Pokok Gerilya AH Nasution: Diterapkan TPNPB, Diabaikan TNI di Papua

Pokok Gerilya AH Nasution: Diterapkan TPNPB, Diabaikan TNI di Papua

Artikel ini menguraikan strategi perang gerilya yang dikembangkan oleh Jenderal AH Nasution, yang kini diadaptasi oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dalam memanfaatkan medan Papua yang sulit dijangkau. TPNPB menggunakan taktik gerilya untuk memperkuat perjuangan mereka, sementara TNI masih mengedepankan operasi militer konvensional yang kurang sesuai dan berpotensi menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Kajian ini tidak bertujuan membenarkan kekerasan atau memihak pihak manapun, melainkan mengajak untuk refleksi bersama demi tercapainya penyelesaian konflik Papua secara bermartabat.


Pendahuluan

Konflik bersenjata di Papua merupakan persoalan kompleks yang telah berlangsung lama dan menimbulkan dampak serius. Dalam konteks ini, konsep militer yang dirumuskan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, yakni Pokok-pokok Gerilya, layak untuk dikaji ulang sebagai salah satu pendekatan strategis yang relevan.

Konsep tersebut, yang berakar pada pemikiran tentang perang rakyat, tampak diadaptasi oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Sebaliknya, pendekatan yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih mengandalkan operasi militer konvensional yang mungkin kurang mempertimbangkan dinamika sosial-politik di lapangan. Pengabaian ini mencerminkan tantangan dalam memahami konteks dan kompleksitas konflik Papua.


Pokok-pokok Gerilya menurut AH Nasution

Jenderal AH Nasution, seorang tokoh militer Indonesia yang dihormati, dengan gamblang menyatakan bahwa:

“Gerilya adalah seni perang rakyat yang paling efektif ketika kekuatan konvensional tidak mampu mengatasi musuh secara langsung. Ia mengandalkan kekuatan rakyat, medan yang sulit, dan ketahanan luar biasa dari para pejuang.”

Dalam bukunya tahun 1953, Nasution menjelaskan bahwa gerilya tidak hanya sekadar peperangan fisik, tetapi juga melibatkan perjuangan politik dan psikologis dengan dukungan masyarakat luas. Pokok-pokok Gerilya merupakan titik strategis yang menjadi basis kekuatan, baik secara geografis maupun sosial.

Menurut Nasution:

“Pokok-pokok Gerilya adalah benteng hidup perjuangan rakyat, tempat bernaungnya kekuatan moral dan fisik yang tidak boleh pernah hilang.”

Gerilya adalah simbol perlawanan yang melibatkan rakyat sebagai subjek aktif dalam menentukan arah dan hasil perjuangan.


Strategi Pokok-pokok Gerilya oleh TPNPB

Meskipun tidak secara eksplisit merujuk pada doktrin militer Indonesia, pola perlawanan yang diterapkan oleh TPNPB menunjukkan penerapan prinsip-prinsip gerilya yang dikembangkan oleh Nasution. TPNPB mengedepankan desentralisasi komando, mobilitas tinggi, pemanfaatan medan sulit, serta serangan mendadak untuk melemahkan moral lawan.

Perjuangan TPNPB juga bergantung pada dukungan dan solidaritas masyarakat adat, menjadikan kantong-kantong gerilya sebagai ruang hidup dan simbol pertahanan terhadap tanah leluhur serta hak politik.


Pengabaian Strategi oleh TNI dan Dampaknya

Di sisi lain, TNI tampaknya belum sepenuhnya mengintegrasikan pendekatan komprehensif yang meliputi aspek militer, sosial, dan politik sebagaimana dianjurkan Nasution. Pendekatan operasi militer konvensional yang dominan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sipil dan memperdalam luka sosial.

Nasution pernah mengingatkan:

“Kegagalan memahami medan dan rakyat akan mengantarkan pasukan pada kehancuran.”

Walaupun negara memiliki hak dan kewajiban menjaga integritas wilayahnya, pendekatan yang hanya mengandalkan kekuatan tidak serta merta menghasilkan solusi jangka panjang.


Menghormati Dinamika Perjuangan

Menurut Nasution:

“Gerilya adalah perjuangan rakyat yang tidak bisa dipisahkan dari aspirasi mereka. Represi brutal tanpa solusi politik hanya akan menimbulkan kebencian dan memperparah perlawanan.”

Pokok-pokok gerilya di Papua mencerminkan denyut perjuangan kultural dan politik masyarakat adat. Mengabaikan aspek ini sama dengan mengabaikan suara rakyat Papua yang menuntut pengakuan dan martabat. Pendekatan militer yang mengesampingkan konteks ini dapat menghambat jalan menuju perdamaian.

Penghormatan terhadap lawan dalam konflik merupakan nilai kemanusiaan yang penting untuk menjaga ruang dialog dan saling pengertian. Oleh karena itu, penilaian sederhana terhadap TPNPB sebagai pihak kriminal tanpa melihat kompleksitas situasi dapat memperkeruh suasana dan menghalangi upaya penyelesaian.


Refleksi dan Rekomendasi

Keberhasilan perang gerilya, menurut Nasution, bergantung pada sinergi antara kekuatan militer, politik, dan psikologis yang melibatkan rakyat sebagai aktor utama. Oleh karenanya, TNI dan pemerintah disarankan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan humanis.

Nasution menulis:

“Kekuatan fisik harus diimbangi dengan penghormatan terhadap rakyat dan pemenuhan aspirasi mereka.”

Artinya, TPNPB perlu dipandang sebagai manifestasi politik yang harus dihormati melalui dialog, inklusivitas, dan keadilan sosial, bukan sekadar ancaman militer.


Warisan AH Nasution Melampaui Batas dan Waktu

Nasution adalah ahli strategi militer yang berpengaruh lintas waktu dan negara. Strategi perang gerilyanya dikenal di tingkat global, diterapkan di Vietnam oleh Vietcong dan menjadi bagian penting kajian perang asimetris di akademi militer internasional seperti West Point. Meskipun tidak spesifik membahas Papua, pemikiran Nasution tetap relevan untuk memahami dinamika konflik di wilayah ini.

Di sini, penulis mengangkat sosok Jenderal AH Nasution bukan untuk membenarkan tindakan TPNPB, melainkan sebagai refleksi kritis terhadap kerumitan proses konflik.


Kesimpulan

Akhir kata, penulis menegaskan bahwa operasi militer di Papua sebaiknya berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang tercantum dalam Sapta Marga TNI, yang menegaskan perlindungan terhadap seluruh rakyat tanpa perkecualian. Sangatlah disayangkan, berbagai laporan terkait pelanggaran HAM menunjukkan adanya penyimpangan dari nilai-nilai tersebut. Hal ini harus segera diperbaiki demi membangun kepercayaan masyarakat.

Jika gencatan senjata belum dapat tercapai, maka penerapan prinsip-prinsip hukum humaniter harus menjadi landasan utama dalam setiap tindakan, baik oleh TNI maupun TPNPB. Hal ini penting agar martabat manusia, perlindungan warga sipil, dan penghormatan terhadap hak asasi tetap terjaga.

Dengan ketaatan pada hukum humaniter, meskipun konflik masih berlangsung, penderitaan masyarakat dapat diminimalisir dan membuka peluang bagi penyelesaian yang beradab dan berkeadilan. Di sini, ada baiknya kita merenungkan kata-kata bijak dari ahli strategi perang kuno Tiongkok, Sun Tzu: kemenangan terbaik adalah menang tanpa bertempur. 

Sebab sesungguhnya, dalam perang, semua pihak pada akhirnya mengalami kerugian, sementara dalam damai, semua pihak dapat meraih kemenangan.

Comments