Rousseau dan Voltaire di Tanah Papua: Menyingkap Tirani atas Nama Peradaban
![]() |
Kiri: Jean-Jacques Rousseau (1712–1778). Kanan: Voltaire (1694–1778). |
Rousseau dan Voltaire di Tanah Papua: Menyingkap Tirani atas Nama Peradaban
Dalam terang pemikiran dua filsuf besar Abad Pencerahan Prancis, Jean-Jacques Rousseau dan Voltaire, penulis mengajak untuk menelisik kembali narasi pembangunan dan nasionalisme yang selama ini membayangi perjuangan masyarakat adat Papua. Pemikiran mereka bukan semata warisan intelektual abad lalu, melainkan kunci untuk memahami praktik penindasan yang terus berlangsung di tanah Papua — tirani yang dibungkus dengan jargon pembangunan, dengan kata lain: peradaban.
Kebebasan yang Terbelenggu
"Manusia dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia berada dalam belenggu."
Demikian kata Jean-Jacques Rousseau, membuka 'Du Contrat Social' dengan sebuah paradoks yang mengguncang nalar dan nurani. Kebebasan, yang seharusnya menjadi kodrat manusia, justru dihancurkan oleh tatanan yang katanya dibuat demi ketertiban. Di balik janji kemajuan dan pembangunan, tersembunyi jerat yang membungkam suara dan menundukkan tubuh: sistem sosial yang dibentuk bukan untuk membebaskan, melainkan untuk mengendalikan.
Rousseau tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Papua, tak pernah mendengar lantunan tifa atau melihat kabut menggantung di lembah Baliem. Namun pikirannya menembus waktu dan batas geografis. Ketika ia berbicara tentang bagaimana manusia yang bebas menjadi terikat oleh kontrak sosial yang tak setara, kita dapat melihat cerminnya dalam nasib rakyat Papua — yang tanahnya diwarisi dari leluhur, namun harus tunduk pada hukum negara yang tak mereka rumuskan; yang hutannya dijaga turun-temurun, namun dijadikan komoditas atas nama pembangunan.
Rousseau percaya bahwa manusia pada dasarnya baik — bahwa dalam keadaan alamiah, ia hidup dalam harmoni dengan sesamanya dan lingkungannya. Tapi kehancuran datang saat kepemilikan pribadi lahir, saat seseorang berkata: “Ini milikku”, dan yang lain dipaksa tunduk. Bukankah itu yang terjadi di Papua? Ketika tanah adat diubah menjadi hak guna usaha, ketika sungai-sungai keramat dijadikan kanal industri, ketika hukum adat yang hidup digantikan oleh undang-undang yang mati rasa?
Papua hari ini menjadi medan benturan antara kebebasan yang diwariskan oleh leluhur dan kekuasaan yang datang dari luar. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai penentu — yang memaksa warga untuk mendaftar tanahnya, membayar pajak atas hidupnya, dan menerima pembangunan yang tak mereka minta. Di sinilah Rousseau menjadi relevan: ia mengingatkan bahwa tidak semua kontrak sosial adalah adil. Ketika sebuah sistem dibangun tanpa suara mereka yang diatur, maka itu bukan perjanjian, tapi penjajahan.
Rousseau menggugah kita untuk bertanya ulang: apakah rakyat Papua benar-benar telah sepakat untuk hidup di bawah sistem ini? Atau mereka sedang hidup dalam versi baru dari belenggu kolonialisme — yang kini bernama nasionalisme, hukum, dan investasi?
Manusia Alamiah dan Kehidupan Adat Papua
Dalam 'Discours sur l'origine et les fondements de l'inégalité parmi les hommes', Rousseau menggambarkan suatu masa ketika manusia hidup dalam keadaan alamiah — sebuah zaman purba yang bebas dari hiruk-pikuk hukum, negara, dan kepemilikan pribadi. Dalam keadaan itu, manusia hidup damai, sederhana, dan selaras dengan alam. Mereka tidak saling menguasai, tidak memperebutkan kekayaan, dan tidak dikekang oleh struktur sosial yang menindas.
Gambaran ini bukan sekadar mitos filosofis. Dalam konteks Papua, ia menjadi nyata. Sebelum masuknya kolonialisme dan integrasi paksa ke dalam sistem negara modern, masyarakat adat Papua menjalani hidup yang mencerminkan semangat alamiah Rousseau: hidup berdampingan dengan tanah leluhur, memuliakan hutan, gunung, dan sungai sebagai bagian dari tubuh spiritual mereka. Hukum adat — bukan konstitusi negara — menjadi penuntun hidup. Ikatan kekerabatan dan solidaritas komunal menjadi dasar keadilan sosial. Tidak ada kepemilikan tanah dalam pengertian kapitalistik, karena tanah adalah ibu, bukan barang dagangan.
Dalam kerangka pemikiran Rousseau, masyarakat adat Papua bukanlah "tertinggal", melainkan justru penjaga warisan kemanusiaan yang belum ternoda oleh kerakusan peradaban modern. Mereka adalah cermin dari kemungkinan lain — bahwa hidup tidak harus ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, pasar bebas, atau kekuasaan negara, tetapi oleh keseimbangan, kebersamaan, dan kesetiaan pada tanah.
Rousseau seolah menggugah kita untuk memandang masyarakat adat bukan dengan kacamata modernitas yang arogan, tetapi dengan hormat yang dalam: bahwa di ujung timur nusantara, masih ada manusia yang hidup sebagaimana mestinya.
Mitos “Orang Liar” dan Kritik atas Etnosentrisme
Rousseau sering disalahpahami sebagai pemuja "le bon sauvage" atau “orang liar yang baik”, sebagaimana sering dituduhkan, tetapi sebenarnya ia adalah pengkritik tajam arogansi Eropa yang mengklaim diri sebagai puncak peradaban, sambil tetap melanggengkan perbudakan, penjajahan, dan ketimpangan. Dalam sorot matanya, yang disebut ‘kemajuan’ seringkali hanya topeng halus bagi dominasi dan kehancuran moral.
Andai Rousseau mengenal Papua, barangkali ia akan melihat dalam masyarakat adat bukan sekadar sisa masa lalu yang harus “dimodernisasi,” melainkan jejak alternatif kehidupan yang lebih manusiawi. Bukan nostalgia, tapi kemungkinan masa depan. Di tengah dunia modern yang tersesat dalam labirin teknologi, statistik, dan kerakusan atas alam, orang Papua hadir sebagai pengingat: bahwa kehidupan yang bermartabat tidak harus dibangun di atas beton, tambang, dan jalan trans.
Dalam keseharian mereka yang menyatu dengan tanah, hutan, sungai, dan ritus leluhur, orang Papua menampilkan etos yang tidak mengukur nilai hidup dari pertumbuhan ekonomi atau panjangnya jalan aspal, tapi dari relasi—antara manusia dan alam, antara generasi dan tradisi, antara roh dan tanah. Mereka tidak miskin karena tak punya gedung bertingkat atau mall raksasa; justru kita yang miskin karena kehilangan rasa syukur, harmoni, dan keintiman dengan dunia yang kita tinggali.
Mungkin, seperti yang dibayangkan Rousseau, “kemajuan” sejati bukanlah soal menguasai, tetapi belajar hidup bersama. Dan dalam hal ini, masyarakat adat Papua bukanlah bayangan masa lalu, melainkan guru masa depan.
Voltaire dan Wajah Gelap Peradaban
Jika Rousseau berseru dari suara hati nurani, maka Voltaire menyeringai dengan akal sehat dan satirnya yang mematuk. Dalam novelnya 'Candide', ia menyindir kemajuan Eropa yang berdiri di atas derita koloni. Seorang budak cacat di Suriname berkata, “Inilah harga yang kalian bayar untuk makan gula di Eropa.”
Hari ini, kita bisa menggantinya untuk Papua: inilah harga yang dibayar rakyat Papua demi emas yang bersinar di Jakarta, demi sawit dan bendungan atas nama pembangunan. Apa yang disebut Otonomi Khusus bukanlah penyembuhan, melainkan diagnosis baru yang keliru—luka lama dibungkus ulang, kali ini dengan pita uang dan slogan.
Seandainya Voltaire hidup hari ini, ia akan tertawa getir dan menulis: ini bukan kemajuan, tapi tipu daya yang disepakati bersama. Peradaban macam apa yang membangun istana di atas tulang saudaranya sendiri?
Suara yang Dibungkam atas Nama Negara
Voltaire dikenal sebagai pembela kebebasan berbicara — bahkan terhadap pendapat yang paling ia benci. Ia sendiri dipenjara di Bastille dan diasingkan karena kata-katanya yang tajam terhadap penguasa. Rousseau tak luput dari nasib serupa: buku-bukunya dibakar, dirinya diburu, hanya karena berani mengatakan bahwa manusia tidak dilahirkan untuk tunduk, tetapi untuk merdeka.
Hari ini di Papua, kebebasan berpendapat tak lebih dari ilusi. Mereka yang menyuarakan referendum, menuntut hak atas tanah leluhur, atau mengungkap pelanggaran HAM, dibungkam: ditangkap, dipenjara, bahkan dihabisi. Hukum berubah menjadi palu sensor. Media dikekang. Kritik dikriminalisasi. Dan luka kolektif disamarkan di balik mantra “persatuan nasional” yang terus diulang seperti litani doa negara.
Ini bukan sekadar kekerasan fisik. Ini adalah kekerasan simbolik — tirani dalam jas dan batik, yang menyapa dengan senyum tapi menyayat dengan hukum. Wajahnya ramah, tapi kata-katanya beracun. Jika Voltaire hidup hari ini, mungkin ia akan bertanya: apakah negara ini republik, atau hanya rezim kolonial yang diganti nama?
Warisan Pemikiran untuk Tanah yang Terluka
Rousseau mengingatkan kita bahwa kehidupan masyarakat adat memelihara nilai-nilai manusiawi yang tak perlu tunduk pada standar kemajuan versi negara. Ia percaya bahwa di balik “kesederhanaan” masyarakat rimba, tersembunyi kebajikan yang kerap hilang dalam hiruk-pikuk peradaban modern. Sementara Voltaire, dengan sarkasme tajamnya, membuka mata kita: kekuasaan yang mengaku membawa peradaban sering kali justru menyembunyikan kekejaman paling brutal.
Maka jika kita sungguh ingin mendengar suara Papua, sudah waktunya kita merombak narasi resmi, membongkar mitos pembangunan, dan bertanya dengan jujur: siapa sebenarnya yang primitif? Mereka yang merawat hutan, menjaga tanah, dan hidup selaras dengan alam? Ataukah mereka yang membangun bendungan, tambang, dan jalan raya di atas reruntuhan kampung dan air mata?
Pencerahan untuk Tanah yang Gelap
Para filsuf besar Eropa seperti Rousseau dan Voltaire tidak hanya memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan dalam ranah teori, tetapi juga mewariskan gagasan-gagasan yang menjadi api penyulut Revolusi Prancis — sebuah revolusi yang mengguncang dunia dan menegaskan bahwa rakyat berhak atas kemerdekaan, keadilan, dan suara dalam menentukan nasibnya sendiri.
Rousseau mengajarkan bahwa kebebasan sejati tumbuh dari keterikatan pada tanah dan komunitas sendiri, bukan dari paksaan luar. Sementara Voltaire memperingatkan bahwa kekuasaan yang mengklaim membawa cahaya seringkali menyembunyikan bayang-bayang kekejaman di baliknya. Dalam konteks Papua saat ini, pemikiran kritis Rousseau dan Voltaire memberikan kerangka filosofis yang memperkuat semangat perjuangan masyarakat adat, mengubah luka dan ketidakadilan menjadi panggilan untuk kebebasan serta penentuan nasib sendiri.
Gerakan Anti-Rasisme 2019 merupakan percikan awal revolusi di Tanah Papua. Dari luka rasial yang terjadi di Surabaya, muncul gelombang kesadaran baru bahwa Papua bukan sekadar korban, melainkan subjek sejarah. Seperti gema pemikiran Rousseau dan Voltaire, rakyat Papua kini menuntut hak untuk hidup bebas, bermartabat, dan menentukan sendiri takdirnya. Revolusi ini telah dimulai—bak bara yang ditiup angin timur, perlahan namun pasti menjalar, membakar rumput ketakutan, dan menumbuhkan tunas keberanian dalam jiwa generasi muda Papua.
Papua dan pencerahan dunia
Papua punya Voltaire — namanya Victor Yeimo. Ia bersuara lantang melawan ketidakadilan, memperjuangkan hak rakyat Papua dengan pena dan nyali. Karena keberaniannya, Victor dianugerahi 'Voltaire Empty Chair Award' pada 2023 oleh Liberty Victoria. Seperti Voltaire di zamannya, Yeimo tak pernah diam saat kebenaran diinjak.
Dan Papua pun punya banyak Rousseau — para pemikir demokrasi berbasis adat: Neles Tebay, Markus Haluk, Franzalbert Joku, Yohanis G. Bonay, Benny Giay, Socratez Sofyan Yoman, dan masih banyak lagi. Mereka percaya bahwa kekuasaan lahir dari musyawarah kampung, bukan senjata atau jabatan. Dalam honai dan dusun, demokrasi yang hidup dari akar rumput — bukan dari atas, tapi dari dalam budaya.
Di tengah dunia yang semakin lupa pada akar kemanusiaannya, Papua menyodorkan sebuah cermin: bahwa pencerahan bisa lahir bukan hanya dari Barat, tapi juga dari Timur yang sunyi. Bahwa demokrasi bisa tumbuh bukan dari sistem impor, tapi dari arus sungai, dari nyanyian noken, dan dari luka yang diubah jadi hikmat.
Tidaklah berlebihan jika di akhir uraiannya, penulis menegaskan: Papua adalah pencerahan bagi dunia!
Comments
Post a Comment