Indonesia dan Mitos-Mitos yang Harus Dibongkar

Indonesia dan Mitos-Mitos yang Harus Dibongkar


Indonesia sering dipuja sebagai negara besar dengan sejarah perjuangan yang heroik, keanekaragaman budaya yang memesona, dan semangat persatuan yang menginspirasi dunia. Tapi di balik narasi indah itu, ada luka yang disembunyikan, ada ketidakadilan yang dilanggengkan, dan ada mitos yang dijadikan alat untuk membungkam kebenaran.

Banyak orang takut bicara jujur tentang mitos-mitos itu. Sebab di negeri ini, mempertanyakan “NKRI” bisa dianggap makar, mengkritik Pancasila bisa disebut radikal, dan bersuara tentang keadilan untuk Papua bisa dicap separatis. Tapi bangsa yang besar bukanlah bangsa yang alergi terhadap kritik, melainkan bangsa yang berani menatap cermin dan mengakui luka-lukanya.

Berikut lima mitos besar tentang Indonesia yang sudah saatnya dibongkar dan didekonstruksi.


1. “NKRI Harga Mati” dan Mitos Kesatuan

Salah satu slogan paling populer—dan paling menakutkan—di republik ini adalah: “NKRI Harga Mati.” Tapi siapa yang paling banyak jadi korban dari slogan ini? Jawabannya: rakyat di pinggiran kekuasaan—terutama orang Papua.

Kesatuan Indonesia bukanlah kesepakatan sukarela semua pihak. Banyak wilayah—dari Aceh sampai Papua—masuk ke dalam Indonesia melalui operasi militer, bukan melalui dialog dan persetujuan yang adil. Di Papua, yang disebut “integrasi” adalah hasil dari tipu muslihat dan tekanan, bukan kehendak bebas rakyat.

“Kesatuan” menjadi tameng untuk menyembunyikan dominasi. Ketika Papua berbicara tentang hak menentukan nasib sendiri, Jakarta menjawab dengan pasukan. Ketika rakyat menuntut keadilan, negara menjawab dengan peluru dan stempel separatis. Apakah itu yang disebut “persatuan”?


2. Pancasila sebagai Alat Kekuasaan

Pancasila seharusnya menjadi dasar hidup bersama, tapi kini lebih sering jadi alat untuk menindas perbedaan. Negara merasa paling berhak menafsirkan Pancasila, dan siapa pun yang berbeda akan dicap anti-NKRI, radikal, bahkan teroris.

Pancasila dijadikan ideologi sakral, padahal sejatinya ia adalah ruang perdebatan. Di era Orde Baru, Pancasila dijadikan alat indoktrinasi. Hari ini, ia dijadikan tameng legal untuk membungkam aktivis, membatasi diskusi, dan memperkuat dominasi elite politik.

Apakah Pancasila milik rakyat atau milik penguasa?


3. Kemerdekaan yang Belum Merata

Kita sering merayakan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Tapi untuk siapa kemerdekaan itu? Apakah orang Papua sudah merdeka ketika tanahnya dirampas, hutannya dihancurkan, dan anak-anaknya dibunuh tanpa keadilan?

Bagi banyak rakyat kecil—dari petani yang digusur, nelayan yang dirampas lautnya, hingga masyarakat adat yang dijajah di tanah sendiri—kemerdekaan masih sebatas simbol. Yang merdeka adalah para pemilik modal, elite partai, dan investor yang dilindungi oleh kekuatan negara.

Indonesia belum benar-benar merdeka. Ia hanya mengganti baju kolonialisme Belanda dengan kolonialisme baru yang lebih lihai—dan lebih kejam.


4. Demokrasi yang Dikuasai Oligarki

Kita sering bangga dengan pemilu lima tahun sekali. Tapi coba tanyakan: siapa yang benar-benar berkuasa di negeri ini? Rakyat atau para pemilik uang?

Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi rakyat. Ia adalah demokrasi pasar, di mana kursi kekuasaan dibeli oleh para oligark. Suara rakyat dimanipulasi lewat hoaks, amplop, dan media yang dikendalikan pemilik modal. Rakyat hanya jadi penonton dalam teater kekuasaan.

Di Papua, suara rakyat bahkan tidak dianggap penting. Kebijakan dibuat tanpa mendengar orang Papua. Suara protes dibungkam. Demokrasi tidak sampai ke ujung timur negeri ini. Yang hadir hanya tentara, perusahaan, dan kekuasaan dari atas.


5. Mitos Keberagaman yang Menutupi Kekerasan

Indonesia bangga dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika.” Tapi kenyataannya, minoritas terus dikucilkan. Masyarakat adat terus dimarginalkan. Orang Papua terus dijadikan musuh dalam negeri.

Keberagaman yang diagung-agungkan itu sering kali hanya topeng. Yang dihargai adalah keberagaman yang jinak, yang patuh pada tafsir negara. Ketika orang Papua menyatakan identitasnya, ia dituduh separatis. Ketika umat agama minoritas ingin membangun rumah ibadah, mereka dihalangi. Ketika perempuan bersuara, mereka dibungkam.

Indonesia belum berani menghadapi keberagaman yang sejati. Yang ada hanya ilusi toleransi.


Membangun Indonesia Tanpa Kebohongan

Membongkar mitos bukan berarti membenci Indonesia. Justru inilah bentuk cinta yang paling radikal: cinta yang jujur, cinta yang mau menantang kebohongan, cinta yang berpihak pada mereka yang tertindas.

Indonesia hanya bisa jadi rumah bersama jika dibangun di atas kejujuran, bukan kebohongan. Atas pengakuan, bukan penyangkalan. Atas keadilan, bukan kekerasan.

Sudah waktunya kita bertanya ulang: Indonesia ini milik siapa? Apakah milik rakyat atau hanya milik penguasa?

Selama mitos masih jadi dogma, keadilan tak akan pernah lahir. Dan selama suara rakyat Papua terus dibungkam, maka Indonesia belum pantas menyebut dirinya “bangsa merdeka”.

Opini ini adalah ajakan untuk berpikir ulang, berdiskusi jujur, dan membangun bangsa di atas kebenaran. Jika Anda tidak setuju, mari berdialog. Jika Anda marah, tanyakan: marah karena saya salah, atau karena saya jujur?


Comments