Demokrasi Adat Papua dan Sosialisme Melanesia: Cahaya dan Suara Kenabian bagi Dunia Kontemporer

Demokrasi Adat Papua dan Sosialisme Melanesia: Cahaya dan Suara Kenabian bagi Dunia Kontemporer


Di saat dunia tampak tenggelam dalam krisis demokrasi, antara otoritarianisme yang semakin terang-terangan dan pemilihan umum yang kehilangan makna, sebuah model dari ujung dunia, dari hutan, gunung, dan pesisir Papua, menghadirkan napas baru. Model itu adalah "demokrasi adat" yang diperjuangkan oleh pemikir dan pemimpin Papua, Markus Haluk, dalam wadah ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).


Demokrasi yang Berakar pada Budaya Melanesia

Dalam sejumlah seminar dan wawancara, Markus Haluk kerap menegaskan bahwa demokrasi sejati sebenarnya telah ada di Papua jauh sebelum kedatangan sistem kolonial atau negara modern. Dalam masyarakat adat Papua, keputusan diambil secara kolektif melalui pertemuan desa, dewan para tetua, dan diskusi komunitas—bukan berdasarkan suara mayoritas secara matematis, melainkan melalui musyawarah dan mufakat dengan tujuan menjaga keseimbangan sosial.

"Kita sudah memiliki demokrasi sendiri. Bukan demokrasi Indonesia atau Barat, tetapi demokrasi yang lahir di dalam honai (rumah tradisional) dan kampung-kampung kami."


Kepala Adat sebagai Pelayan Rakyat

Dalam demokrasi adat Papua, kepala adat (ondofolo, kepala klan, atau tetua) tidak memegang kekuasaan otoriter, tetapi berperan sebagai penjaga ikatan sosial, mediator, dan pelindung kepentingan bersama. Ia dipilih karena kebijaksanaan dan integritasnya, bukan karena kekayaan atau pengaruh.

"Di sini, kepala adat tidak memerintah. Ia yang terakhir makan, karena tugasnya adalah melayani dan menjaga keluarganya."


Penolakan terhadap Demokrasi Kolonial

Haluk dengan tegas menolak sistem demokrasi yang dibawa oleh kekuatan kolonial (Belanda, kemudian Indonesia). Sistem tersebut dipandang korup, individualistis, dan bertentangan dengan struktur komunitas Papua. Ia mengecam kekerasan, clientelisme, dan perampasan yang dibawa oleh demokrasi elektoral ala Indonesia.

"Demokrasi Jakarta telah gagal di Papua. Kami menolak model yang dibangun di atas uang dan kekerasan. Kami ingin kembali ke sistem yang adil dan manusiawi, berakar pada budaya kami."


Demokrasi Adat sebagai Fondasi Papua Merdeka

Bagi Haluk dan ULMWP, demokrasi adat bukan sekadar nostalgia, melainkan fondasi negara Papua Barat yang merdeka di masa depan. Tujuannya bukan meniru model Barat atau Indonesia, melainkan membangun masyarakat yang adil berdasarkan nilai-nilai tradisional: penghormatan pada tanah, solidaritas komunitas, kesetaraan, dan dialog.

"Papua tidak bermimpi menjadi Jakarta atau Canberra. Kami ingin menjadi bangsa Melanesia yang merdeka dengan identitas kami sendiri. Demokrasi adat adalah konstitusi hidup kami."


Perbedaan Demokrasi Adat Papua dan Musyawarah Mufakat Jawa

Keduanya memang sama-sama menekankan pentingnya mufakat, namun memiliki perbedaan mendasar yang berakar pada budaya, struktur sosial, dan tujuan masyarakatnya:

Demokrasi adat Papua tumbuh dari cara hidup masyarakat Melanesia yang sangat kolektif dan egaliter. Kekuatan dan keputusan bukan datang dari satu orang yang punya kekayaan atau status, tapi dari kepala adat dan tetua yang dipilih karena kebijaksanaan dan integritasnya. Mereka adalah penjaga keseimbangan sosial antar klan, karena masyarakat Papua sangat terikat dengan hubungan antar keluarga besar dan leluhur mereka.

Dalam pengambilan keputusan, demokrasi adat Papua berbasis konsensus yang melibatkan banyak orang, bukan semata voting mayoritas yang menghitung angka. Jadi keputusan dibuat dengan memastikan semua pihak merasa dihargai dan hubungan antar klan tetap harmonis. Individu di sini tidak mengedepankan kepentingan pribadi, karena mereka sadar bahwa mereka bagian dari komunitas besar yang saling bergantung. Nilai utama yang dijunjung adalah solidaritas, hubungan dengan leluhur dan alam, serta menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan.

Sementara itu, musyawarah untuk mufakat ala Jawa berakar dari budaya feodal yang hierarkis dan kebatinan. Pemimpin musyawarah biasanya merupakan tokoh masyarakat yang dihormati dan sangat menjaga harmoni agar tidak ada konflik terbuka. Di sini, tujuan utama musyawarah adalah mencapai mufakat atau kesepakatan bersama, dengan menghindari permusuhan atau perselisihan yang bisa merusak kedamaian sosial. Walaupun individu bisa berperan aktif, namun tetap saja mereka mengutamakan norma sosial dan tata krama Jawa yang kental. Intinya, musyawarah Jawa lebih menekankan pada menjaga ketertiban dan harmoni dalam masyarakat dengan cara yang sangat halus dan penuh penghormatan.

Jadi, perbedaan fundamentalnya adalah bahwa demokrasi adat Papua sangat menekankan pada kekuasaan yang tersebar di banyak kepala adat dan konsensus yang menyertakan semua klan demi menjaga keseimbangan sosial-ekologis. Sedangkan musyawarah untuk mufakat ala Jawa lebih terpusat pada tokoh yang dihormati dan fokus menjaga harmoni sosial dengan cara menghindari konflik dan menjaga tata krama budaya.

Demokrasi adat Papua adalah demokrasi dari bawah yang hidup dalam komunitas dan alam, sedangkan musyawarah Jawa lebih tentang menjaga kedamaian dan keselarasan lewat proses yang terstruktur dan hierarkis.


Nasionalisme Melanesia yang Inklusif

Demokrasi adat Papua berakar pada nasionalisme Melanesia, yaitu kesadaran kolektif akan identitas dan hak historis sebagai bangsa berperadaban lama yang terpinggirkan. Namun, nasionalisme ini tidak bersifat rasialis atau chauvinis. Ia tidak menolak orang luar berdasarkan ras, melainkan menekankan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal, partisipasi adil, dan etika hidup bersama.

Demokrasi adat Papua bersifat inklusif. Orang non-Papua dapat diterima dalam komunitas jika menghargai adat dan hidup secara etis. Inklusivitas ini menunjukkan bahwa nasionalisme Melanesia menuntut keadilan, bukan eksklusivitas, dan membuka ruang hidup bersama dalam semangat saling menghormati.


Sosialisme Melanesia dan Kearifan Papua

Beberapa bertanya apakah demokrasi adat Papua juga merupakan sosialisme. Jawabannya adalah ya—namun bukan sosialisme ala Barat yang berbasis teori Marx, perjuangan kelas, atau negara sentralistik. Sosialisme Melanesia yang diusung oleh rakyat Papua adalah sosialisme organik yang berakar pada tanah leluhur, kedaulatan kolektif, dan ikatan klan.

Ini adalah bentuk hidup komunitas yang berlandaskan pada pembagian bersama, solidaritas, perlindungan terhadap yang lemah, dan penghormatan terhadap keseimbangan alam. Sosialisme ini bukanlah ideologi yang dipaksakan, melainkan tradisi hidup yang diwariskan dan bertahan.  Ia tidak membutuhkan revolusi berdarah atau eksperimen sosial dari luar.

Di Melanesia—dari Papua hingga Vanuatu dan Kaledonia Baru (Kanaky)—telah ada sosialisme tanpa manifesto, partai politik, atau negara sentral. Sosialisme ini bertumpu pada hubungan harmonis antara manusia, tanah, dan leluhur.

Dalam konteks Papua saat ini, sosialisme Melanesia dapat menjadi fondasi bagi model pembangunan yang kontekstual, berkeadilan, dan lestari.


Tradisi Melanesia sebagai Jalan Pembebasan

Sosialisme Melanesia tidak menggantikan sosialisme Marxian, melainkan memperluasnya. Ia mengingatkan kita bahwa keadilan tak bisa dibangun tanpa spiritualitas, akar budaya, dan hubungan suci dengan tanah. Dalam dunia yang kehilangan arah, kebijaksanaan kuno ini bisa menjadi kompas bagi masa depan.

Demokrasi adat Papua dan sosialisme Melanesia yang diperjuangkan Markus Haluk bukan peninggalan masa lalu, melainkan jalan masa depan. Mereka mengajak kita belajar hidup bersama, mendengar dengan dalam, dan membangun perdamaian dari rasa hormat.

Mari kita buka hati dan pikiran untuk belajar dari kearifan lokal Melanesia—sebuah undangan untuk merefleksikan bagaimana keadilan, spiritualitas, dan hubungan dengan alam dapat menghidupkan kembali harapan dan harmoni di dunia yang tengah mencari arah.

Comments