Membela Manifesto Politik Rakyat Papua 1 Desember 1961

Membela Manifesto Politik Rakyat Papua 1 Desember 1961

Menjawab Pertanyaan yang Kerap Dipakai untuk Mendiskreditkan Hak Politik Bangsa Papua


Konteks Historis dan Kebangkitan Kesadaran Papua

Manifesto Politik Bangsa Papua yang diumumkan pada 1 Desember 1961 sering menjadi sasaran berbagai pertanyaan yang sengaja disusun untuk memperkecil, bahkan meniadakan, legitimasi historis dan politik bangsa Papua. Banyak argumen dilontarkan untuk menggiring opini bahwa deklarasi tersebut hanyalah produk kolonial atau manipulasi Belanda. Padahal, jika menelusuri dinamika politik saat itu, tampak jelas bahwa Manifesto tersebut merupakan ekspresi asli dari kehendak bangsa Papua sendiri, yang disampaikan melalui lembaga perwakilan mereka: Nieu Guinea Raad.

Deklarasi 1961 lahir dari proses panjang kebangkitan identitas Papua. Ketika pendidikan modern berkembang, ketika sekolah-sekolah dan pelatihan administrasi dibuka bagi orang Papua, dan ketika komunikasi antarwilayah semakin intens, muncul generasi baru pemimpin yang mulai mempertanyakan posisi politik mereka. Dunia sendiri sedang berada dalam gelombang dekolonisasi yang menghancurkan struktur kolonial tua dan melahirkan puluhan negara baru. Dalam arus inilah para pemimpin Papua menyadari bahwa mereka bukan sekadar suku-suku yang terpisah, tetapi bagian dari satu keluarga besar Melanesia dengan kepribadian bersama yang khas.


Nieuw Guinea Raad sebagai Lembaga Politik Bangsa Papua

Ketika Nieuw Guinea Raad dibentuk pada awal 1961, ia bukan lembaga kosmetik atau formalitas kolonial, melainkan parlemen yang beranggotakan wakil-wakil Papua dari berbagai wilayah—Hollandia, Biak, Sorong, Manokwari, Serui, Merauke—yang dipilih dalam struktur pemerintahan lokal. Dalam sidang-sidang resmi Dewan inilah identitas politik bangsa Papua dirumuskan secara serius. Para pemimpin seperti Nicolaas Jouwe, Markus Kaisiepo, Willem Zonggonau, Frits Kirihio, dan banyak tokoh lainnya, dengan kesadaran penuh akan zamannya, merumuskan masa depan Papua.

Dari proses musyawarah itulah lahir Manifesto Politik Bangsa Papua, Bendera Bintang Kejora, lagu “Hai Tanahku Papua”, dan lambang Burung Mambruk. Semua ini bukan keputusan sepihak Belanda, melainkan hasil keputusan parlemen Papua. Karena itu, ketika ditanyakan “siapa yang memproklamirkan Manifesto 1 Desember 1961?”, jawabannya sangat jelas: yang memproklamirkan adalah bangsa Papua sendiri melalui lembaga demokratiknya.


Bahasa Nasional dan Identitas Politik Papua

Pertanyaan seperti “Apa bahasa nasional Papua?” kerap digunakan untuk mendeligitimasi keberadaan bangsa Papua, seolah-olah bangsa yang layak adalah bangsa yang hanya memiliki satu bahasa tunggal. Cara berpikir ini bukan hanya keliru, tetapi juga sarat rasisme epistemik. Para anggota Nieuw Guinea Raad memilih Bahasa Melayu Papua—ragam Melayu yang telah lama digunakan sebagai lingua franca dari Sorong hingga Merauke—sebagai bahasa nasional. Bahasa ini telah digunakan berabad-abad dalam perdagangan, komunikasi antarsuku, hingga pendidikan dan pemerintahan lokal.

Di samping bahasa bersama itu, Papua memiliki lebih dari dua ratus lima puluh bahasa asli, menunjukkan kekayaan budaya yang luar biasa, bukan ketidaksiapan politik. Seperti halnya Indonesia memilih ragam Melayu sebagai bahasa nasionalnya, demikian pula Papua. Bahasa tidak pernah menjadi ukuran kedewasaan politik; yang menentukan adalah kesadaran kolektif dan institusi bersama.


Pembentukan Bangsa Papua: Dari Kesadaran ke Institusi

Argumen bahwa Papua hanyalah kumpulan suku-suku Melanesia berbeda dan karena itu tidak mungkin menjadi bangsa mengabaikan fakta sejarah. Bangsa-bangsa modern terbentuk dari kesadaran bersama, interaksi lintas wilayah, pengalaman sejarah yang saling terhubung, dan institusi politik yang menyatukan. 

Pada 1961, semua syarat itu telah ada. Orang Papua telah melihat diri mereka sebagai satu komunitas politik yang berbeda dari bangsa lain, terutama ketika mereka mulai membangun jaringan pendidikan, perdagangan, dan diplomasi internal. Nieuw Guinea Raad memberikan bentuk institusional bagi kesadaran itu, sehingga melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai “bangsa politik Papua” — One People, One Soul (satu rakyat, satu jiwa).


Mengapa Deklarasi 1 Desember Tidak Menghadirkan Kemerdekaan?

Deklarasi 1 Desember 1961 tidak otomatis menjadikan Papua negara merdeka bukan karena rakyat Papua tidak siap, melainkan karena proses dekolonisasi yang seharusnya berlangsung secara alami dipotong oleh kepentingan geopolitik global. Seruan Trikora yang diumumkan Sukarno pada 19 Desember 1961 kemudian membuka jalan bagi operasi militer dan aneksasi Indonesia atas tanah Papua.

Dalam hukum internasional, kemerdekaan merupakan proses bertahap: pembentukan pemerintahan sendiri, pelaksanaan penentuan nasib sendiri melalui referendum, deklarasi kemerdekaan, dan akhirnya pengakuan internasional. Papua sebenarnya telah memasuki tahap-tahap awal ini dengan baik.

Namun Perjanjian New York 1962—yang disusun tanpa kehadiran satu pun wakil Papua—secara paksa memutus proses dekolonisasi dan menyerahkan masa depan Papua kepada kekuatan asing tanpa persetujuan rakyatnya. Pengkhianatan ini berpuncak pada Pepera 1969, sebuah proses yang secara hukum dan moral cacat karena dilakukan melalui 1.026 “wakil” yang dipilih dan ditekan oleh militer, sehingga sama sekali tidak dapat dianggap sebagai ekspresi kehendak rakyat Papua.

Karena itu, kegagalan Papua mencapai kemerdekaan pada saat itu bukanlah cerminan ketidakmampuan bangsa Papua, melainkan akibat penghentian sepihak atas proses dekolonisasi yang sah menurut hukum internasional.


Relevansi Manifesto 1961 bagi Papua Masa Kini

Manifesto Politik 1 Desember 1961 tetap relevan karena ia merupakan deklarasi resmi pertama tentang identitas politik Papua. Ia menegaskan bahwa Papua adalah bangsa dengan simbol, bahasa, aspirasi, dan cita-cita yang jelas. 

Bendera Bintang Kejora, lagu kebangsaan, dan lambang negara yang lahir pada periode itu bukan sekadar simbol budaya, tetapi fondasi moral perjuangan politik yang terus hidup hingga kini. Manifesto tersebut memberikan legitimasi historis yang kuat bagi tuntutan hak menentukan nasib sendiri dalam kerangka hukum internasional.


Bangsa yang Pernah dan Tetap Menyatakan Dirinya Merdeka

Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 1961 bangsa Papua telah menyatakan dirinya kepada dunia melalui lembaga politik resminya. Semua pertanyaan yang diarahkan untuk mendiskreditkan Manifesto itu justru memperlihatkan betapa kokohnya dasar politik yang dibangun oleh para pemimpin Papua saat itu. 

Deklarasi tersebut bukan artefak kolonial, melainkan tanda lahirnya sebuah bangsa yang hingga hari ini masih berjuang untuk menuntaskan proses dekolonisasinya. Dan selama cita-cita itu tetap hidup, Manifesto Politik 1961 akan terus menjadi batu penjuru yang menegaskan martabat dan aspirasi bangsa Papua.

Sesungguhnya, Papua tidak pernah menjadi bagian Indonesia sebelum 1963–1969; klaim integrasi lebih bersifat politik daripada historis. Masyarakat Papua, yang jauh berbeda secara ras, budaya, dan bahasa dari mayoritas Indonesia, kini semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri akibat migrasi besar penduduk dari luar Papua dan pembangunan yang tidak merata. 


Jika Papua Merdeka Penuh pada 1971

Andaikata Papua merdeka penuh seperti yang dijadwalkan pada 1971, dengan mata uang gulden yang kuat dan cadangan sumber daya alam melimpah, mungkin hari ini Papua akan menjadi negara terkaya di Pasifik, mampu membayar seluruh hutang luar negeri Indonesia, alih-alih menjadi daerah yang bergantung dan tereksploitasi.

Integrasi yang diklaim demi kemajuan justru memperlihatkan ketimpangan ekonomi, eksploitasi sumber daya, dan pelanggaran hak asasi manusia, sementara identitas dan kedaulatan adat terus tergerus. Menolak klaim penggabungan Indonesia bukan bentuk kebencian atau makar. Ini adalah upaya pelurusan sejarah, menegaskan hak menentukan nasib sendiri, melindungi identitas Melanesia, dan memperjuangkan keadilan serta keberlangsungan bangsa Papua.




Comments