Papua dan Dosa Bangsa: Saatnya Indonesia Mengakui

Papua dan Dosa Bangsa:

Saatnya Indonesia Mengakui

Kita sering menghindari berkaca pada diri sendiri dan mengakui kesalahan, sehingga klaim sebagai “bangsa yang adil dan beradab” terasa hampa.


Kita sering bangga menyebut Indonesia besar, ramah, dan kaya akan adat istiadat. Tapi kenyataannya, ketika sesama anak bangsa terluka, kita menutup mata dan telinga. 

Kita lebih sibuk mempertahankan citra diri daripada mendengar penderitaan yang nyata. Salah satu luka itu ada di Papua. Dan sudah terlalu lama kita berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Kita bangga dengan semboyan Merdeka, tapi lupa bahwa Papua tidak pernah merasakannya. Bagi banyak orang Papua, kita bukanlah saudara, tapi penjajah. Aturan yang kita bawa tidak mereka mengerti, dan kehadiran bersenjata kita menanamkan ketakutan sejak masa kanak-kanak.

Padahal kita ingat bagaimana leluhur kita melawan penjajahan Belanda. Kita sadar betapa pahitnya ditindas oleh bangsa lain. Bangsa yang pernah dipenjara oleh sejarah seharusnya lebih peka terhadap penderitaan bangsa lain. Namun kenyataannya, kita gagal melakukannya.

Kita menyebutnya “integrasi”. Tapi bagi Papua, itu terasa seperti “pengambilalihan”. Kita sibuk dengan kata “Kemajuan”, Tapi jarang bertanya: Siapa yang Sebenarnya yang dimajukan?

Jalan-jalan dan gedung-gedung didirikan. Slogan-slogan dicetak. Kita menyebutnya “pembangunan”. Tapi pembangunan itu untuk siapa? Untuk rakyat Papua? Atau untuk perusahaan-perusahaan yang mengeruk sumber daya alam mereka?

Betul, pembangunan itu penting.

Tapi rakyat Papua tidak hanya butuh aspal dan beton. Mereka butuh dihargai sebagai manusia yang punya identitas, tanah, dan hak yang sama seperti kita.

Jika pembangunan berdiri di atas tanah yang direbut dan suara yang dibungkam, itu bukan kemajuan — itu ketidakadilan yang diberi nama baru. Kekerasan itu nyata, dan luka itu masih menganga. Di tanah Papua, kesedihan mengalir dalam setiap cerita. 

Ada keluarga yang kehilangan anak, air mata mereka tak pernah kering. Ada anak yang kehilangan orang tua, hidup mereka terputus tanpa penjelasan. Ada kampung yang diperiksa tentara, di mana ketakutan menjadi napas sehari-hari. Dan ada orang-orang yang hilang dan tak pernah kembali. Setiap cerita itu adalah suara yang menuntut untuk didengar—bukan diabaikan.

Kita yang tinggal di kota-kota besar sering tidak tahu. Kita tidak melihatnya secara langsung, hanya mendengar potongan-potongan berita yang sudah disaring. Namun bagi mereka, itu adalah kenyataan yang mereka jalani setiap hari.

Bagaimana mungkin kita menyebut diri “bangsa yang adil dan beradab” jika kita menutup mata pada ketakutan sebagian warga sendiri—sementara di luar negeri kita membela dengan gigih rakyat Palestina? Solidaritas internasional hanya sah jika kita mampu menegakkan keadilan di rumah sendiri.

Mengakui kesalahan tidak melemahkan wibawa negara. Ia justru mengeraskan tulang belakang moralnya. Sebagai bangsa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengakui dosa bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Di hadapan-Nya, tidak ada yang tersembunyi, dan sejarah yang kita tutupi akan selalu menuntut pertanggungjawaban.

Sesungguhnya, tidak ada bangsa yang sempurna.

Tidak ada negara yang tidak pernah salah.

Orang Papua tidak menuntut kita berlutut.

Mereka hanya ingin dihargai dan diperlakukan seperti manusia yang setara.

Itu bukan permintaan yang berlebihan.

Kita tidak akan pernah utuh sebagai bangsa selama Papua tidak diperlakukan dengan adil. 

Indonesia sering menyebut Papua sebagai “bagian tak terpisahkan dari NKRI”. Kalimat itu terdengar indah, namun keindahan kata-kata itu hampa, jika kenyataannya rakyat Papua merasa terpisah di hati, dalam perlakuan, dan dalam penghormatan yang seharusnya mereka terima.

Sebuah keluarga tidak berarti rukun hanya karena tinggal di rumah yang sama. Keluarga menjadi utuh karena saling percaya, saling mengasihi, dan saling mengakui luka.

Papua butuh kejujuran.

Saatnya kita berhenti takut menghadapi bayangan sendiri. Jika kita benar-benar mencintai Indonesia, kita harus berani menatap sisi gelap sejarah kita, termasuk apa yang terjadi di Papua. 

Kita harus berani bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah memperlakukan mereka sebagai saudara, atau selama ini kita hanya melihat mereka sebagai tanah yang kaya dan strategis?

Sejarah bukan untuk disembunyikan. 

Sejarah ada untuk dipelajari, agar kesalahan yang sama tidak terulang. 

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang selalu benar, tetapi bangsa yang berani mengakui ketika ia pernah menyakiti bangsa lain yang juga sesama warganya. Hanya dengan ketulusan itu, kita akhirnya bisa menjadi Indonesia yang layak dibanggakan.

Comments