SATU JIWA, BUKAN SATU MANUSIA
SATU JIWA, BUKAN SATU MANUSIA:
Pembacaan Kritis Sejarah Dekolonisasi, Kepemimpinan, dan Bahaya Kultus Individu dalam Gerakan Pembebasan Nasional
Dekolonisasi abad ke-20 meninggalkan dua jejak besar dalam sejarah politik dunia: emansipasi bangsa-bangsa terjajah, sekaligus kelahiran rezim-rezim baru yang sering kali mereproduksi struktur penindasan lama dalam wajah yang berbeda. Banyak gerakan pembebasan nasional berangkat dari aspirasi kolektif, tetapi berakhir pada sentralisasi kekuasaan, dominasi figur tunggal, serta pembekuan ideologi—menciptakan apa yang Hannah Arendt sebut tirani yang lahir dari revolusi yang tak selesai.
Dalam banyak konteks dunia, nasionalisme pembebasan berkembang menjadi nasionalisme kepemimpinan tunggal, bukan nasionalisme rakyat. Di Afrika, Asia, hingga Amerika Latin, kemerdekaan yang dirayakan sebagai kemenangan rakyat seringkali terkonsolidasi menjadi kemenangan elite dan figur dominan: Nkrumah, Castro, Sukarno, Mao, Ho Chi Minh—nama-nama yang membesar bukan semata karena gagasan, tetapi karena narasi sejarah dibentuk di sekeliling mereka.
Ini adalah pola sejarah global: gerakan dimulai oleh rakyat, kekuasaan berakhir pada satu orang.
Bahaya Kultus Persona dan Ideologi Tunggal
Setiap gerakan pembebasan menghadapi dua ancaman internal terbesar:
1. Kultus individu (cult of personality)—pemimpin menjadi simbol, lalu simbol menjadi dogma, lalu dogma menjadi tak tersentuh.
2. Dominasi ideologi tunggal—perbedaan pendapat diisap sebagai ancaman, bukan energi demokrasi.
Frantz Fanon, pejuang kebebasan asal Karibia Prancis, dalam The Wretched of the Earth, sudah memperingatkan bahwa elit nasional pascakolonial sering kali hanya mengganti posisi penjajah tanpa mengganti struktur penindasannya. Alih-alih membebaskan rakyat, mereka membangun monumen untuk diri sendiri.
Contoh global memperlihatkan bahwa:
- Revolusi tanpa demokrasi internal melahirkan otoritarianisme baru.
- Pembebasan tanpa partisipasi rakyat berakhir pada monopoli kebenaran.
- Nasionalisme tanpa pluralisme menjadi mesin penyeragaman identitas.
West Papua 1 Desember 1961: Deklarasi Sebuah Kolektivitas
Di tengah sejarah ini, Proklamasi 1 Desember 1961 di West Papua menampilkan model berbeda. Ia bukan deklarasi figur tunggal, bukan pula pidato dari dua tokoh sentral, melainkan ekspresi institusional dari sebuah badan perwakilan rakyat—Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini)—yang dibentuk melalui proses representasi, melibatkan unsur adat, intelektual, tokoh agama, wilayah, dan komunitas.
Proklamasi itu bukan menyatakan:
“Kami, pemimpin bangsa…”
melainkan memancarkan semangat:
One People, One Soul: Satu rakyat, satu jiwa.
Bukan: One leader, one ideology. Identitas papua tidak bisa dipersonalisasi: tidak soal “pemimpin papua”, tetapi soal komunitas, akar adat, generasi. Di titik ini terdapat perbedaan fundamental dengan banyak proklamasi kemerdekaan lain, termasuk Indonesia pada 17 Agustus 1945:
Ditandatangani dan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Dua orang, mewakili tragedi historis sekaligus efektivitas politik: deklarasi yang cepat, simbolis, personalistik, dan kelak berkembang menjadi narasi bahwa kemerdekaan berpusat pada figur, bukan proses kolektif.
Di West Papua 1961, yang dikedepankan bukan figur, melainkan:
- legitimasi dewan
- aspirasi komunitas adat
- struktur representatif
- roh kolektif, bukan mitologi pemimpin
Jika Indonesia lahir dari narasi Bapak Bangsa, West Papua 1961 lahir dari narasi Bangsa itu Sendiri.
Dewan Nugini: Embrio Demokrasi Kontekstual
Walau masih berada dalam transisi kolonial, Dewan Nugini memiliki elemen-elemen yang sering absen dalam gerakan pembebasan lain:
- Pluralitas etnis dan klan sebagai basis legitimasi
- Diskusi politik berbasis representasi lokal
- Tidak menobatkan figur tunggal sebagai pusat sejarah
- Keputusan diambil sebagai konsensus komunitas
Dalam logika politik Melanesia, otoritas tidak bersumber dari individu yang paling berkuasa, tetapi dari relasi, tanah, klan, dan musyawarah kosmologis. Karena itu, proklamasi 1961 secara kultural koheren: ia tidak membutuhkan satu Mesias politik untuk sah.
One People, One Soul: Prinsip Anti-Otoritarian
Semboyan itu bukan slogan romantik, melainkan model anti-personalistik yang menolak fondasi nasionalisme totalitarian. Nasionalisme yang berpusat pada individu selalu mengarahkan sejarah ke satu wajah, satu nama, satu otoritas.
Dalam model personalistik, bangsa dipersempit menjadi biografi pemimpin, perjuangan disimplifikasi menjadi legenda figur, dan kesetiaan rakyat diterjemahkan sebagai loyalitas kepada satu orang. Ideologi tunggal dijadikan kompas mutlak, menyingkirkan segala keragaman gagasan. Identitas kolektif perlahan dikompresi menjadi identitas politik yang seragam, narasi resmi menelan ingatan rakyat, dan masa depan ditentukan oleh lingkar kecil elite yang berbicara atas nama semua orang.
Semangat 1 Desember 1961 berdiri di kutub yang berbeda. Ia tidak tumbuh dari kultus figur, tetapi dari fondasi rakyat dan komunitas. Ia tidak dibangun diatas penyatuan paksa gagasan, tetapi di atas pengakuan identitas plural, akar adat, dan struktur masyarakat yang hidup jauh sebelum konsep negara modern hadir di tanah Papua. Loyalitasnya bukan diarahkan kepada individu, melainkan kepada tanah, bangsa, dan ikatan kolektif antargenerasi. Sejarahnya bukan dipahat menjadi monumen untuk satu tokoh, tetapi disimpan sebagai memori bersama, milik rakyat, bukan milik pemimpin.
Di situlah letak perbedaan mendasar: nasionalisme personalistik menanyakan siapa pemimpinnya, sedangkan nasionalisme 1961 menegaskan siapa rakyatnya. Yang satu membangun simbol kekuasaan, yang lain meneguhkan martabat komunitas. Yang satu membentuk warisan individu, yang lain merawat takdir bangsa secara bersama. Dengan kata lain, 1 Desember 1961 adalah manifesto demokrasi komunal Melanesia, jauh sebelum dunia belakangan berbicara tentang dekolonisasi epistemik atau demokrasi berbasis adat.
Pelajaran Sejarah
Jika sejarah dunia mengajarkan satu hal tentang pembebasan bangsa:
- Gerakan yang menyembah pemimpin akan kehilangan rakyat.
- Gerakan yang menyembah ideologi tunggal akan kehilangan kemanusiaan.
- Gerakan yang menyembah dirinya sendiri akan lupa tujuan awalnya.
Sedangkan 1 Desember 1961 menawarkan cetak biru lain:
- Pembebasan tidak harus berwajah satu orang.
- Kemerdekaan tidak harus bernyanyi dalam satu nada.
- Bangsa tidak harus diserahkan pada satu mahkota.
Penutup
Di tengah dunia yang penuh monumen pemimpin, 1 Desember 1961 berdiri seperti arsip yang disingkirkan karena terlalu demokratis untuk dikuasai, terlalu plural untuk diseragamkan, dan terlalu kolektif untuk disandera figur. Ia mengajarkan bahwa kebebasan bukan altar untuk disembah seorang raja revolusi, tetapi ladang yang ditanami bersama. Bukan satu pemimpin. Bukan satu ideologi. Tetapi satu rakyat, satu jiwa.
Hari ini, semangat “satu rakyat, satu jiwa” dapat diterapkan di Papua Barat melalui penguatan solidaritas komunitas dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Setiap individu, lembaga adat, gereja, dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai bagian dari satu gerakan kolektif yang menegakkan hak, budaya, dan identitas Melanesia.
Alih-alih menempatkan figur tunggal sebagai pusat perhatian, fokusnya adalah pada partisipasi aktif seluruh rakyat, kerja sama horizontal, serta pembelajaran bersama dalam menjaga tanah, bahasa, dan tradisi. Dengan demikian, perjuangan Papua Barat bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga praktik nyata solidaritas, persatuan, dan tanggung jawab bersama di era kontemporer.


Comments
Post a Comment