Kepala Suku “Plat Merah” di Papua: Antara Adat dan Kekuasaan Negara

 

Kepala Suku “Plat Merah” di Papua: Antara Adat dan Kekuasaan Negara

Kepala suku “plat merah” di Papua menjadi alat kontrol negara; pengangkatan Lukas Enembe mengilustrasikan bagaimana adat dimobilisasi untuk kekuasaan, sebelum ia dilengserkan karena tidak mematuhi Jakarta.


Di Papua, struktur sosial tradisional sangat kompleks, terikat pada garis keturunan, wilayah adat, dan jaringan marga. Kepala suku dalam pengertian asli adalah pemimpin adat yang dipilih berdasarkan norma dan adat turun-temurun. Ia bukan sekadar simbol, tetapi penjaga tradisi, mediator dalam konflik internal, dan representatif komunitasnya. 

Posisi ini memberi legitimasi sosial dan kultural, yang berfungsi menjaga solidaritas dan identitas masyarakat adat. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, pengakuan kepala suku mulai dipengaruhi oleh negara dan elit politik, menghadirkan fenomena yang disebut “kepala suku plat merah”, di mana figur yang memiliki hubungan politik dengan pemerintah diberi legitimasi adat formal.


Fenomena Lukas Enembe sebagai Kepala Suku Besar

Kasus paling menonjol adalah pengukuhan Lukas Enembe sebagai Kepala Suku Besar Tanah Papua pada 2022. Prosesi yang diklaim mewakili tujuh wilayah adat ini memberi Enembe legitimasi adat formal, meskipun secara genealogis dan tradisional ia tidak berasal dari seluruh suku di Papua. 

Banyak tokoh adat dan masyarakat menilai pengukuhan ini bertentangan dengan prinsip tradisional bahwa kepala suku harus dipilih dari dalam komunitasnya. Fenomena ini menandai usaha negara dan elit politik lokal untuk memperkuat pengaruh melalui figur yang bisa menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan semata-mata representasi komunitas adat yang autentik.

Pengangkatan Enembe juga mencerminkan strategi simbolik: kepala suku yang diakui negara dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Papua telah diakomodasi, seolah legitimasi rakyat adat sudah terintegrasi dalam negara. Dengan posisi ini, pejabat dapat memfasilitasi proyek pembangunan, investasi, atau pertambangan yang dikemas sebagai “untuk kepentingan masyarakat adat”, padahal kontrol atas tanah dan sumber daya tetap berada di tangan negara dan elit yang berafiliasi dengan Jakarta.


Memori Timor Timur: Pelajaran dari Strategi Politik

Fenomena ini mengingatkan pada pengalaman Indonesia di Timor Timur. Selama pendudukan 1975–1999, pemerintah Indonesia merekrut milisi lokal yang pro-NKRI untuk menekan dan memecah komunitas yang menuntut kemerdekaan. 

Milisi ini berfungsi bukan hanya sebagai alat kekerasan, tetapi juga instrumen pemecah-belah sosial. Dengan strategi ini, solidaritas komunitas Timor Timur yang heterogen terfragmentasi, oposisi melemah, dan kekuasaan negara tersalurkan melalui jaringan lokal. Strategi “divide et impera” ini berhasil menanamkan kontrol struktural yang terselubung, sehingga identitas dan suara lokal diinternalisasi dalam sistem yang dikuasai pusat.

Di Papua, pengangkatan kepala suku plat merah dapat dipahami sebagai versi halus dari strategi yang sama. Kepala suku yang direkayasa atau diangkat oleh negara berfungsi untuk menyalurkan kekuasaan, memecah solidaritas komunitas adat, dan mengontrol simbol-simbol identitas. Hal ini menciptakan kompetisi antar-elite lokal, melemahkan jaringan solidaritas horizontal, dan menjadikan struktur adat sebagai alat legitimasi pemerintah.


Penegasan Kekuasaan dan Akhir Kepemimpinan Enembe

Meski awalnya dianggap sebagai figur yang mampu menjembatani adat dan negara, Lukas Enembe pada akhirnya dilengserkan. Salah satu alasan utama adalah ia tidak selalu patuh pada kehendak Jakarta. 

Dalam sejumlah kebijakan, Enembe sering menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat Papua, meskipun hal itu kerap berseberangan dengan agenda pemerintah pusat. Sikap ini tampak, misalnya, ketika ia secara terbuka menolak pemekaran provinsi melalui kebijakan DOB, mendorong perluasan program beasiswa luar negeri bagi anak-anak Papua, memprioritaskan rekrutmen ASN dari Orang Asli Papua, serta mengkritik pendekatan keamanan pemerintah dan operasi militer di wilayah pegunungan.

Hal ini menimbulkan ketegangan antara loyalitas politik formal dan tanggung jawab terhadap komunitas adat. Posisi kepala suku yang diangkat oleh negara ternyata bukan hanya soal legitimasi adat, tetapi juga soal kepatuhan terhadap agenda pusat. Ketika kepatuhan itu dipertanyakan, status dan pengaruh politik Enembe terancam, dan pada akhirnya ia harus lengser dari beberapa posisi strategis.

Kejadian ini menegaskan dilema struktural di Papua: kepala suku plat merah dapat menjadi simbol kontrol, namun legitimasi mereka tidak sepenuhnya diakui oleh komunitas adat yang lebih luas. Negara memiliki mekanisme untuk memanfaatkan struktur adat demi kepentingan politik dan ekonomi, tetapi ketika figur yang seharusnya menjadi alat kontrol mengekspresikan otonomi, konflik tak terhindarkan.


Implikasi Bagi Adat dan Identitas Papua

Fenomena kepala suku plat merah menghadirkan konsekuensi serius bagi identitas dan kedaulatan adat di Papua. Kepala suku tradisional yang sah dapat kehilangan pengaruhnya ketika muncul kepala suku yang diakui negara, sementara proyek pembangunan, investasi, dan kontrol wilayah dikaitkan dengan figur yang memiliki legitimasi formal, bukan adat. Strategi ini mengaburkan batas antara adat, politik, dan negara, menjadikan masyarakat adat berada dalam posisi yang rumit: mempertahankan otoritas adat sambil menghadapi tekanan struktur kekuasaan modern.

Sejarah Timor Timur menunjukkan bahwa strategi semacam ini bisa efektif jangka pendek, tetapi menimbulkan resistensi dan konflik jangka panjang. Di Papua, analogi ini tampak jelas. Kepala suku plat merah berfungsi sebagai instrumen kontrol negara, memecah solidaritas komunitas, dan mengatur simbol identitas. Pada saat yang sama, masyarakat adat menghadapi dilema: bagaimana mempertahankan suara mereka dan kedaulatan budaya ketika tokoh adat sendiri bisa menjadi alat politik.


Kesimpulan

Kepala suku plat merah bukan sekadar jabatan simbolik, melainkan bagian dari strategi dominasi struktural yang menggabungkan simbolisme adat dan legitimasi formal. Pengangkatan Lukas Enembe sebagai kepala suku besar Papua, dan kemudian lengsernya karena ketidakpatuhan terhadap Jakarta, menegaskan ketegangan antara kedaulatan adat dan kekuasaan negara. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa integrasi simbolik adat ke dalam negara tidak selalu berarti pengakuan atas adat, tetapi dapat menjadi mekanisme kontrol yang halus namun efektif. Papua menghadapi tantangan struktural: mempertahankan identitas dan kedaulatan adat sambil menavigasi tekanan politik dan kontrol kekuasaan yang direkayasa dari atas, persis seperti pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman Timor Timur.


Wim Anemeke 

Comments