supaya dilakukan jauh MUSYAWARAH PEPERA.”  Militer Indonesia bukan hanya menjadi tulang punggung terdepan dalam operasi pendudukan West Papua dan memenangkan pelaksanaan PEPERA pada 1969 dimasa lalu tetapi juga selama 61 tahun dalam seluruh konflik di West Papua, Militer Indonesia telah menjadi alat utama dalam politik pendudukan Indonesia di West Papua.

Sejak Mei 1963-Mei 2024, telah terjadi lebih dari 20 kali operasi militer pada orang Papua di West Papua. Dalam 20 tahun ini khususnya pasca aksi perlawanan rasisme rakyat West Papua pada 2019 eksistensi militer Indonesia di West Papua terus diperkuat. Kami terus mengikuti dan menyaksikan pendropan dan penambahan personil serta pengembangan baru infrastruktur militer yang sangat pesat di pusat ibu kota kabupaten atau provinsi mapun di pos pedalaman wilayah terpencil, perbatas serta wilayah konflik.   Dalam 20 tahun ini penambahan struktur militer terus terjadi pada TNI Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Misalnya pada TNI Angkatan Darat terjadinya penambahan baru KODAM, PANGKOWILHAN, KOSTRAD, KOREM, KODIM, BATOLYON dan KORAMIL. Penambahan struktur baru pada TNI Angkatan Laut, penambahan LANTAMAL, KOMANDO Armada (Koarmada) dan Markas Komando Pasukan Marinir.   

Demikian juga penambahan struktur baru di TNI AU, LANUD, KOOPSAU, KOPSUD, Satuan Radar dan pembanbahan satuan TNI AU lainnya. Fakta jumlah kehadiran Milter Indonesia saat ini di West Papua tidak sebanding dengan jumlah penduduk orang asli Papua. Konflik West Papua bukan mencarikan jalan keluar melainkan dijadikan ajang kompetisi untuk kepentingan kekuasaan, pangkat dan jabatan serta kepentingan bisnis ekonomi mereka di West Papua.   Pada kurun waktu yang sama, Polisi juga memperkuat eksistensinya di West Papua dengan terus melakukan penambahan ribuan personil dan membangun infrastruktur baru, POLDA, POLRES, POLSEK dan satuan Pasukan BRIMOB.  

Pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan, penangkapan dan penembakan warga sipil dengan aneka tuduhan menjadi pilihan polisi dalam penanganan konflik Politik di West Papua. Banyak para aktifis dan pejuang Papua serta Warga sipil menjadi korban penembakan dan pembunuhan aparat Polisi dengan melakukan kriminalisasi dan makarnisasi sebagai dalil pembenaran diri. Dari waktu ke waktu Polisi Indonesia di West Papua selalu mengenakan pasal-pasal makar untuk menjerat dan membungkam para pejuang bangsa Papua.    

Selain pemekaran atministrasi TNI/Polri, pemerintah kolonial Indonesia juga terus melakukan pemekaran wilayah atministrasi sipil Indonesia. Pemekaran wilayah atministrasi Indonesia di West Papua jelas-jelas melegalkan dan mempercepat dalam praktek politik pendudukan Indonesia. Melalui pemekaran Provinsi dan Kabupaten/kota di West Papua mempercepat migrasi sipil warga migran Indonesia secara massif, sistematis dalam jumlah besar masuk menguasai di Tanah ini. Semua kebijakan pemekaran Papua selama ini dilandasi oleh sentiment rasisme dan semata-mata untuk menduduki serta menguasai wilayah West Papua dan manusianya. 

Warga migran Indonesia bukan hanya menguasai dan mengambil alih wilayah pemerintahan sipil melainkan mereka juga memonopoli hak politik orang Papua. Beberapa wilayah Kabupaten dan Provinsi serta perwakilan parlemen didominasi oleh elit politik dari Indonesia. Belakangan ini mereka juga mulai bersiap-siap untuk mengambil alih sebagai calon Bupati/Wali kota di berbagai Kabupaten/kota di West Papua.  Pelaksanakan Otonomi Khusus Jilid I, tahun 2001-2021 pemerintah Indoneseia telah gagal total melaksanakannya di West Papua. Dalam kurun waktu 23 tahun (2001-2024), pemerintah tidak memberikan proteksi perlindungan, keberpiahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspek kehidupan orang Papua. Revisi sepihak dan penetapan paksa Otonomi Khusus Jilid II pada 2021 oleh Pemerintah Indonesia jelas-jelas memberikan ruang secara terbuka migrasi dan pengambil-alihan hak politik rakyat West Papua. Undang-undang ini juga membuka lebar pintu masuknya warga non Papua menduduki dan menguasai wilayah West Papua.     

Situasi ini telah berlangsung sejak 1 Mei 1963. Saat ini 7 wilayah di West Papua masih berkonflik antara TPNPB dengan TNI/Polri yang berdampak pada jatuhnya korban nyawa dari para pihak serta warga sipil. Sekitar 75.000 waktu sedang mengungsi dalam 5 tahun terakhir ini. Hukum dan kekuasan pemerintah kolonial Indonesia menjadikannya sebagai alat untuk menjerat dan menindas rakyat bangsa Papua.  Bertolak pada fakta dan hasil investigasi dari berbagai lembaga yang publikasikan telah menyimpulkan bahwa bangsa Papua dalam 61 tahun pendudukan Indonesia pada bangsa Papua di West Papua sedang mengalami ancaman Genosida, Etnosida dan Ekosida. 

Ke depan secara cepat atau lambat, bangsa Papua dalam pendudukan Indonsia akan punah sebagaimana yang dialami oleh berbagai suku asli diberbagai wilayah akibat kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), eksploitasi masif, yang dipraktekan oleh kolonial melalui operasi militer secara tebuka dan tertutup serta berbagai kebijakan mereka. Dalam konteks ini, bangsa Papua tidak mempunyai masa depan dengan Indonesia.   Maka berangkat dari fakta 61 tahun pendudukan Indonesia dan demi penyelamatan masa depan Bangsa Papua, hari ini rakyat Papua melakukan aksi protes terbuka pada 5 kota dan kabupaten di Tanah Papua dan 3 kota di Indonesia. Untuk itu kami menyerukan dan menyampaikan Sikap:  

1. Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki Kedaulatan sebagai suatu bangsa yang Merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal: 1 Desember 1961.  

2. Rakyat West Papua secara tegas menolak hasil-hasil PEPERA 1969 karena dilakukan atas dasar New York Agreement yang cacat moral dan cacat hukum. Dilaksanakan dalam suasana penindasan di luar batas-batas perikemanusiaan, peniadaan hak dan kebebasan berpendapat bangsa Papua, dan dilakukan dengan cara-cara yang represif dan tidak demokratis.  

3. West Papua Zona Darurat Militer, segera Hentikan Operasi Militer di West Papua dan Tarik Militer Organik dan Non Organik dari West Papua.  

4. TPNPB (West Papua) dan TNI/Polri (Indonesia), segera lakukan Gencatan Senjata demi mewujudkan Perundingan Politik yang dimediasi oleh phak ketiga yang Netral.   

5. Indonesia segera buka akses terhadap Jurnalis Internasional masuk di West Papua.  

6. Indonesia segera menempatinya janjinya kepada Ketua Dewan HAM PBB di Jakarta pada 2018 untuk memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB di West Papua.   

7. Bangsa Papua mendukung penuh perjuangan kaum buruh diseluruh dunia demi memperoleh penghormatan, harkat dan martabat dan pengakuan peran kaum buruh dalam pembangunan ekonomi dan sosial global.  

8. Segera berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri melalui Refrendum di Papua Barat sebagai solusi paling demokratis guna mengakhiri segala macam konflik di atas Tanah Papua.  Demikian Penyataan Sikap ini dapat kami keluarkan pada momentum peringatan 61 tahun aneksasi hak politik bangsa Papua oleh Pemerintah Kolonial Indonesia.  


Jayapura, West Papua, 1 Mei 2024   


United Libertion Movement for West Papua-ULMWP

Departemen Politik   


Jerry Wenda (Korlap Umum)  


Kamus Bayage (Wakorlap)  


Penanggungjawab Politik -ULMWP   


Mengetahui,     


Menase Tabuni  

Presiden Eksekutif

Comments

Popular Posts