Bercermin Sebelum Terlambat
Bercermin Sebelum Terlambat
Himbauan Introspektif kepada Orang Asli Papua Pendukung Setia NKRI
Saudara-saudariku Orang Asli Papua yang hari ini memilih berdiri sebagai pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tulisan ini tidak datang sebagai tudingan. Ia hadir sebagai ajakan untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan bercermin dengan jujur.
Tidak ada dosa dalam mencintai persatuan, dan tidak ada kesalahan dalam berharap bahwa Indonesia bisa menjadi rumah yang adil bagi semua. Namun sejarah mengajarkan satu kebenaran yang pahit: kesetiaan yang tidak disertai kesadaran kritis sering kali berakhir sebagai pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Papua di Titik Penentuan Arah
Papua kini berada pada titik penentuan arah. Pembangunan terus didorong, tetapi kekerasan, penyempitan ruang hidup masyarakat adat, dan penderitaan sosial belum berhenti. Dua realitas ini berjalan bersamaan tanpa saling menyelesaikan.
Dalam situasi ini, introspeksi adalah sebuah keharusan. Tanpa evaluasi serius atas pendekatan keamanan yang dominan, pembangunan berisiko mengabaikan akar masalah dan justru memperpanjang krisis. Tanggung jawab terhadap masa depan orang Papua menuntut koreksi arah yang tegas dan rasional.
Pelajaran yang Diabaikan: Timor Timur
Sejarah Timor Timur seharusnya menjadi cermin yang jernih bagi Papua. Pada masa integrasi, ribuan orang Timor Timur memilih berdiri bersama Indonesia. Mereka mengangkat senjata, mengorbankan keluarga, bahkan melawan sesama saudara sebangsa, karena percaya bahwa Indonesia adalah masa depan. Mereka disebut patriot, pahlawan, dan penjaga keutuhan negara. Janji perlindungan, kehormatan, dan kesejahteraan disematkan pada mereka yang memilih setia.
Namun sejarah tidak selalu berjalan sesuai janji kekuasaan. Ketika rakyat Timor Timur menentukan pilihan politiknya sendiri, arah sejarah berubah, dan Indonesia pergi. Yang tertinggal bukanlah para elit, melainkan orang-orang kecil yang sebelumnya paling lantang membela merah putih. Mereka yang dahulu dipuja sebagai pahlawan perlahan berubah menjadi beban yang ingin dilupakan.
Habis Manis, Sepah Dibuang
Pasca perubahan sejarah itu, nasib para pendukung setia Indonesia di Timor Timur berubah drastis. Banyak yang terkatung-katung di kamp pengungsian, hidup dalam kemiskinan, trauma, dan ketidakpastian status.
Nama mereka tidak tercatat dalam sejarah nasional, dan pengorbanan mereka nyaris tak pernah dibicarakan secara jujur. Sementara itu, Timor Leste berdiri sebagai negara merdeka, dan mereka yang dulu paling Indonesia justru menjadi manusia tanpa tempat yang jelas dalam narasi bangsa.
Pertanyaan yang seharusnya menggugah nurani kita adalah sederhana namun menyakitkan: jika negara benar-benar setia pada mereka yang telah mengorbankan segalanya, mengapa orang-orang itu akhirnya ditinggalkan? Apakah kesetiaan mereka dibalas dengan tanggung jawab, atau hanya dengan keheningan dan lupa?
Jangan Mengulangi Kesalahan Serupa
Saudara-saudariku Orang Asli Papua, ketika hari ini sebagian dari kita membela negara dengan cara menyangkal penderitaan sesama Papua, mengejek tangisan para ibu, atau memusuhi suara kritis dari saudara sendiri, pernahkah kita bertanya ke mana semua ini akan bermuara? Apakah kesetiaan yang dibangun di atas penyangkalan luka akan benar-benar membawa keselamatan?
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa relasi negara dengan wilayah pinggiran sering kali didasarkan pada kepentingan. Selama suatu daerah dianggap strategis, kaya sumber daya, dan penting secara politik, maka pujian dan perhatian akan diberikan. Namun ketika kepentingan itu berubah, yang tersisa hanyalah luka dan kesunyian. Tidak ada jaminan bahwa Papua akan diperlakukan berbeda jika suatu hari arah sejarah berbelok.
Introspeksi: Kepada Siapa Engkau Setia?
Kesetiaan kepada negara seharusnya bersifat timbal balik. Ia menuntut perlindungan atas martabat manusia, penghormatan terhadap tanah dan identitas, serta keadilan bagi mereka yang menderita. Namun jika kesetiaan itu justru menuntut orang Papua untuk membungkam luka sendiri, menyangkal kematian anak-anaknya, dan menerima ketidakadilan sebagai harga persatuan, maka kesetiaan tersebut patut dipertanyakan.
Introspeksi bukan berarti membenci Indonesia. Ia berarti menempatkan harga diri orang Papua sebagai pusat pertimbangan moral. Kesetiaan yang sejati tidak pernah menuntut seseorang untuk memusuhi dirinya sendiri.
Bukan Ajakan Membenci, Tapi Mengingat
Tulisan ini tidak mengajak orang Papua untuk membenci Indonesia, melainkan mengajak untuk mengingat. Mengingat bahwa sejarah memiliki pola. Mengingat bahwa mereka yang paling setia pun bisa menjadi yang paling mudah dilupakan. Belajar dari Timor Timur berarti belajar bahwa janji kekuasaan tidak selalu sejalan dengan tanggung jawab jangka panjang.
Suatu hari nanti, anak cucu orang Papua akan bertanya tentang pilihan-pilihan yang kita ambil hari ini. Mereka akan bertanya apakah kita berdiri di sisi martabat atau di sisi kenyamanan sesaat. Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan slogan, melainkan dengan kejujuran sejarah.
Jangan Serahkan Masa Depanmu pada Janji Kekuasaan
Saudara-saudariku Orang Asli Papua, sejarah tidak pernah ramah kepada mereka yang hanya menjadi alat. Ia menghormati mereka yang berani berpikir, bercermin, dan bersuara dengan nurani. Sebelum semuanya terlambat, bertanyalah pada diri sendiri apakah kesetiaan yang ditawarkan hari ini benar-benar menjamin masa depan esok.
Jika suatu hari Papua mengalami perubahan sejarah seperti Timor Timur, Indonesia akan tetap berjalan sebagai negara, tetapi orang Papua-lah yang akan menanggung akibatnya. Pada saat itu, tidak ada lagi tepuk tangan dan pujian. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan pertanyaan pahit: apakah semua pengorbanan itu sungguh sepadan?
Wim Anemeke


Comments
Post a Comment