Non-Kekerasan: Jalan Terbaik bagi Papua

 

Mengapa Non-Kekerasan adalah Jalan Terbaik bagi Papua

Dan Mengapa Etika Ini Lebih Penting daripada Semua Ideologi Politik

Perjuangan politik Papua telah memasuki babak panjang yang penuh luka, ketidakadilan, dan pergulatan antara harapan serta kenyataan. Selama puluhan tahun, strategi perlawanan Papua berkembang dalam berbagai bentuk: diplomasi, advokasi, gerakan gereja, aksi mahasiswa, hingga konfrontasi bersenjata. Namun, di tengah dinamika tersebut, satu kenyataan semakin kuat: perjuangan tanpa kekerasan bukan hanya sebuah pilihan moral, tetapi strategi politik yang paling realistis, paling efektif, dan paling aman bagi rakyat Papua saat ini.

Ini bukan sekadar idealisme. Dalam konteks Papua—dengan ketimpangan kekuatan yang sangat besar, struktur represif negara yang kuat, dan kerentanan sosial masyarakat adat—perlawanan tanpa kekerasan menjadi satu-satunya jalur yang mampu menjaga keberlanjutan perjuangan, melindungi rakyat, dan membangun legitimasi internasional. Etika non-kekerasan bahkan jauh lebih penting daripada ideologi politik apa pun, karena ideologi dapat berubah, tetapi perlindungan terhadap hidup manusia tidak boleh dinegosiasikan.


Ketimpangan Kekuatan: Realitas yang Tidak Bisa Diabaikan

Tidak ada perjuangan politik yang menang dengan mengabaikan realitas objektif. Papua berhadapan dengan salah satu institusi militer terbesar di Asia Tenggara, lengkap dengan logistik, intelijen, dan legitimasi hukum negara. Sementara itu, TPNPB beroperasi dengan sumber daya terbatas, tanpa suplai logistik permanen, dan dengan risiko besar terhadap masyarakat sipil.

Peperangan selalu mengasumsikan dua kekuatan yang seimbang untuk membuka peluang kemenangan. Papua tidak berada dalam kondisi itu. Konfrontasi bersenjata, sekecil apa pun, memberikan negara alasan legal, moral, dan politis untuk meningkatkan operasi keamanan, memperluas stigmatisasi, dan menunda panjang solusi politik.

Non-kekerasan, sebaliknya, membalik logika ini. Ketimpangan bukan lagi kelemahan, tetapi kekuatan moral dan politis. Ketika gerakan tidak membalas, maka setiap tindakan represif negara menjadi beban moral yang tidak dapat dibenarkan, baik di hadapan hukum internasional maupun opini publik global.


Non-Kekerasan Membangun Legitimasi, Kekerasan Menghancurkannya

Di abad ke-21, perjuangan kemerdekaan tidak lagi dinilai dari siapa yang menang di medan tempur, tetapi siapa yang memenangkan opini dunia. Mandela memahami hal ini. Gandhi memahaminya. Martin Luther King memahaminya. Bahkan Jean-Marie Tjibaou dari Kanaky memahami bahwa legitimasi moral dapat membuka pintu politik yang tidak bisa dibuka oleh senjata.

Papua memerlukan legitimasi, bukan hanya simpati. Simpati bersifat emosional; legitimasi bersifat strategis.

Setiap aksi bersenjata di Papua, sekecil apa pun, menghadirkan risiko tiga kali lipat:

1. Negara mendapat alasan untuk merespons secara represif.

2. Opini publik Indonesia mengeras dan tertutup.

3. Dunia melihat perjuangan Papua sebagai konflik, bukan penindasan.

Non-kekerasan menghapus ketiga risiko ini sekaligus. Ia mengalihkan narasi dari “konflik bersenjata” menjadi “penindasan struktural,” sebuah kategori yang jauh lebih mudah diterima dalam kerangka hukum internasional.


Non-Kekerasan Melindungi Rakyat

Strategi yang baik adalah strategi yang tidak mengorbankan rakyat. Perjuangan bersenjata di Papua, bagaimana pun mulianya niat, sering berakhir dengan masyarakat sipil yang menjadi korban: pengungsian, intimidasi, sweeping aparat, dan trauma lintas generasi.

Etika non-kekerasan menawarkan keuntungan strategis sekaligus kemanusiaan:

  • Mengurangi operasi keamanan agresif.
  • Melindungi wilayah sipil dari eskalasi konflik.
  • Menjaga pusat-pusat adat tetap aman.
  • Mencegah siklus balas dendam antar etnis.

Dalam istilah Gandhi, kekerasan selalu kembali kepada yang lemah. Di Papua, dampaknya yang paling besar selalu jatuh kepada mereka yang paling tidak memiliki perlindungan: mama-mama di pasar, pelajar, orang tua di kampung, dan masyarakat adat di pedalaman.


Non-Kekerasan Mengubah Rakyat Menjadi Aktor Politik, Bukan Korban Pasif

Gerakan bersenjata hanya bisa dijalankan oleh sedikit orang. Gerakan non-kekerasan dapat dijalankan oleh semua orang. Dari mahasiswa, ibu rumah tangga, gereja, hingga komunitas adat, semua dapat terlibat dalam:

  • pendidikan politik,
  • literasi hukum,
  • kampanye digital,
  • pengorganisasian komunitas,
  • dokumentasi pelanggaran HAM,
  • diplomasi akar rumput,
  • seni dan budaya perlawanan.

Tanpa kekerasan, semua warga Papua menjadi aktor politik. Dengan kekerasan, sebagian besar rakyat menjadi sasaran. Itulah perbedaan fundamentalnya.


Ideologi Dapat Memecah, Etika Non-Kekerasan Menyatukan

Sejarah menunjukkan bahwa gerakan politik sering retak karena perbedaan ideologi:

  • nasionalisme vs sosialisme,
  • strategi bersenjata vs diplomasi,
  • pendekatan gereja vs pendekatan sekuler,
  • sayap luar negeri vs sayap dalam negeri.

Perbedaan ideologi tidak dapat dihapus. Tetapi etika non-kekerasan dapat menjadi titik temu yang menyatukan semua faksi. Jika semua aktor sepakat bahwa rakyat harus dilindungi, maka perbedaan strategi tidak akan berubah menjadi konflik internal.

Etika non-kekerasan adalah asasi, bukan ideologi.

Ia tidak memusuhi pluralitas pemikiran.

Ia tidak mengklaim kebenaran mutlak.

Ia hanya menetapkan satu hal: manusia tidak boleh dikorbankan demi simbol politik.

Dan Papua sangat membutuhkan titik temu etis seperti ini untuk menyatukan perjuangan, bukan sekadar menyatukan organisasi.


Non-Kekerasan Lebih Sulit, Tapi Lebih Strategis

Tidak ada yang mengatakan perjuangan tanpa kekerasan adalah opsi mudah. Justru sebaliknya:

  • ia memerlukan disiplin,
  • kesabaran,
  • organisasi akar rumput,
  • kemampuan membangun narasi,
  • pemimpin yang matang.

Gerakan bersenjata tidak menuntut hal-hal ini; cukup kemarahan dan keberanian. Tetapi kemarahan dan keberanian saja tidak pernah memenangkan perjuangan jangka panjang.

Pendidikan politik, pengorganisasian rakyat, pembangunan institusi sipil, dan penggunaan instrumen hukum adalah cara-cara yang lambat namun strategis. Cara-cara inilah yang membuka pintu diplomasi internasional dan pada akhirnya perubahan struktural.


Lebih Penting dari Ideologi: Etika yang Tidak Menyisakan Luka Baru

Ideologi adalah peta. Etika adalah kompas. Tanpa kompas, peta hanya membawa seseorang tersesat lebih jauh.

Papua dapat memilih ideologi apa pun—nasionalisme Melanesia, sosialisme demokratik, federalisme, atau bentuk lain. Itu hak sejarah dan hak politik. Tetapi tanpa etika non-kekerasan, setiap ideologi berpotensi melahirkan luka baru, trauma baru, dan siklus kekerasan baru.

Etika non-kekerasan memaksa semua aktor untuk memikirkan rakyat terlebih dahulu, bukan ambisi politik atau kebanggaan kelompok. Ia membentuk perilaku politik baru: disiplin, empati, komunikasi, organisasi, strategi jangka panjang, dan kemampuan berdialog.

Inilah karakter yang dibutuhkan Papua untuk bertahan dan menang dalam perjuangan panjang.


Jalan Panjang yang Layak Ditempuh

Non-kekerasan bukan hanya metode; ia adalah investasi jangka panjang. Ia melindungi rakyat sekarang sambil memperkuat perjuangan untuk masa depan. Di tengah dinamika geopolitik, tekanan Jakarta, dan perubahan global, strategi non-kekerasan menempatkan Papua dalam posisi paling kuat—secara moral, politis, dan taktis.

Perjuangan tanpa kekerasan bukan berarti menyerah. Ia berarti memilih cara paling cerdas untuk bertahan. Ia berarti menolak memberikan alasan untuk direpresi. Ia berarti membangun kekuatan langkah demi langkah, sampai saat politik membuka ruang yang selama ini tertutup. Dan pada akhirnya, non-kekerasan adalah jalan menuju pembebasan yang tidak meninggalkan luka pada generasi mendatang.

Comments