Antikomunisme yang Meniru Musuhnya: Paradoks Otoritarianisme di Indonesia

Antikomunisme yang Meniru Musuhnya: Paradoks Otoritarianisme di Indonesia

Indonesia menolak komunisme sebagai musuh mutlak, namun praktik antikomunismenya justru meniru pola Stalinisme: kultus pemimpin, narasi tunggal, dan musuh internal demi stabilitas.


Antikomunisme sebagai Dogma Nasional

Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat anti-komunis. Narasi ini telah tertanam sejak tragedi 1965, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan dan ribuan anggota serta simpatisannya dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum. 

Dalam pendidikan, media, dan wacana publik, komunisme selalu digambarkan sebagai ancaman eksistensial yang menghancurkan moral, agama, dan persatuan bangsa. Sejak itu, antikomunisme menjadi semacam dogma, pilar ideologi yang tak tergoyahkan, yang menuntut kesetiaan moral dan politik dari setiap warga negara.


Ketika Penolakan Melahirkan Peniruan

Namun, jika dicermati secara lebih kritis, cara antikomunisme dijalankan di Indonesia melahirkan paradoks yang menarik. 

Dalam hal propaganda, kultus pribadi, dan penyederhanaan narasi, terdapat kemiripan yang mengejutkan dengan Stalinisme. Bukan dari sisi ekonomi atau ideologi politik, tetapi dari cara negara membangun citra pemimpin sebagai figur tunggal yang maha tahu dan maha peduli, cara media dan pendidikan mengontrol narasi, serta cara musuh internal dikonstruksi untuk menjaga stabilitas kekuasaan.


Kultus Pemimpin dan Politik Figur Bapak Bangsa

Fenomena kultus pemimpin, misalnya, sangat mencolok. Stalin diposisikan sebagai bapak rakyat, sosok yang tak hanya memimpin negara tetapi juga menjadi pusat moral dan sejarah bangsa. 

Foto-foto Stalin ada di setiap sekolah, kantor, dan ruang publik; anak-anak diajarkan untuk menghormatinya, dan kritik terhadapnya dianggap pengkhianatan. Di Indonesia, pola yang serupa muncul sejak era Soekarno. Ia dipuji sebagai proklamator, pemimpin revolusi, dan bapak bangsa, sosok yang sejarahnya selalu digambarkan heroik. 

Di bawah Orde Baru, Suharto dilukiskan sebagai bapak pembangunan. Setiap kebijakan dan proyek pembangunan diposisikan sebagai hasil kebijaksanaannya semata, dan stabilitas politik dipresentasikan sebagai hadiah dari kepemimpinan tunggalnya. Bahkan dalam konteks modern, narasi presiden sebagai “bapak bangsa” masih sering muncul, baik melalui media maupun pernyataan resmi, sehingga citra presiden sebagai pusat moral dan arah bangsa tetap terjaga.


Kontrol Narasi Sejarah dan Pendidikan Ideologis

Selain kultus pribadi, cara narasi sejarah dikontrol juga mengingatkan pada Stalinisme. Buku-buku sekolah menekankan tragedi 1965 sebagai penghancuran bangsa oleh PKI, sementara kompleksitas politik dan kekerasan yang dilakukan negara jarang dibahas. 

Media mainstream menonjolkan prestasi pemerintah, sedangkan kritik yang dianggap mengganggu stabilitas mudah dibungkam atau dibingkai sebagai radikal. Pendidikan dan kampanye anti-komunis menanamkan pandangan hitam-putih tentang komunisme dan kepemimpinan nasional, mirip dengan pendidikan ideologi di era Stalin yang menekankan keunggulan pemimpin sekaligus meminimalkan kritik.


Musuh Internal sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan

Dalam kedua konteks, musuh internal menjadi alat legitimasi kekuasaan. Stalin mengkonstruksi Trotskyisme dan “pengkhianat rakyat” sebagai ancaman, sementara di Indonesia pasca-1965, komunisme dan “antek asing” dijadikan musuh abstrak yang menjustifikasi kekerasan, sensor, dan pembungkaman kritik. Narasi ini mengokohkan posisi pemimpin sebagai figur yang tak tergantikan, yang tahu dan menentukan yang terbaik bagi rakyatnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menolak komunisme dengan keras, mekanisme antikomunisme yang dijalankan meniru pola propaganda dan kultus pribadi yang mirip dengan Stalinisme. 


Otoritarianisme Tanpa Label Komunis

Paradoks ini mengingatkan kita bahwa penolakan terhadap satu ideologi tidak otomatis melindungi masyarakat dari praktik otoritarianisme. 

Kultus pemimpin, propaganda, dan penyederhanaan moral dapat muncul dalam berbagai konteks, bahkan dalam negara yang mengklaim demokratis atau pluralistik. Yang berubah hanyalah label ideologi; pola psikologis dan sosial tetap serupa.


Penutup 

Indonesia memperlihatkan bahwa antikomunisme ekstrem bisa berjalan beriringan dengan praktik-praktik yang secara struktural meniru otoritarianisme ala Stalin.

Narasi presiden sebagai bapak bangsa, media yang terkendali, sejarah yang disederhanakan, dan musuh internal yang abstrak menciptakan suatu sistem di mana kebebasan berpikir dan berbicara tetap terkungkung, meski anti-komunisme selalu dikumandangkan sebagai prinsip moral dan politik tertinggi.

Comments