Menanggapi Pemuka Pro-NKRI dan Tuduhan terhadap Gerakan Kebangsaan Papua
Himbauan beberapa pemuka Papua pro-NKRI agar rakyat tidak merayakan 1 Desember kerap dibarengi tuduhan bahwa ULMWP, KNPB, dan organisasi Papua lainnya adalah pengacau. Namun narasi ini justru membalik fakta: pembatasan ekspresi rakyat Papua datang dari mereka yang melontarkan tuduhan itu.
Seiring memasuki tanggal 1 Desember, sejumlah pemuka Papua yang mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali menyampaikan himbauan kepada masyarakat agar tidak terlibat dalam perayaan yang dianggap “separatis” oleh sebagian pihak.
Fenomena ini memunculkan perdebatan sengit: di satu sisi ada suara-suara yang menekankan kesetiaan pada NKRI; di sisi lain, organisasi pergerakan Papua seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan kelompok serupa seringkali dituduh sebagai pihak yang “mengganggu ketertiban” dan “menghasut rakyat”.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, tuduhan ini dibangun di atas narasi sepihak, sementara fakta lapangan menunjukkan bahwa mereka justru menegaskan hak politik, sosial, dan budaya rakyat Papua. Ironisnya, narasi yang sama jarang menyoroti himbauan pemuka pro-NKRI yang, dalam praktiknya, membatasi ekspresi budaya dan politik masyarakat Papua secara damai.
Pemuka Pro-NKRI: Stabilitas atau Pembatasan Ekspresi?
Pemuka Papua pro-NKRI sering mengedepankan argumen bahwa perayaan 1 Desember adalah “tidak relevan” dan berpotensi memecah belah masyarakat. Himbauan tersebut dibungkus dengan narasi stabilitas dan persatuan. Namun, jika dianalisis lebih kritis, pesan ini adalah bagian dari mekanisme represif untuk membungkam suara rakyat Papua.
Dengan kata lain, himbauan tersebut bukan sekadar soal menjaga keamanan, tetapi juga soal pengendalian narasi sejarah Papua. Para pemuka ini seolah mnjadi “orang bijak” yang menuntun rakyat Papua, sementara secara implisit menolak pengakuan terhadap aspirasi rakyat Papua yang diwakili oleh ULMWP, KNPB, dan organisasi lain yang mendorong hak penentuan nasib sendiri.
Tuduhan terhadap Organisasi Pergerakan Papua: Narasi yang Dikembalikan
Hampir semua organisasi pergerakan Papua dicap sebagai subversif oleh pemerintah Indonesia. Tuduhan serupa juga disampaikan oleh pihak yang menekankan himbauan agar rakyat Papua tidak ikut perayaan 1 Desember. Namun, ketika diperiksa dengan teliti, banyak dari tuduhan tersebut justru cenderung memutarbalikkan fakta:
1. KNPB dan aksi damai:
KNPB secara konsisten mengedepankan aksi non‑kekerasan dan kegiatan sosial untuk memperjuangkan hak politik Papua. Mereka mengadakan gotong‑royong di Sentani, mimbar bebas di Manokwari, dan aksi damai Hari Tani Nasional di Jayapura, sambil menuntut keadilan agraria dan penghentian pelanggaran HAM, meskipun sering mendapat hambatan dari aparat keamanan. Tokoh seperti Victor Yeimo mendapat pengakuan internasional ketika ia dianugerahi Voltaire Empty Chair Award pada November 2023.
2. ULMWP dan diplomasi internasional:
ULMWP aktif dalam diplomasi internasional untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, misalnya melalui status pengamat di forum regional Pasifik Selatan Melanesian Spearhead Group (MSG) sejak 2015, membawa petisi penentuan nasib sendiri ke PBB pada 2017, serta mendukung pertemuan parlemen Inggris pada 2023 yang menyerukan kunjungan mendesak Office of the High Commissioner for Human Rights ke Papua. Tuduhan bahwa ULMWP adalah organisasi “tidak jelas” menegasikan legitimasi mereka sebagai representasi politik masyarakat Papua.
3. Organisasi pergerakan lokal:
Mereka yang bergerak di bidang pendidikan, budaya, dan advokasi sosial kerap dituduh “memecah belah” hanya karena menegaskan identitas Papua secara terbuka. Padahal, aktivitas mereka bertujuan membangun kapasitas masyarakat dan kesadaran sejarah, bukan merusak ketertiban umum.
Dalam perspektif ini, tuduhan yang selama ini diarahkan kepada organisasi-organisasi Papua justru merupakan bentuk narasi politik dari pihak yang menentang ekspresi Papua. Dengan kata lain, narasi bahwa “perayaan 1 Desember berbahaya” digunakan sebagai alat untuk melemahkan legitimasi pergerakan rakyat Papua itu sendiri.
Siapa yang Sebenarnya Mengganggu Ketertiban?
Jika kita melihat secara obyektif, yang sebenarnya berpotensi mengganggu ketertiban bukanlah organisasi Papua, melainkan kebijakan dan himbauan yang membatasi hak rakyat untuk mengekspresikan diri. Menghimbau rakyat Papua untuk tidak merayakan suatu tanggal yang memiliki makna historis bagi mereka, sambil menuding pihak lain sebagai pengacau, merupakan bentuk pembalikan narasi.
Seharusnya, yang perlu dikritisi adalah mekanisme komunikasi dan kekuasaan yang memungkinkan narasi tunggal ini terus dipertahankan. Daripada mempersalahkan organisasi-organisasi Papua yang mengedepankan hak politik, fokus harus dialihkan kepada bagaimana himbauan pro-NKRI bisa memarginalkan suara rakyat Papua, serta membatasi partisipasi mereka dalam penentuan identitas budaya dan politik sendiri.
Membalik Tuduhan dan Mengembalikan Hak Bicara
Fenomena pemuka Papua pro-NKRI yang menghimbau rakyat untuk tidak merayakan 1 Desember memunculkan paradoks: mereka menuding pergerakan Papua sebagai pengacau, padahal yang membungkam ekspresi rakyat Papua justru mereka sendiri.
ULMWP, KNPB, dan organisasi pergerakan lainnya bukan “tidak jelas” atau “mengganggu ketertiban”; mereka adalah ekspresi perjuangan rakyat Papua untuk pengakuan politik, budaya, dan sosial, sejalan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) universal dan spirit UUD 1945 yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, tanpa perkecualian.
Melarang Orang Papua merayakan tanggal sakral yang menjadi bagian dari memori kolektif dan identitas mereka bukan hanya pelanggaran HAM, tetapi juga perendahan martabat orang Papua, seolah-olah mereka bukan manusia utuh dalam negara yang konon berbhineka tunggal ika.
Kesimpulan
Narasi yang dibalik ini menegaskan satu hal penting: tuduhan terhadap organisasi pergerakan Papua harus dikembalikan kepada pihak yang menuduh. Alih-alih menstigmatisasi ULMWP dan KNPB, publik perlu menyoroti bagaimana himbauan yang dibangun atas nama NKRI bisa menjadi alat pembungkaman terhadap suara rakyat Papua. Dalam konteks demokrasi dan hak asasi, mempertanyakan dan mengekspresikan aspirasi politik adalah hak fundamental yang tidak boleh dipersempit.


Comments
Post a Comment