Integrasi Papua ke dalam NKRI melanggar Pancasila dan UUD 1945
Integrasi Papua ke dalam NKRI melanggar Pancasila dan UUD 1945
Sejak awal 1960-an, Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses yang legitimasinya patut dipertanyakan. Trikora dan Pepera, sebagai landasan integrasi, tidak terjadi dalam kondisi yang demokratis dan adil.
Rakyat Papua tidak diberikan ruang untuk menentukan nasibnya secara bebas, melainkan berada di bawah tekanan militer dan pengawasan politik yang ketat. Dalam konteks ini, integrasi Papua patut dianalisis melalui lensa Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, karena tindakan ini menyangkut prinsip-prinsip fundamental tentang hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan persatuan nasional yang bermartabat.
Pelanggaran Nilai Kemanusiaan dalam Pancasila
Nilai-nilai kemanusiaan dalam Pancasila menjadi sangat relevan dalam menilai integrasi Papua. Sila pertama dan kedua menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, sekaligus menegaskan tanggung jawab di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, realitas integrasi menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut dilanggar secara sistemik. Tekanan militer yang menguat sejak dikumandangkannya Trikora oleh Presiden Sukarno pada Desember 1961, disertai intimidasi politik dan pembungkaman suara rakyat Papua, jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan yang dibangun melalui kekerasan tidak mungkin selaras dengan Pancasila, karena persatuan sejati harus lahir dari kesadaran kolektif dan rasa hormat terhadap perbedaan, bukan dari ketakutan dan dominasi.
Pengingkaran Kedaulatan Rakyat dan Prinsip Konstitusional
Integrasi paksa Papua melanggar prinsip demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.
Pepera 1969 yang menjadi dasar legal integrasi Papua berlangsung dalam suasana militerisasi yang membatasi kebebasan berekspresi dan pilihan politik, sehingga prinsip demokrasi konstitusional tidak ditegakkan. Kedaulatan rakyat, yang seharusnya menjadi landasan legitimasi negara, diabaikan sepenuhnya.
Distorsi Makna Persatuan dan Musyawarah
Makna persatuan dalam Pancasila juga dirusak oleh integrasi paksa ini. Sila ketiga dan keempat menekankan persatuan dan kerakyatan yang dibangun melalui musyawarah dan hikmat kebijaksanaan.
Namun, integrasi Papua meniadakan musyawarah tradisional masyarakat adat dan menggantinya dengan mekanisme paksaan, termasuk pemilihan 1.025 perwakilan yang ditunjuk tanpa melalui proses partisipatif yang sah.
Persatuan yang lahir dari ketakutan dan tekanan militer bukanlah persatuan yang sah, melainkan persatuan semu yang bertahan karena dominasi. Hal ini jelas bertentangan dengan spirit Pancasila yang menempatkan musyawarah sebagai dasar pengambilan keputusan kolektif.
Pelanggaran HAM dan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Selain pelanggaran konstitusi dan Pancasila, integrasi paksa Papua bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.
Hukum nasional sendiri menjamin perlindungan hak setiap warga negara, namun rakyat Papua mengalami pembungkaman politik, pengawasan militer, dan tekanan yang membatasi hak-hak dasar mereka. Ketidakadilan ini terlihat tidak hanya pada bidang politik, tetapi juga pada akses ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Kontradiksi Etika dan Kegagalan Keadilan Sosial
Dari perspektif etika Pancasila, integrasi paksa Papua merupakan kontradiksi moral yang serius. Persatuan dan keadilan sosial tidak dapat dibangun di atas penderitaan dan penindasan.
Sila kelima menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat Papua tidak menikmati perlakuan yang setara. Mereka tetap mengalami marginalisasi struktural yang menegaskan bahwa integrasi ini bukanlah langkah yang adil, melainkan upaya mempertahankan dominasi politik dan militer di wilayah yang berbeda secara budaya dan historis.
Kesimpulan
Integrasi Papua ke dalam NKRI jelas melanggar prinsip Pancasila dan ketentuan UUD 1945. Ia mengabaikan hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri, merusak makna persatuan yang adil, dan menyingkirkan prinsip demokrasi serta keadilan sosial.
Persatuan yang bermakna hanya dapat dicapai melalui dialog, pengakuan terhadap aspirasi rakyat Papua, dan penghormatan terhadap hak asasi mereka, bukan melalui paksaan atau intimidasi. Hanya melalui reformasi yang menegakkan keadilan, demokrasi, dan persatuan sejati, legitimasi negara dan harmoni yang bermakna dapat terwujud di Papua.


Comments
Post a Comment