Mayoritas rakyat Papua Pro-NKRI: Kebenaran atau Propaganda?
Mayoritas rakyat Papua Pro-NKRI: Kebenaran atau Propaganda?
Sejumlah tokoh Papua pro-NKRI kerap muncul di media nasional, tetapi suara mereka sama sekali tidak mewakili mayoritas Orang Asli Papua (OAP). Sejarah Pepera (1969) dan pendudukan Timor Timur (1975–1999) jelas mengingatkan kita bagaimana manipulasi opini digunakan untuk menutupi aspirasi rakyat.
Di tengah perdebatan panjang tentang masa depan Papua, terdapat kelompok minoritas orang Papua yang vokal membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka muncul di berbagai media nasional, forum publik, hingga seminar politik, seakan menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Papua memilih tetap bersama Indonesia. Tokoh-tokoh ini sering dijadikan alat legitimasi politik untuk menunjukkan bahwa integrasi Papua adalah kehendak rakyatnya sendiri.
Sekilas Profil OAP Pro-NKRI
Tokoh Papua pro-NKRI biasanya berasal dari kalangan pejabat lokal, tokoh adat yang menempati posisi administratif, atau profesional yang bekerja di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Misalnya, beberapa kepala distrik (camat setara distrik di Papua), anggota DPR Papua dari partai nasionalis Indonesia, dan pejabat sipil yang menekankan pembangunan ekonomi dan integrasi politik dengan Jakarta.
Mereka menekankan pentingnya stabilitas politik, pembangunan infrastruktur, dan pendidikan, serta menolak ide pemisahan. Dalam beberapa kasus, tokoh-tokoh ini juga mengadvokasi pengakuan budaya Papua di dalam kerangka NKRI, menekankan bahwa identitas lokal bisa hidup berdampingan dengan loyalitas terhadap negara.
Namun, meskipun suara kelompok pro-NKRI terdengar nyata, mereka tetap merupakan minoritas. Mayoritas rakyat Papua masih mempertahankan aspirasi penentuan nasib sendiri yang luas, sebagaimana terlihat dari berbagai laporan masyarakat sipil, survei lapangan, dan catatan organisasi masyarakat adat.
Manifestasi nyata dari aspirasi ini terlihat pada demonstrasi massal anti-rasisme tahun 2019, ketika teriakan "Papua Merdeka!" bergema di seluruh Tanah Papua, menunjukkan kekuatan dan keseragaman tuntutan rakyat Papua yang menyerukan keadilan, pengakuan budaya, dan hak politik mereka.
Mayoritas Semu: Manipulasi Aspirasi Papua
Narasi “Mayoritas Orang Papua mendukung NKRI” bukan hal baru. Pada masa awal pendudukan Indonesia pasca-1963, pemerintah membentuk kelompok-kelompok pro-Indonesia untuk menegaskan klaim kedaulatan. Narasi ini dipublikasikan luas, bahkan digunakan untuk membujuk PBB agar menerima integrasi Papua ke Indonesia.
Puncaknya terjadi pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, sebuah proses yang banyak dikritik karena sarat manipulasi dan tekanan militer. Perwakilan PBB Fernando Ortiz-Sanz secara langsung mencatat adanya intimidasi dan pembatasan serius terhadap peserta. Sejarawan seperti Pieter Drooglever dan John Saltford juga menegaskan bahwa Pepera tidak dilakukan secara bebas, melainkan diatur ketat oleh aparat keamanan. Kritik ini diperkuat oleh Laporan Yale Law School (2004), Amnesty International, kabel diplomatik Amerika Serikat, dan sejumlah diplomat Belanda yang menyimpulkan bahwa Pepera jauh dari prinsip penentuan nasib sendiri yang sah menurut hukum internasional.
Rekayasa Opini Papua: Mengulang Sejarah Timor Timur
Kelompok minoritas pro-NKRI di Papua saat ini dapat dibandingkan dengan kelompok serupa di Timor Timur pada era pendudukan Indonesia (1975–1999). Pada masa itu, ada sejumlah tokoh Timor Timur yang pro-NKRI, yang mendukung integrasi wilayah mereka ke dalam Indonesia.
Selama era Orde Baru, Timor Timur diklaim sebagai provinsi ke-27 dan bagian tak terpisahkan dari NKRI. Namun sejarah membuktikan sebaliknya: melalui referendum pada 1999, mayoritas rakyat Timor Timur menolak Otonomi Khusus Indonesia dan memilih merdeka.
Fakta ini menunjukan bahwa, meskipun suara kelompok minoritas pro-NKRI di Timor Timur terdengar nyata, mereka sebenarnya tidak mewakili mayoritas penduduk. Hal ini juga relevan dengan situasi Papua saat ini. Perbedaan utama adalah kondisi informasi yang jauh lebih terbuka: media digital, jurnalis independen, dan lembaga HAM internasional memungkinkan narasi alternatif terdengar secara lebih luas.
Pemerintah sering menonjolkan kelompok minoritas pro-NKRI ini untuk membentuk persepsi bahwa mayoritas rakyat Papua mendukung integrasi. Padahal, suara mayoritas rakyat Papua — yang menuntut keadilan, pengakuan budaya, dan hak penentuan nasib sendiri — tetap terpinggirkan atau dibungkam melalui kontrol politik dan kekuatan militer.
Pertanyaan tentang Referendum yang Adil
Pertanyaannya jelas: beranikah Indonesia menyelenggarakan referendum yang benar-benar bebas, adil, dan transparan, sebagai antitesis dari Pepera 1969? Suatu mekanisme yang memungkinkan semua suara, baik pro-NKRI maupun yang mendukung penentuan nasib sendiri, tersampaikan tanpa tekanan militer, intimidasi, atau manipulasi.
Hanya melalui proses demokratis yang kredibel dan terbuka, minoritas pro-NKRI bisa ditempatkan dalam konteks yang adil: sebagai bagian dari keberagaman aspirasi rakyat Papua, bukan sebagai propaganda untuk membungkam mayoritas. Tanpa itu, narasi “Mayoritas Orang Papua mendukung NKRI” akan terus mengulang pola manipulasi opini masa lalu yang terbukti menyesatkan.
Penutup
OAP pro-NKRI tentu memiliki hak untuk bersuara, tetapi suara mereka tidak dapat dijadikan representasi mayoritas rakyat Papua. Menjadikan kelompok kecil ini sebagai legitimasi politik integrasi hanyalah mengulang rekayasa Pepera 1969 dan pendudukan Timor Timur dalam bentuk baru.
Prinsip demokrasi hanya dapat ditegakkan melalui referendum yang bebas, adil, dan melibatkan seluruh rakyat Papua. Tanpa mekanisme itu, aspirasi mayoritas akan terus diabaikan, dan siklus pemelintiran sejarah serta legitimasi semu akan kembali terulang.
Karena itu, kepada para tokoh OAP pro-NKRI, sejarah menuntut Anda untuk jujur pada realitas rakyat sendiri—bukan sekadar menguatkan narasi kekuasaan, tetapi berdiri bersama kebenaran, martabat, dan masa depan bangsa Papua.


Comments
Post a Comment