Papua Merdeka untuk Semua: Solidaritas di Tengah Keberagaman

Papua Merdeka untuk Semua: Solidaritas di Tengah Keberagaman

Papua merdeka hanya akan adil jika inklusif: OAP dan non-OAP bersatu dalam solidaritas, tanggung jawab bersama, dan cita-cita kebebasan yang memberi ruang hidup bagi semua.


Papua Multietnis: Realitas yang Tak Terbantahkan

Papua hari ini tidak bisa lagi dibayangkan sebagai entitas homogen. Sejak era transmigrasi dan migrasi spontan di bawah pemerintahan Indonesia, populasi non-OAP (Orang Asli Papua) meningkat pesat. Jika pada 1971 mereka hanya sekitar 4% dari penduduk, kini jumlahnya diperkirakan telah melampaui 50%. Mereka bekerja, membangun keluarga, berkontribusi dalam ekonomi, dan menjadikan Papua sebagai rumah. Ini adalah realitas sosial yang tidak dapat dihapuskan begitu saja.


Masa Depan Papua: Proyek Kolektif

Dengan perubahan demografi tersebut, masa depan Papua—apakah tetap dalam Indonesia, berotonomi penuh, atau merdeka—tak bisa lagi didefinisikan sebagai masa depan satu kelompok etnis. Warga non-OAP telah hidup puluhan tahun di Papua dan membentuk jaringan sosial, ekonomi, dan budaya. Mengabaikan keberadaan mereka bukan hanya tidak realistis, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan universal yang diperjuangkan dalam gerakan pembebasan.


Inklusi Tanpa Mengurangi Hak OAP

Mengakui peran non-OAP tidak berarti mengurangi hak-hak OAP. Justru inklusi adalah fondasi untuk membangun demokrasi multikultural yang menempatkan kedudukan adat dan identitas OAP sebagai inti, sekaligus membuka ruang partisipasi bagi seluruh warga Papua. Dengan demikian, struktur politik masa depan tidak akan dikuasai satu kelompok saja, tetapi merepresentasikan pluralitas masyarakat Papua. Kapasitas teknis dan pengalaman sosial non-OAP dapat menjadi modal penting dalam membangun institusi publik, layanan sosial, dan sistem ekonomi yang lebih adil.


Identitas Papua: Ruang Bersama

Kehadiran non-OAP selama lebih dari enam dekade menegaskan bahwa identitas Papua adalah identitas yang tumbuh dalam perjumpaan. Mereka hidup berdampingan dengan komunitas adat, membayar pajak, bekerja, menyekolahkan anak, dan turut membentuk kehidupan sosial Papua. Menganggap mereka sebagai ancaman berarti membatasi identitas Papua pada nasionalisme sempit, bukan pada proyek politik-kemanusiaan yang lebih luas.


Pluralitas sebagai Fondasi Pembangunan

Dalam konteks ketimpangan struktural dan eksploitasi sumber daya alam, inklusi non-OAP juga merupakan bentuk keadilan sosial. Banyak warga non-OAP hidup dalam kondisi ekonomi yang rentan, menghadapi tantangan serupa dengan masyarakat OAP. Ketakutan mereka terhadap stigma atau pengusiran membuat mereka enggan mendukung perubahan politik. Padahal, jika Papua dibangun di atas prinsip pluralitas, mereka dapat berkontribusi pada sistem pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.


Bahaya Eksklusivisme: Fragmentasi dan Konflik

Almarhum Filep Karma berulang kali mengingatkan bahwa menutup pintu bagi non-OAP justru menciptakan ketegangan horizontal yang melemahkan perjuangan. Ia memperingatkan tentang bahaya eksklusivisme etnis yang telah memicu perang saudara di banyak negara Afrika, dan menegaskan bahwa keberagaman, sebagaimana tampak di Brasil atau Afrika Selatan pasca-apartheid, dapat menjadi kekuatan pemersatu. Sejarah dekolonisasi menunjukkan bahwa keberhasilan bangsa-bangsa baru tidak diukur dari homogenitas etnis, tetapi dari sejauh mana mereka membangun inklusivitas warga.


Eksklusivisme Mengancam Perjuangan

Menolak realitas multietnis Papua berisiko merusak legitimasi moral perjuangan kemerdekaan di mata dunia. Sebuah Papua merdeka yang demokratis, bebas dari korupsi, dan terbuka bagi semua yang telah memilih Papua sebagai tanah air adalah visi yang jauh lebih kokoh daripada proyek identitas yang sempit.

Memandang non-OAP sebagai bagian dari masa depan Papua bukanlah ancaman, tetapi wujud solidaritas dan komitmen untuk mewujudkan Papua yang adil bagi semua warganya. Papua merdeka hanya bermakna jika menjadi rumah bagi setiap orang yang telah menautkan hidup dan masa depannya dengan tanah ini.

Jangan terjebak dalam permainan politik busuk yang sengaja membenturkan warga berdasarkan SARA. Tanyakan kembali: siapa yang diuntungkan ketika rakyat saling bertikai? Musuh sejati bukanlah sesama warga—baik OAP maupun non-OAP—melainkan struktur kekuasaan yang menindas, merampas hak, dan menghambat lahirnya Papua yang merdeka, manusiawi, dan demokratis.


Kesimpulan

Penting bagi Papua untuk memperkuat solidaritas dengan rakyat Indonesia karena pembangunan kesadaran dan pemahaman bersama masih sangat minim. Selama ini, jembatan dialog antara rakyat Papua dan masyarakat Indonesia lebih sering diputus oleh propaganda, stigma, dan politik pecah-belah. Padahal, justru di tengah rakyat Indonesia—mahasiswa, buruh, petani, aktivis, dan umat beragama—terdapat potensi sekutu utama yang sering diabaikan. 

Mereka adalah kelompok yang juga mengalami ketidakadilan, memahami penindasan, dan bersedia berdiri bersama jika diberikan ruang untuk mengenal kenyataan Papua apa adanya. Mengabaikan mereka berarti kehilangan kekuatan moral dan politik yang besar dalam perjuangan menuju keadilan dan perubahan. Solidaritas lintas bangsa bukanlah ancaman, melainkan strategi pembebasan yang paling efektif.


Wim Anemeke




 

Comments