Media Release ULMWP: "No Eyes on West Papua"

See the source image


UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA - ULMWP


International Secretariat Headquarters:

Winston Churchill Street, 1571 Port Vila, Republic of Vanuatu.


Secretariat of the Home Affairs Coordination Headquarters in West Papua:

Address: Jln. Mapilema, No. 11 Wamena Kabupaten Jayawijaya- West Papua. 



Media Release ULMWP

Nomor: 009/PAN-02/A-23/ULMWP/EC-1/VI/2024


“No Eyes on West Papua”


Selama lebih dari dua pekan terakhir, jagat media sosial dibanjiri oleh seruan kemanusiaan yang diungkap dalam kalimat “All Eyes on Rafah”. Seruan ini telah diunggah ke berbagai platform media sosial sebanyak lebih dari 50 juta unggahan, sebagai reaksi terhadap korban sipil di Rafah akibat konflik terkini Israel dan Palestina yang telah berlangsung sejak Oktober 2023 silam. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri dan Presiden juga turut memberi kecaman terhadap sikap pemerintah Israel dalam menangani konflik tersebut.

Berbanding terbalik dengan konflik di Palestina, situasi di West Papua sungguh terabaikan oleh publik nasional dan internasional. Konflik dan kekerasan di Tanah Papua yang telah berlangsung sejak pendudukan Indonesia selama 61 tahun (Mei 1963-2024), masih terus terjadi dan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Penolakan dan perlawanan hukum atas ancaman ekosida di tengah Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel dan Mappi serta rencana penanaman perkebunan Tebu 2 juta hektar di Kabupaten Merauke telah mendapat perhatian dan aksi penolakan. Kampanye penolakan “All Eyes on Papua” telah mendapat perhatian luas di West Papua, Indonesia dan komunitas Internasional. 

Pada kesempatan ini, kami harus menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 61 tahun pendudukan Indonesia di West Papua, orang Papua sedang mengalami Slow Motion Genosida (Pemusnahan Perlahan Manusia), Etnosida (Pemusnahan Etnis) dan Ekosida (Pemusnahan Sumber Daya Alam). Presiden Joko Widodo dan kabinetnya menggadaikan kekayaan alam milik bangsa Papua untuk melakukan pinjaman kepada lembaga dan negara donor Internasional serta untuk membayar utang Pemerintah Indonesia yang kini mencapai 8.338 triliun rupiah. 

Sehubungan konflik perlawanan di West Papua antara TNI/Polri dan TPNPB, Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) di Papua, melaporkan bahwa sejak Januari hingga Mei 2024 telah terjadi 41 insiden. Komnas HAM Papua mengklaim bahwa insiden kekerasan tersebut telah mengakibatkan 32 orang meninggal dunia dan 21 orang terluka.

Pemerintah Indonesia selama ini aktif menyerukan perdamaian di tingkat internasional sedangkan tidak memiliki Peta Jalan penyelesaian konflik di Papua. Pemerintah Indonesia selalu menggunakan argumen bahwa Papua telah diberikan Status Otonomi Khusus jilid satu 2001-2021 yang telah gagal dan pemaksaan Otonomi Khusus jilid dua 2021- kini dalam pelaksanaannya berada di bawah kontrol ketat Pemerintah Pusat. Argumen lain adalah dengan menerapkan pemekaran wilayah administrasi pemerintahan baik Provinsi maupun Kabupaten, yang secara langsung akan diikuti dengan penambahan Markas Komando Teritorial baik Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hingga Desember 2023, Indonesia telah menempatkan 47.261 personil militer di Papua, dimana sekitar 24 ribu personel telah dimobilisasi ke titik konflik yang masih bergolak. Pemekaran wilayah administrasi di West Papua merupakan proyek politik pendudukan Indonesia dalam mempercepat proses pemusnahan orang Papua di atas tanah leluhurnya sendiri. 

Sejauh ini belum terlihat model pendekatan komprehensif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. KOMNAS HAM dan beberapa jaringan kerja mereka di Tanah Papua, lebih cenderung mendorong pembentukan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” (KKR), dengan berlandaskan pada regulasi Otonomi Khusus. ULMWP berpandangan bahwa pembentukan KKR merupakan upaya terselubung untuk menyembunyikan kasus pelanggaran HAM Papua dari pengawasan internasional. “Kami anggap itu sebagai cara untuk sembunyikan kasus Papua dari perhatian internasional. KKR buat orang Papua yang menjadi korban pelanggaran HAM hanya dibayar dengan uang, sementara tidak ada keadilan yang diberikan. Sudah terbukti kasus Abepura 2000 dan Paniai 2014 yang dibawa ke pengadilan HAM, pelakunya divonis bebas. Orang Papua tidak akan pernah mendapat keadilan di dalam sistem hukum Republik Indonesia,” ujar Menase Tabuni, Presiden Eksekutif ULMWP.

Pemerintah secara ketat telah melarang akses lembaga kemanusiaan, pekerja sosial dan jurnalis internasional untuk mengunjungi West Papua. Kebijakan tersebut sebagai upaya untuk menutupi semua tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan di Tanah Papua. ULMWP telah menerima informasi rencana kebijakan tertutup yang dikoordinasikan melalui Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), yang akan melakukan beberapa langkah strategis guna menghentikan seluruh upaya perjuangan Bangsa West Papua. Kebijakan tersebut dilakukan melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, dan lembaga lainnya yang berada di bawah koordinasi Kemenkopolhukam. Kebijakan dimaksud mentargetkan bahwa hingga tahun 2045 bertepatan dengan 100 tahun Republik Indonesia, separatisme akan dihilangkan.

Mencermati situasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, ULMWP menyerukan agar:

1. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) agar segera membentuk suatu Misi Pencari Fakta untuk melakukan penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM di West Papua dan meninjau kembali keanggotaan Indonesia dalam Badan tersebut, karena selama ini tidak menghargai instrumen hukum humaniter internasional;

2. Pemerintah Indonesia segera membuka akses kepada Perdana Menteri PNG Hon. James Marape dan PM Fiji, Hon. Sitiveni Rabuka, sejalan dengan hasil Komunike Pacifik pada November 2023, di Cook Islands untuk berkunjung ke Indonesia guna melakukan Dialog dengan Pemerintah Indonesia masalah konflik West Papua; 

3. Menyerukan para pemimpin Melanesia, Pasifik, Afrika dan komunitas Internasional untuk mengambil tindakan dan langkah-langkah tegas dan nyata dalam menyelamatkan Bangsa Papua dari tiga fakta ancaman besar, Slow Motion Genosida, Etnosida dan Ekosida oleh Indonesia di West Papua; 

4. Lembaga dan Mitra Strategis ULMWP terus meningkatkan kerja sama dalam rangka mendorong advokasi penyelesaian masalah West Papua secara damai dan bermartabat;

5. Korban Pelanggaran HAM dan Rakyat West Papua wajib berhati-hati dengan gagasan KKR yang didorong oleh KOMNAS HAM dan berbagai institusi lokal lainnya, karena bertujuan untuk meredam kampanye dan advokasi isu HAM Papua di tingkat regional dan internasional.

Demikian media release ini kami buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


Port Numbay, 10 Juni 2024


One People One Soul


Menase Tabuni 

Presiden Eksekutif

Comments

Popular Posts