Pelajaran Palestina untuk Papua: Refleksi dan Himbauan
Pelajaran Palestina untuk Papua: Refleksi dan Himbauan
Perjuangan Palestina menjadi salah satu kisah paling tragis tentang bagaimana sebuah gerakan pembebasan menemui kegagalan, bukan karena kurang keberanian, tetapi karena runtuhnya dimensi moral, politik, dan strategis. Bagi Papua, kisah ini adalah peringatan keras: jika tidak belajar dari sejarah, nasibnya bisa lebih miris.
Saat Konfrontasi Tidak Cukup: Pelajaran Strategis bagi Papua
Kegagalan perjuangan Palestina mengajarkan sebuah pelajaran pahit: kemenangan fisik tanpa strategi moral, politik, dan diplomatik adalah kekalahan yang melemahkan rakyat itu sendiri. Palestina memiliki kesempatan dan leverage yang jauh lebih besar dibanding Papua. Mereka memperoleh dukungan dunia Islam, simpati global, dan akses ke forum internasional, namun berbagai peluang emas itu terbuang karena fragmentasi internal, kepemimpinan yang lemah, dan fokus berlebihan pada konfrontasi fisik.
Bagi Papua, ini menjadi peringatan yang jelas. Jika gerakan atau aspirasi hanya dilandasi pertentangan dan perlawanan fisik, tanpa membangun legitimasi internal, institusi, dan strategi moral, maka peluang untuk meraih kemerdekaan atau pengakuan akan semakin tipis. Perjuangan yang hanya mengandalkan konfrontasi bisa berakhir dengan rakyat Papua sendiri yang lelah, terpecah, dan kehilangan arah, sementara dunia menonton tanpa memahami tujuan sebenarnya.
Namun, ada pelajaran penting yang lebih optimis: Papua tidak perlu menutup diri atau menempatkan rakyat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di Papua, sebagai lawan. Menjadi anti-Indonesia justru mempersempit peluang dan melemahkan posisi rakyat Papua di arena moral dan politik. Alih-alih membenturkan diri, Papua dapat merangkul rakyat Indonesia di tanah Papua, membangun pemahaman bersama, dan mencari dukungan dari mereka yang menghargai keadilan, hak-hak rakyat asli, dan pengakuan identitas.
Bahaya Retorika Ekstrem: Pelajaran dari Palestina untuk Papua
Pelajaran ini sejalan dengan pengalaman Palestina. Beberapa kelompok pejuang Palestina, khususnya Hamas, mengedepankan retorika antisemit yang ekstrem. Alih-alih memicu simpati, retorika ini justru membuat kebanyakan rakyat Israel ketakutan dan mendukung penuh rezim otoriter Netanyahu. Dukungan domestik itu memperkuat posisi Israel dan melemahkan gerakan Palestina, baik secara moral dan politik.
Papua bisa belajar dari hal ini: retorika konfrontatif yang kerap dikedepankan oleh beberapa pemimpin sayap militer Papua, terutama yang menargetkan pendatang Indonesia, justru berpotensi membalikkan dukungan, mempersempit ruang diplomatik, dan melemahkan legitimasi perjuangan di mata internasional. Framing seperti ini sangat berbahaya karena mudah dipolitisasi untuk mendiskreditkan perjuangan secara keseluruhan, sama seperti dukungan terhadap kemerdekaan Palestina sering disederhanakan menjadi dukungan terhadap Hamas, padahal tidak semua dukungan berarti menyetujui kekerasan.
Dengan cara yang sama, narasi Jakarta kerap mencoba melabeli Papua Merdeka sebagai teroris KKB, sehingga dukungan internasional yang sebenarnya bisa diperoleh melalui advokasi damai justru hilang. Oleh karena itu, sangat penting bagi gerakan Papua Merdeka untuk menjaga narasi yang jelas, damai, dan inklusif, memisahkan antara perjuangan politik dan tindakan kekerasan, agar legitimasi perjuangan tetap terjaga dan ruang diplomatik tetap terbuka di mata dunia.
Membangun Jembatan: Solidaritas Indonesia untuk Papua
Kerja sama dengan rakyat Indonesia bukan berarti melepaskan aspirasi, melainkan memperkuatnya. Dukungan moral dan politik dari sesama warga negara dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk memperjuangkan hak dan identitas Papua, tanpa harus mengorbankan stabilitas sosial atau memperluas konflik. Strategi semacam ini tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih efektif secara logika: gerakan yang inklusif, strategis, dan berbasis pada pengakuan bersama memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan mencapai tujuan jangka panjang.
Pelajaran Palestina juga menekankan pentingnya memanfaatkan peluang secara maksimal. Kekuatan mereka terbuang karena kurang adaptif terhadap dinamika geopolitik, kehilangan legitimasi internal, dan gagal membangun strategi komunikasi yang meyakinkan dunia. Dalam beberapa momen historis, Palestina tidak mampu memanfaatkan dukungan internasional secara optimal. Fragmentasi internal antara Fatah dan Hamas melemahkan posisi tawar mereka, sementara negara-negara Arab mulai menggeser kepentingan geopolitik dan menormalisasi hubungan dengan Israel. Akibatnya, suara Palestina di forum global kehilangan konsistensi dan kekuatan.
Pengalaman ini memiliki cerminan yang jelas dalam perjuangan Papua. Dalam berbagai momentum penting—baik dalam gelombang solidaritas internasional maupun ruang diplomasi regional—Papua sering kali belum memiliki infrastruktur politik dan komunikasi yang cukup terkoordinasi untuk menindaklanjuti peluang tersebut. Fragmentasi gerakan, baik di dalam negeri maupun di diaspora, membuat agenda bersama sulit dibangun, sehingga daya tawar Papua dalam diplomasi global kurang optimal.
Strategi komunikasi yang tidak terkoordinasi memperlemah keduanya. Palestina mengalami fase di mana narasi publiknya tidak konsisten—antara otoritas resmi, kelompok perlawanan, dan diaspora—membuat dunia kesulitan membaca pesan yang ingin disampaikan. Papua pun menghadapi tantangan serupa: banyak suara kuat tetapi tanpa satu narasi terpadu yang mampu mengemas identitas Melanesia, sejarah kolonial, dan isu kemanusiaan ke dalam pesan yang ringkas, kredibel, dan mudah diterima oleh opini publik global.
Dari Liga Arab ke MSG: Paralel Palestina–Papua dalam Politik Regional
Perbandingan ini semakin tampak ketika melihat diplomasi kawasan. Palestina kehilangan sebagian dukungan blok Arab ketika kepentingan regional berubah. Hal yang sama terjadi di Melanesia ketika Indonesia diterima sebagai Associate Member di Melanesian Spearhead Group (MSG). Langkah strategis ini membuat Indonesia berhasil menanamkan pengaruh signifikan dalam forum yang seharusnya menjadi rumah solidaritas Melanesia. Sementara itu, Papua melalui ULMWP hanya berstatus Observer, menghadapi hambatan politik yang diperkuat oleh hubungan ekonomi dan keamanan Indonesia dengan negara-negara anggota MSG. Konsensus Melanesia yang dahulu solid kini terpecah, sama seperti solidaritas Arab terhadap Palestina.
Dari sini terlihat pelajaran penting: Papua harus belajar mengelola setiap peluang—baik diplomasi internasional, opini publik, maupun solidaritas kawasan—dengan disiplin dan arah yang jelas. Palestina menunjukkan bahwa tanpa strategi yang terkoordinasi, momentum dapat hilang dan legitimasi melemah. Papua bisa mengambil hikmah dari pengalaman tersebut: aliansi harus dirawat, narasi harus dirapikan, dan setiap ruang diplomasi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar perjuangan tidak berakhir seperti strategi Palestina yang tersia-sia oleh fragmentasi dan ketidakjelasan arah.
Perjuangan yang Cerdas: Dari Konfrontasi ke Kolaborasi Strategis
Dengan refleksi ini, Papua diingatkan bahwa perjuangan bukan sekadar soal fisik atau simbolik. Ini soal membangun fondasi moral, politik, dan sosial yang kuat, sekaligus menjalin hubungan dengan rakyat Indonesia dan dunia. Dengan pendekatan seperti ini, rakyat Papua tidak hanya memperjuangkan identitasnya, tetapi juga menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih kuat untuk meraih pengakuan, keadilan, dan masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, himbauannya sederhana namun strategis: jangan menentang rakyat Indonesia. Rangkul mereka sebagai mitra dan sekutu moral, gunakan setiap peluang secara cerdas, bangun institusi yang kuat, dan perjuangkan hak-hak rakyat Papua melalui perencanaan yang matang. Dengan cara ini, aspirasi Papua akan lebih mungkin terwujud, sementara rakyat tetap terlindungi dan bergerak bersama menuju masa depan yang bermartabat.


Comments
Post a Comment