“Papua Menjerit dalam Sunyi”: Peringatan Terakhir Filep Karma dan Komplotan Global dalam Penjajahan Bangsa
![]() |
Filep Jacob Semuel Karma (14 Agustus 1959 – 1 November 2022) |
Papua Menjerit dalam Sunyi:
Peringatan Terakhir Filep Karma dan Komplotan Global dalam Penjajahan Bangsa
Enam bulan sebelum kematiannya yang penuh tanda tanya pada tahun 2022, tokoh kemerdekaan Papua Barat, Filep Karma, menyampaikan pidato tajam yang mengguncang nurani siapa pun yang berani mendengarkan:
“Bukan hanya Indonesia yang membuat Papua menjadi luka berdarah, tetapi juga Amerika Serikat, PBB, dan Belanda. Mereka yang mengatakan bahwa Papua adalah urusan dalam negeri Indonesia adalah orang-orang yang tidak mengerti sejarah.”
Enam puluh satu tahun setelah pendudukan brutal Indonesia atas Papua Barat, kata-kata Karma menjadi lebih relevan dan membakar. Masalah Papua Barat bukan hanya kejahatan Indonesia—tetapi juga sebuah komplotan internasional yang terdiri dari pengkhianatan, keserakahan, dan kemunafikan.
Indonesia: Negara Perampok Berseragam
Mari kita bicara terus terang. Indonesia bukan pengelola yang sah, tetapi penjajah yang rakus, dipersenjatai oleh militer dan diberi insentif oleh investasi asing. Sejak sandiwara “Penentuan Pendapat Rakyat” tahun 1969—yang lebih layak disebut sebagai “Penentuan Nasib Paksa”—Papua Barat dipaksa tunduk oleh senapan, penjara, dan propaganda.
Apa yang disebut sebagai pembangunan hanyalah kamuflase kolonial. Jalan raya dibangun untuk tank dan truk tambang, bukan untuk petani Papua. Sekolah diawasi aparat. Rumah sakit kekurangan tenaga medis. Otonomi hanyalah dongeng. Yang disebut pembangunan hanyalah mekanisme yang efisien untuk menyedot darah dan tanah Papua—emas, tembaga, kayu, dan sawit.
“Papua seperti seorang ibu yang menjerit tak henti saat sumsum tulangnya dihisap oleh vampir raksasa,” tegas Markus Haluk, Sekretaris ULMWP.
Vampir itu berbendera merah-putih.
Amerika Serikat: Pengkhotbah Hak Asasi, Pelindung Tirani
Amerika senang berkhotbah soal hak asasi manusia—selama tidak menyentuh kepentingannya sendiri. Di Irak dan Libya, mereka meluncurkan rudal atas nama demokrasi. Di Bosnia, mereka menyeret penjahat perang ke pengadilan. Tapi di Papua Barat, mereka menutup mata dan telinga saat menyaksikan pembantaian oleh militer Indonesia.
Kenapa? Jawabannya sederhana: Freeport-McMoRan. Raksasa tambang Amerika ini mengeruk emas dan tembaga dari tanah Papua yang dirampas. Tambang itu dilindungi oleh tentara Indonesia yang telah membunuh dan menggusur rakyat Kamoro dan Amungme, dan Amerika membiarkannya—demi laba.
Dan jangan lupa: Suharto, diktator pembantai tahun 1965 dan pelaku genosida di Timor Leste, adalah sekutu kesayangan Washington. Ia tak pernah diadili. Ia mati terhormat. Ia disanjung sebagai pahlawan.
Belanda: Pengecut Terbesar dalam Sejarah Kolonial
Di antara semua pelaku, Belanda adalah yang paling bertanggung jawab secara historis. Negeri ini menjajah Papua sejak 1828, dan berjanji untuk memberikan kemerdekaan penuh.
Namun setelah mengakui simbol-simbol negara Papua pada 1 Desember 1961, Belanda menyerah karena tekanan Amerika dan ketakutan terhadap perang dengan Indonesia. Rakyat Papua diserahkan kepada penjajah baru tanpa perlawanan.
Demokrasi Belanda ternyata tak lebih kuat dari ketakutan. Ironisnya, Jepang yang fasis sekalipun tetap menepati janjinya memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Belanda yang katanya negara hukum mengkhianati janji dekolonisasi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa: Penjaga Damai atau Pelayan Kekuasaan?
Mari kita akui kenyataan: PBB adalah kaki tangan dari kejahatan ini. Mereka mengawasi dan merestui Act of Free Choice, yang pada kenyataannya adalah sandiwara. Hanya 1.026 orang dipilih secara paksa untuk mewakili satu juta jiwa. Suara mereka ditekan di bawah todongan senjata.
Ini bukan demokrasi. Ini koersi terorganisir, dilegalkan oleh PBB demi kepentingan geopolitik Barat. Hingga kini, PBB tidak pernah mengakui atau memperbaiki kejahatan sejarah ini.
PBB boleh bicara soal SDGs, soal hak masyarakat adat—tetapi di Papua Barat, mereka ikut berlumuran darah.
Seruan Keadilan: Lawan Kejahatan Internasional Ini!
Filep Karma memang telah wafat. Namun peringatannya tetap menjadi obor moral bagi kita semua. Dunia internasional harus membuka mata dan jujur mengakui: Papua Barat bukan urusan domestik Indonesia. Ini adalah kasus kejahatan global.
Sudah saatnya Indonesia, Amerika Serikat, Belanda, dan PBB diadili secara moral dan politis. Enam dekade genosida perlahan, pembunuhan budaya, dan eksploitasi ekonomi harus disorot terang.
Korban tidak akan dilupakan. Jeritan bangsa Papua tak boleh lagi dibungkam.
Mengutip Karma satu kali lagi:
“Papua adalah luka berdarah yang dunia enggan lihat.”
Sudah saatnya dunia membuka mata dan bertindak.
Comments
Post a Comment