Kriminalisasi Kritik di Papua

Kriminalisasi Kritik di Papua

Cermin Kegagalan Negara dan Ketidakadilan Struktural


Dalam konteks Papua, kecenderungan aparat negara dan pemegang kekuasaan untuk membalas kritik dengan kriminalisasi menjadi jauh lebih kentara dan sistemik. Papua menjadi ruang politik yang sarat sejarah kekerasan, ketidakadilan, dan narasi yang diperebutkan.


Kritik yang Dibalas Represi Hukum

Setiap kritik—baik soal pelanggaran HAM, rasisme, eksploitasi sumber daya, maupun tuntutan penentuan nasib sendiri—secara otomatis mengguncang fondasi legitimasi negara di Papua. Ketika fondasi ini digugat, respons yang muncul bukan dialog substantif, melainkan represi hukum.

Aparat negara di Papua jarang menanggapi kritik dengan argumen yang setara; sebaliknya, mereka kerap menggunakan hukum dan represi, seperti kriminalisasi aktivis KNPB, penangkapan demonstran damai, dan intimidasi terhadap jurnalis lokal, untuk meredam suara tanpa membahas substansi kritik.

Data tentang korban sipil, kesaksian kekerasan, atau kritik terhadap pendekatan keamanan jarang dibantah dengan laporan independen atau debat terbuka. Sebaliknya, kritik segera dibingkai sebagai makar, penyebaran kebencian, atau ancaman terhadap keutuhan negara. Dengan satu langkah ini, kritik dipindahkan dari ranah diskursus publik ke ranah kriminal, sehingga tidak lagi perlu dijawab secara intelektual. Negara tidak dituntut untuk menjelaskan; pengkritiklah yang dipaksa membela diri di hadapan hukum.


Kriminalisasi sebagai Mekanisme Disiplin Kolektif

Pola ini menunjukkan ketidakmampuan—atau ketidakmauan—negara untuk beradu dalil secara jujur mengenai Papua. Mengakui kritik berarti membuka kembali sejarah integrasi yang problematik, kekerasan struktural, dan kegagalan pembangunan yang selama ini diselimuti narasi stabilitas dan kemajuan. Risiko politiknya terlalu besar. Karena itu, kriminalisasi menjadi jalan pintas: cepat, menakutkan, dan efektif meredam suara tanpa harus membantah isinya.

Di Papua, kriminalisasi kritik juga bekerja sebagai mekanisme disiplin kolektif. Ketika seorang aktivis, mahasiswa, jurnalis, atau tokoh adat diproses hukum karena berbicara, pesan itu tidak berhenti pada individu tersebut. Ia menyebar ke komunitas luas: bahwa berpikir kritis tentang Papua adalah tindakan berbahaya. Dalam situasi ketimpangan kuasa yang ekstrem—di mana negara hadir dengan aparat bersenjata, sementara warga hanya memiliki suara—hukum berubah menjadi alat intimidasi, bukan sarana keadilan.


Krisis Legitimasi dan Dampak Jangka Panjang

Lebih dari itu, kecenderungan ini mencerminkan krisis legitimasi narasi negara tentang Papua. Jika negara benar-benar yakin bahwa kebijakannya adil, manusiawi, dan berhasil, maka kritik seharusnya bisa dilawan dengan data, transparansi, dan dialog. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kritik diperlakukan sebagai ancaman eksistensial. Ini menandakan bahwa negara sadar, setidaknya secara implisit, bahwa argumennya rapuh. Kriminalisasi menjadi pengganti dalil.

Dengan demikian, dalam konteks Papua, kriminalisasi kritik bukan sekadar pelanggaran kebebasan berekspresi, melainkan cermin kegagalan negara dalam menghadapi kebenaran yang tidak nyaman. Aparat yang tidak mampu melawan dalil dengan dalil memilih hukum sebagai senjata. Namun pilihan ini justru memperdalam ketidakpercayaan dan memperpanjang konflik, karena suara yang dibungkam tidak hilang—ia hanya berubah menjadi luka kolektif yang terus diwariskan.

Comments