Membayangkan Papua hingga Akhir Mandat Presiden Prabowo Subianto

Membayangkan Papua hingga Akhir Mandat Presiden Prabowo Subianto

Tulisan ini lahir dari sebuah latihan imajinatif: membayangkan apa yang terjadi jika operasi militer di pedalaman Papua terus berlangsung tanpa jeda hingga akhir masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 


Imajinasi di sini tidak dimaksudkan sebagai spekulasi kosong, melainkan sebagai cara etis untuk membaca kecenderungan yang sudah tampak di permukaan. Ketika kebijakan keamanan menjadi respons utama dan nyaris satu-satunya terhadap persoalan Papua, maka masa depan dapat dibaca melalui perpanjangan logis dari praktik yang sedang berjalan hari ini.


Keadaan Darurat yang Menjadi Kehidupan Sehari-hari

Dalam bayangan ini, keadaan darurat tidak pernah diumumkan secara resmi, tetapi dijalankan secara terus-menerus. Operasi militer yang semula dipresentasikan sebagai langkah sementara perlahan menjelma menjadi kondisi normal. 

Pos keamanan, patroli bersenjata, dan penyisiran rutin menjadi lanskap sehari-hari. Ruang sosial tidak lagi didefinisikan oleh kampung, gereja, sekolah, atau pasar, melainkan oleh zona aman dan zona rawan. Negara hadir secara intens, tetapi kehadiran itu dirasakan lebih sebagai pengawasan daripada perlindungan.

Keadaan semacam ini membentuk relasi yang timpang antara negara dan warga. Warga belajar untuk menyesuaikan diri, membatasi gerak, dan menakar kata. Diam menjadi strategi bertahan hidup. Dalam jangka panjang, normalisasi operasi militer mengikis makna kewargaan itu sendiri, karena hak-hak sipil selalu dapat ditangguhkan atas nama stabilitas.


Masyarakat yang Tumbuh dalam Bayang Trauma

Jika operasi terus berlangsung hingga bertahun-tahun, dampak paling dalam tidak selalu terlihat secara kasat mata. Ia hidup dalam tubuh dan ingatan masyarakat. 

Generasi muda Papua tumbuh dengan pengalaman yang seragam: sekolah yang terputus, guru yang pergi, orang tua yang selalu waspada, dan rasa takut yang tidak pernah benar-benar diberi nama. Trauma tidak hadir sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai kondisi laten yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam situasi ini, kehidupan sipil perlahan tereduksi. Aktivitas ekonomi terganggu, relasi sosial menyempit, dan rasa percaya terhadap institusi negara semakin menipis. Masyarakat tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan simbolik—kehilangan ruang untuk menceritakan pengalaman mereka sendiri tanpa rasa takut akan konsekuensi.


Pembangunan yang Dikawal Senjata

Negara mungkin tetap berbicara tentang pembangunan, konektivitas, dan kemajuan. Namun dalam imajinasi ini, pembangunan yang berjalan berdampingan dengan operasi militer akan terasa asing bagi masyarakat lokal. Jalan dan infrastruktur dibangun dengan pengamanan ketat, tetapi tanpa keterlibatan sosial yang bermakna. Tanah adat dilepaskan atas nama kepentingan strategis, sementara masyarakat adat semakin terpinggirkan dari pengambilan keputusan.

Pembangunan semacam ini menciptakan paradoks: secara fisik wilayah mungkin tampak bergerak maju, tetapi secara sosial ia mengalami pembekuan. Ketimpangan meningkat, rasa memiliki melemah, dan pembangunan justru menjadi sumber konflik baru yang kembali dijawab dengan pendekatan keamanan.


Lingkaran Kekerasan Tanpa Jalan Keluar

Semakin lama operasi militer berlangsung, semakin sulit membedakan antara sebab dan akibat. Setiap insiden kekerasan dijadikan alasan untuk memperpanjang operasi, sementara operasi itu sendiri melahirkan luka baru yang menyuburkan resistensi. Dalam lingkaran ini, senjata tidak lagi menjadi alat terakhir, melainkan mekanisme utama pengelolaan konflik.

Yang hilang adalah horizon politik. Dialog selalu dianggap belum waktunya, rekonsiliasi dinilai berisiko, dan keadilan ditunda demi stabilitas jangka pendek. Tanpa peta jalan yang jelas menuju penyelesaian politik, operasi militer berjalan karena tidak ada imajinasi alternatif yang cukup berani untuk dipertimbangkan.


Bayangan di Mata Dunia

Namun, situasi ini tidak berlangsung dalam ruang hampa. Dunia luar perlahan membentuk persepsinya sendiri melalui laporan, kesaksian, dan perhatian lembaga internasional. 

Papua akan dikenal bukan sebagai tanah budaya, melainkan sebagai wilayah konflik yang terus dijaga senjata. Negara mungkin menolak narasi tersebut, tetapi penolakan tidak serta-merta menghapus dampaknya terhadap legitimasi moral di tingkat global.

Semakin tertutup suatu wilayah, semakin kuat kecurigaan bahwa ada realitas yang disembunyikan. Dalam imajinasi ini, operasi militer yang berkepanjangan justru memperbesar sorotan, bukan meredamnya.


Stabilitas yang Rapuh di Dalam Negeri

Di tingkat nasional, operasi militer jangka panjang menciptakan stabilitas yang tampak kokoh, tetapi rapuh di dalam. 

Kritik dipersempit ruangnya, empati dicurigai, dan solidaritas sosial disamakan dengan ancaman separatisme. Ruang sipil menyusut bukan melalui satu kebijakan besar, melainkan melalui atmosfer takut yang membuat banyak orang memilih aman dalam diam.

Negara terlihat kuat secara koersif, tetapi kehilangan daya persuasi moral. Kepercayaan publik tergerus perlahan, digantikan oleh kepatuhan yang lahir dari rasa takut, bukan dari rasa memiliki.


Penutup 

Membayangkan Papua hingga akhir mandat Presiden Prabowo Subianto dalam bayang operasi militer yang terus berlangsung adalah membayangkan masa depan yang tertunda.

Bukan karena tidak ada pilihan lain, melainkan karena pilihan lain tidak pernah sungguh-sungguh dicoba. Setiap tahun tambahan operasi adalah waktu yang dicuri dari kemungkinan dialog, rekonsiliasi, dan pemulihan kepercayaan.

Tulisan ini bukanlah suatu nubuatan, melainkan sebuah peringatan imajinatif yang serius. Bahwa pembungkaman mungkin tampak seperti stabilitas, tetapi di bawahnya tersimpan luka yang suatu hari akan kembali berbicara. Dan ketika saat itu tiba, harga yang harus dibayar bisa jauh lebih mahal daripada keberanian untuk berhenti dan mengubah arah hari ini.

Comments