Angganeta Menufandu: Perempuan dari Biak yang Menantang Penjajahan Tanpa Kekerasan

Angganeta Menufandu: Perempuan dari Biak yang Menantang Penjajahan Tanpa Kekerasan


Di tanah yang jauh dari pusat-pusat sejarah dunia, di sebuah pulau kecil di utara Papua bernama Biak, hiduplah seorang perempuan yang kelak akan dikenang oleh rakyatnya sebagai pemimpin spiritual, guru kehidupan, dan simbol perlawanan. Namanya Angganeta Menufandu. Ia bukan jenderal, bukan pemimpin revolusi bersenjata, bukan pula bagian dari golongan elite kolonial atau bangsawan adat. Namun dari balik kehidupan sederhananya, ia menyalakan api harapan dan membangun benteng perlawanan — bukan dengan senjata, tetapi dengan kesadaran, doa, dan kekuatan moral.

Angganeta lahir pada akhir abad ke-19, pada masa ketika pengaruh kolonial Belanda mulai menjalar ke wilayah pesisir Papua. Pemerintahan Hindia Belanda berusaha memperluas pengaruhnya, namun kendali mereka masih lemah dan terbatas. Di saat bersamaan, misi Kristen dari Belanda dan Jerman mulai menanamkan ajaran Injil di tengah masyarakat adat yang memiliki sistem kepercayaan sendiri. Banyak tokoh lokal menanggapi kedatangan misi dengan kecurigaan, tapi sebagian mencoba menafsirkan ajaran baru itu dalam terang nilai-nilai budaya mereka.

Angganeta adalah satu dari mereka yang mencoba merajut pemahaman baru tentang kehidupan. Ia mendengarkan cerita Injil, menyerap semangat kasih dan keadilan, tapi menolak tunduk kepada sistem kekuasaan kolonial yang datang bersamanya. Ia mendirikan semacam komunitas spiritual di mana rakyat biasa, khususnya kaum perempuan, diajak hidup dalam kesederhanaan, saling membantu, dan menolak gaya hidup serta struktur sosial yang dibawa oleh Belanda.

Bagi pemerintah kolonial dan misi zending resmi, Angganeta adalah duri dalam daging. Ia tidak tunduk pada aturan gereja formal, tidak mendukung kebijakan Belanda, dan lebih berakar pada kehidupan masyarakatnya sendiri. Tapi bagi rakyat Biak, ia adalah pemimpin sejati. Mereka menyebutnya dengan hormat sebagai orang yang membuka mata, bukan melalui kekerasan, tetapi lewat kesaksian hidup.

Nilai-nilai budaya Biak turut memperkuat perlawanan damai Angganeta. Konsep 'Koreri', yakni gerakan messianis yang berakar dalam tradisi Biak-Numfor, mengilhami harapan akan pembaruan sosial dan spiritual. Seperti dijelaskan oleh Freerk C. Kamma (1972), gerakan ini menonjolkan cita-cita kebebasan dan keadilan yang berakar pada kearifan lokal — nilai yang menjadi fondasi bagi komunitas yang dibangun Angganeta.

Ia mengajarkan rakyat untuk tidak menyerang balik ketika diperlakukan tidak adil. Ia melarang pengikutnya mencuri atau berperang. Tapi ia juga melarang mereka menyerah. Ia menanamkan semangat martabat dan menolak tunduk pada siapa pun yang menindas. Dalam dunia yang penuh kekerasan dan dominasi, sikap seperti ini adalah bentuk perlawanan paling radikal.

Yang luar biasa, semua ini terjadi sebelum dunia mengenal Gandhi dengan gerakan ahimsa-nya, sebelum Martin Luther King Jr. menyerukan perlawanan damai di jalan-jalan Amerika, bahkan sebelum para pemikir Eropa modern merumuskan teori tentang disobedience sipil. Angganeta tidak menulis buku atau pidato yang disiarkan ke seluruh dunia. Tapi apa yang ia lakukan dan ajarkan menghidupi semangat yang kelak menjadi roh dari gerakan perdamaian global.

Beberapa laporan misi Belanda menyebut Angganeta sebagai “perempuan fanatik” yang membawa pengaruh menyimpang. Tapi laporan semacam itu justru menunjukkan betapa besar pengaruhnya. Ia menjadi ancaman bukan karena senjata, tapi karena gagasannya tentang kebebasan, kebenaran, dan keteguhan hati.

Peran perempuan dalam perlawanan Papua sangatlah penting, dan Angganeta merupakan salah satu contoh paling menonjol. Sebagai perempuan adat yang memimpin tanpa kekerasan, ia memperlihatkan bagaimana perempuan bisa menjadi kekuatan moral dan sosial yang melampaui batasan gender tradisional, memberikan inspirasi bagi banyak gerakan perempuan Papua hingga kini.

Masyarakat Biak mengenangnya sebagai seseorang yang membawa terang dalam zaman gelap. Ia bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga tokoh spiritual. Seorang perempuan adat yang mampu menunjukkan bahwa iman bukanlah alat penaklukan, tapi kekuatan pembebasan. Bahwa kekudusan bukanlah soal mengikuti aturan asing, tetapi soal setia pada kebenaran yang hidup di hati rakyat.

Namun kekuatan moralnya itu akhirnya membuat ia menjadi sasaran rezim kekuasaan berikutnya.

Pendudukan Jepang di Papua selama Perang Dunia II membawa perubahan drastis. Selain pengusiran Belanda, Jepang memperketat kontrol militer dan membatasi kebebasan masyarakat adat. Penginjil dan pemimpin lokal seringkali dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas militer Jepang, sehingga banyak yang mengalami penangkapan dan kekerasan. Dalam kondisi ini, gerakan perlawanan tanpa kekerasan seperti yang dipelopori Angganeta menjadi sangat berbahaya.

Ketika Perang Dunia II meletus dan Jepang menduduki wilayah Pasifik, termasuk Biak, teror baru pun datang. Jepang tidak hanya mengusir Belanda, tetapi juga memperlakukan penduduk lokal dengan kekerasan brutal. Mereka mencurigai siapa pun yang dianggap menyebarkan "pengaruh asing", termasuk penginjil, guru lokal, dan pemimpin adat yang berpihak pada rakyat. Dalam pandangan tentara Jepang, siapa pun yang menggerakkan rakyat untuk bersatu, apalagi tanpa senjata, tetap dianggap berbahaya.

Angganeta Menufandu, yang sejak awal telah membangun basis komunitas rakyat yang mandiri, kembali dianggap sebagai ancaman. Gerakannya, walaupun damai, dianggap mengganggu ketertiban kolonial militer Jepang. Kesetiaannya pada kekuatan roh, ajaran kasih, dan solidaritas dianggap sebagai sikap tidak tunduk pada kekuasaan kekaisaran.

Pada tahun 1943, Angganeta ditangkap oleh pasukan Jepang. Tidak ada pengadilan, tidak ada penjelasan. Ia dibawa ke pinggiran hutan di Biak. Di sana, tanpa suara peluru yang meledak, ia dihukum mati. Jenazahnya tidak pernah ditemukan secara resmi. Tapi rakyat Biak mengenang tempat itu sebagai tanah yang disucikan oleh darah seorang martir.

Kematian Angganeta bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan juga simbol martir dalam konteks Papua dan Gereja lokal. Pengorbanannya menjadi sumber inspirasi spiritual dan sosial yang mendorong generasi-generasi berikutnya untuk terus mempertahankan martabat dan hak mereka secara damai.

Kematian Angganeta tidak menghentikan gerakannya. Justru sebaliknya, ingatannya menjadi hidup dalam generasi-generasi setelahnya. Ia menjadi simbol kekuatan perempuan Papua, simbol iman yang teguh, dan simbol perlawanan tanpa kekerasan terhadap sistem yang menindas. Kisahnya disampaikan dari mulut ke mulut, dari perapian keluarga ke ruang pengajaran adat, dari noken ke bait doa-doa lokal.

Di saat dunia mengenang Gandhi yang wafat pada 1948, dan Martin Luther King Jr. pada 1968, rakyat Papua telah lebih dahulu kehilangan seorang guru tanpa senjata — seorang perempuan Melanesia yang memilih jalan damai, jalan roh, jalan keadilan.

Hari ini, ketika kekerasan dan ketidakadilan masih terus menyelimuti Tanah Papua, nama Angganeta Menufandu bersinar sebagai cahaya dari masa lalu yang menuntun masa depan. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada senjata, melainkan pada keberanian untuk berdiri di pihak yang benar — meski harus membayar dengan nyawa.


Referensi:

Kamma, Freerk C. Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area. The Hague: Martinus Nijhoff, 1972.

Rutherford, Danilyn. Raiding the Land of the Foreigners: The Limits of the Nation on an Indonesian Frontier. Princeton University Press, 2003.

Strelan, John G. Search for Salvation: Studies in the History and Theology of Cargo Cults. Lutheran Publishing House, 1977.

Oral testimonies dan tradisi lisan masyarakat Biak (termasuk kumpulan kisah dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua).

Laporan misi dan arsip kolonial Zending Belanda (kitab-kitab harian yang dicatat pada awal abad ke-20).


Comments