Dari Jawa ke Papua: Paralelisme PETA dan PVK dalam Sejarah Militer-Kolonial
Dari Jawa ke Papua: Paralelisme PETA dan PVK dalam Sejarah Militer-Kolonial
Melalui artikel ini, penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan bagaimana institusi militer bentukan kekuatan kolonial justru dapat melahirkan kesadaran perlawanan dan cita-cita kemerdekaan. Dengan menyoroti kesamaan antara PETA dan PVK, penulis menegaskan bahwa sejarah sarat dengan kompleksitas, dan penting bagi kita untuk membuka ruang bagi narasi alternatif dalam memahami perjalanan bangsa.
Pendahuluan
Sejarah Indonesia dan Papua menyimpan banyak ironi. Dua di antaranya adalah kisah tentang PETA (Pembela Tanah Air) di bawah Jepang dan PVK (Papua Vrijwilligers Korps) di bawah Belanda. Sekilas tampak berbeda: satu muncul di Jawa tahun 1943, satunya lagi di Papua tahun 1961. Tapi kalau kita gali lebih dalam, ada paralelisme historis yang menarik dan penuh makna. Dua-duanya adalah produk kolonialisme, dua-duanya merekrut orang lokal untuk kepentingan penjajah, dan dua-duanya justru memantik kesadaran nasionalisme yang tidak selalu sesuai harapan si pembentuk. Mari kita telusuri lebih jauh.
PETA: Tentara Kolonial yang Melahirkan Nasionalisme
Ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda pada 1942, mereka bukan hanya ingin mengusir Belanda, tapi juga menciptakan tatanan baru: Asia untuk orang Asia, dimana Jepang adalah saudara tuanya. Salah satu strategi yang digunakan Jepang untuk mewujudkan visi tersebut adalah dengan membentuk PETA—pasukan sukarelawan yang direkrut dari pribumi Nusantara. Tujuannya jelas: membantu Jepang menghadapi Sekutu. Tapi tanpa disadari, lewat pelatihan militer dan semangat kebangsaan yang ditanamkan (meski atas nama Jepang), para pemuda PETA mulai punya kesadaran baru. Mereka belajar tentang disiplin, taktik, dan—yang paling penting—mimpi tentang kemerdekaan.
Beberapa tokoh besar kemiliteran Indonesia, seperti Jenderal Soedirman dan Gatot Subroto, adalah alumni PETA. Setelah Jepang kalah, PETA dibubarkan. Namun banyak dari mantan anggotanya beralih haluan dan menjadi tulang punggung Tentara Nasional Indonesia. Jadi, walaupun awalnya dibentuk oleh penjajah, PETA justru melahirkan kader militer untuk republik merdeka.
PVK: Milisi Papua dalam Bayang-Bayang Dekolonisasi
Sekarang kita melompat ke Papua tahun 1961. Belanda, yang masih menguasai Netherlands New Guinea, mulai goyah. Di tengah tekanan internasional dan tuntutan Indonesia atas wilayah itu, Belanda memilih strategi yang agak mirip Jepang dulu: membentuk milisi lokal. Maka lahirlah PVK—Papua Vrijwilligers Korps, korps sukarelawan yang diisi pemuda-pemuda Papua asli.
Belanda ingin menunjukkan bahwa rakyat Papua mampu menjaga wilayahnya sendiri. Mereka mempersiapkan simbol-simbol kenegaraan Papua: bendera Bintang Kejora, lagu kebangsaan, dan Dewan Papua. Tujuannya: membentuk identitas nasional Papua yang terpisah dari Indonesia. PVK adalah bagian dari proyek ini. Mereka dilatih militer, diorganisasi secara formal, dan diberi tugas menjaga keamanan lokal.
Namun, semua ini berumur pendek. Setelah Perjanjian New York 1962 dan masuknya UNTEA, wilayah Papua diserahkan ke Indonesia tahun 1963. PVK dibubarkan. Belanda cuci tangan. Banyak anggota PVK yang disingkirkan, diawasi, atau bahkan dituduh separatis. Tapi seperti halnya PETA, warisan PVK tak hilang begitu saja. Kesadaran yang dibentuk di dalamnya ikut membentuk benih-benih perlawanan: dari nasionalisme Papua hingga OPM.
Nama-nama alumni PVK seperti Prawar Jambuani nyaris terhapus dari sejarah resmi. Namun, di tengah ingatan masyarakat adat dan para simpatisan perjuangan Papua, ia tetap dikenang sebagai sosok pemberani yang memilih jalan perlawanan terhadap kekuasaan yang dipandang sebagai bentuk penjajahan.
Paralelisme yang Tak Terelakkan
Kalau kita bandingkan, ada pola menarik:
- Keduanya dibentuk oleh kekuatan kolonial asing (Jepang dan Belanda) untuk tujuan strategis.
- Keduanya merekrut orang lokal, memberikan pelatihan militer, dan menanamkan semacam ideologi politik (Asia merdeka dalam kasus Jepang, Papua merdeka dalam kasus Belanda).
- Keduanya berujung membentuk kesadaran nasional yang justru berlawanan dengan kepentingan penjajah atau penguasa berikutnya.
Dalam hal ini, PETA melahirkan tentara untuk Republik Indonesia. PVK, walaupun gagal membentuk negara Papua, menjadi simbol nasionalisme Papua yang hingga hari ini masih diperjuangkan.
Simbol, Trauma, dan Narasi yang Terpecah
Yang menarik, dalam narasi resmi sejarah Indonesia, PETA dimuliakan. Ada tugu, museum, bahkan nama jalan. Tapi PVK? Hampir tak disebut. Dalam sejarah resmi, mereka sering disamakan dengan separatis atau sisa-sisa kolonial. Padahal, bagi banyak orang Papua, PVK adalah bagian dari sejarah perjuangan mereka. Ini menunjukkan bagaimana sejarah bisa dipilah-pilah sesuai kepentingan kekuasaan.
![]() |
Museum PETA, Bogor. |
Ironi Sejarah dan Politik Ingatan
Baik PETA maupun PVK menunjukkan satu hal: kolonialisme bisa menciptakan alat kekuasaan yang kemudian jadi senjata balik. Yang satu melawan penjajah Eropa, yang lain menantang integrasi nasional. Sejarah PETA dan PVK bukan hanya soal militer, tapi juga soal ingatan, identitas, dan pertarungan narasi. Dan mungkin di situlah letak ironi paling dalam dari sejarah kita: bahwa dalam bayang-bayang kekuasaan, yang tertindas kadang bisa belajar, bahkan melawan.
Di antara sejarah resmi dan sejarah yang dibisukan, selalu ada kebenaran yang menunggu untuk disuarakan. Kisah PETA dan PVK mengajarkan kita bahwa sejarah tidak pernah hitam-putih; ia dipenuhi paradoks, ironi, dan kemungkinan yang tak terduga. Keduanya adalah cermin dari bagaimana kekuasaan berusaha membentuk kesetiaan, namun justru menanam benih kesadaran yang lebih besar—kesadaran akan harga diri, tanah air, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Menghormati Mimpi Merdeka: PETA, PVK, dan Keberanian Melawan Penjajahan
Hari ini, kita bisa memberi hormat kepada para pemuda PETA yang, dengan keberanian dan tekad, ikut membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama, kita juga memberi hormat kepada para pemuda PVK yang, dalam semangat yang tak kalah mulia, bermimpi tentang kebebasan dan martabat rakyat Papua. Keduanya adalah anak-anak tanah mereka, yang pernah percaya bahwa dunia bisa diubah, meski dari tengah penjajahan.
Maka biarlah sejarah mereka tak lagi dipisahkan oleh label "pahlawan" atau "pemberontak", melainkan disatukan dalam penghormatan kepada keberanian melawan ketidakadilan—apa pun bentuk dan konteksnya. Sebab dalam denyut sejarah yang jujur, setiap rakyat yang pernah bermimpi tentang kemerdekaan layak dikenang, bukan dihapus.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap menulis ulang sejarah secara berimbang, dan mengakui bahwa keberanian tidak hanya milik mereka yang menang, tetapi juga milik mereka yang terus bermimpi meski dilupakan?
Comments
Post a Comment