Papua dan Ilusi Intervensi: Kekerasan Tidak Akan Membebaskan!

Papua dan Ilusi Intervensi: Kekerasan Tidak Akan Membebaskan!

Eskalasi kekerasan di Papua tidak memanggil dunia. Intervensi internasional adalah ilusi. Hanya perlawanan sipil massif tanpa kekerasan yang bisa menekan rezim dan membangun jalan menuju kemerdekaan.

Dalam percakapan publik mengenai masa depan Papua, nama John Anari kembali muncul sebagai salah satu suara lantang di ruang digital. Ia dikenal sebagai komentator politik Papua di YouTube, sosok yang berbicara berapi-api mengenai konflik, TPNPB–OPM, dan kemungkinan intervensi asing. 


Siapakah John Anari?

John Anari bukan akademisi, bukan peneliti konflik, bukan diplomat, dan bukan aktivis HAM arus utama; ia lebih tepat dipahami sebagai figur opini publik yang mengandalkan retorika dan emosi untuk mempengaruhi audiensnya. Ia tidak memiliki rekam jejak riset ilmiah, tidak bekerja dalam kerangka metodologis akademik, dan tidak memiliki mandat formal dari negara atau entitas kenegaraan mana pun. 

Fakta bahwa ia beberapa kali berbicara di forum PBB juga tidak otomatis menjadikannya diplomat, karena banyak forum PBB—terutama side event dan ruang masyarakat sipil—terbuka bagi individu dan kelompok non-negara. Diplomat ditentukan oleh mandat resmi dan pengakuan institusional, bukan oleh tempat seseorang berpidato. Menyadari pembedaan ini penting agar legitimasi simbolik tidak disamakan dengan otoritas ilmiah, politik, atau hukum internasional.

Dalam beberapa rekaman videonya, John Anari menyatakan keyakinan bahwa semakin berkecamuk konflik di Papua, semakin besar perhatian dunia internasional, yang menurutnya dapat membuka jalan menuju kemerdekaan. Gagasan itu terdengar menggugah, tetapi sesungguhnya rapuh. Ia berdiri di atas ilusi geopolitik yang mengabaikan sejarah panjang dunia dan realitas diplomasi internasional. Papua sudah melewati enam dekade kekerasan, operasi militer, pembatasan sipil, dan laporan-laporan pelanggaran HAM — tetapi tidak pernah sekalipun terjadi intervensi asing yang mampu memaksa perubahan politik di dalam negeri Indonesia. 


Pelajaran dari Yaman dan Sudan: Kekerasan Tidak Memanggil Dunia

Kekerasan tidak mengundang dunia; dunia justru semakin menghindari konflik domestik yang tidak menyentuh kepentingan strategis global.

Cukuplah kita melihat tragedi Yaman. Sejak 2015, negeri itu terperosok dalam perang berkepanjangan yang melibatkan banyak aktor regional. Korban sipil berjatuhan, infrastruktur hancur, jutaan orang mengungsi. Namun apakah kekerasan memanggil penyelamat dari luar? Tidak! 

Intervensi justru memperpanjang konflik, menjadikan Yaman panggung kepentingan negara-negara besar, bukan ruang pembebasan rakyatnya. Sudan, dengan perang saudara yang sejak 2023 menghancurkan kota-kota, menewaskan ribuan warga sipil, dan memicu kelaparan massal, memberi pelajaran serupa. Dunia menyaksikan, tetapi intervensi tidak datang, apalagi menghasilkan kemerdekaan atau tatanan politik baru yang lebih adil.

Jika tragedi sebesar itu saja tidak menggerakkan kekuatan global, mungkinkah eskalasi kekerasan di Papua—yang jauh lebih kecil dalam kalkulasi geopolitik—akan memancing perhatian serupa? Keyakinan itu bukan hanya tidak realistis, tetapi bisa menjerumuskan rakyat Papua sendiri ke tebing penderitaan yang lebih dalam.


Kemerdekaan Tidak Dibangun di Atas Darah

Lebih berbahaya lagi, narasi bahwa “konflik harus dipanaskan agar dunia peduli” menormalisasi korban jiwa rakyat Papua sebagai strategi politik. Ini tidak hanya keliru secara moral, tetapi juga mencederai martabat bangsa. Tidak ada perjuangan yang sukses jika dibangun di atas anggapan bahwa nyawa rakyat sendiri adalah syarat untuk memanggil simpati dunia.

Di sini kita perlu melihat realitas lain yang sering luput dalam perdebatan publik: TPNPB hari ini lebih berfungsi sebagai simbol perlawanan, bukan kekuatan yang mampu memenangkan pertarungan militer. TPNPB tidak memiliki kapasitas logistik, diplomatik, maupun demografis untuk menandingi negara Indonesia yang memiliki angkatan bersenjata reguler ratusan ribu orang. Menaruh harapan bahwa perang gerilya dapat meraih kemerdekaan hanyalah mengulang kesalahan strategi dari banyak bangsa lain yang akhirnya hancur karena percaya peluru dapat melahirkan negara.

Sebaliknya, jika sejarah dunia memberi kita sebuah pelajaran yang paling tak terbantahkan, maka itu adalah kenyataan bahwa hanya rakyat banyak—bukan kelompok bersenjata kecil—yang mampu merebut kemerdekaan. India mengusir kolonialisme Inggris bukan dengan serbuan senjata, tetapi dengan barisan rakyat. Afrika Selatan meruntuhkan apartheid bukan dengan perang, tetapi dengan solidaritas sipil yang luas. Eropa Timur menggoyahkan rezim otoriter dengan demonstrasi damai, bukan pemberontakan bersenjata.


Strategi Rakyat: Dari Solidaritas ke Legitimasi

Di Papua, perlawanan sipil non-kekerasan bukan berarti pasif, bukan berarti menyerah, dan bukan berarti mematikan semangat perjuangan. Sebaliknya, ia adalah cara paling dewasa, paling terhormat, dan paling efektif untuk meruntuhkan legitimasi kekuasaan yang opresif. Perlawanan sipil berarti membangun kesadaran, memperluas pendidikan politik, memperkuat jejaring adat, gereja, mahasiswa, perempuan, diaspora, akademisi, hingga masyarakat Indonesia yang peduli. Ini adalah jalan yang lambat tetapi kuat, sunyi tetapi konsisten, dan yang paling penting: menyelamatkan hidup rakyat.

Dalam konteks inilah para pegiat kemerdekaan Papua di media sosial perlu mengambil peran yang jauh lebih besar daripada sekadar menyulut emosi. Ruang digital bukan hanya panggung untuk berteriak, tetapi ruang untuk mendidik, memperdalam analisis, mengajarkan sejarah, menjelaskan geopolitik dengan jernih, dan membangun strategi kolektif yang matang. Media sosial tidak boleh menjadi tempat untuk memompa kemarahan tanpa arah; media sosial harus menjadi sekolah politik rakyat Papua.


Ruang Digital untuk Edukasi, Bukan Emosi

Jika perjuangan di ruang digital kebanyakan dipenuhi slogan emosional, ancaman, glorifikasi konflik bersenjata, atau retorika tanpa strategi, maka gerakan Papua hanya akan berjalan di tempat. Kita tidak butuh lebih banyak suara yang membakar hati tetapi memadamkan nalar. Yang dibutuhkan adalah para pendidik rakyat, para penggerak wacana, para pembangun pikiran kritis—bukan hanya peniup terompet kemarahan.


Kesimpulan

Masa depan Papua tidak ditentukan oleh seberapa keras tembakan terdengar di hutan-hutan. Masa depan Papua sesungguhnya ditentukan oleh seberapa luas rakyat bersatu, seberapa matang mereka mengorganisir diri, seberapa disiplin mereka menjaga moral perjuangan, dan seberapa pintar mereka memanfaatkan ruang politik nasional maupun internasional. 

Tidak ada kemerdekaan yang menunggu dunia bertindak. Papua hanya bisa bebas jika rakyatnya sendiri bergerak, dengan kesadaran, keberanian, dan kebijaksanaan yang mengalahkan kekerasan.


Wim Anemeke 

Comments