Menari di Atas Penderitaan: Pejabat Papua dan Budak Politik Jakarta

Menari di Atas Penderitaan: Pejabat Papua dan Budak Politik Jakarta

Dalam wacana politik Indonesia, Papua kerap terpinggirkan. Ironisnya, di tengah kemiskinan, marginalisasi, dan kekerasan struktural, segelintir pejabat justru menari di atas penderitaan rakyat, menomorsatukan ambisi pribadi ketimbang kepentingan yang mereka wakili


Fenomena ini mencerminkan ketergantungan politik dan ekonomi yang akut terhadap Jakarta, yang berjalan seiring dengan korupsi struktural: loyalitas politik diperdagangkan dengan proyek dan anggaran, sementara jabatan dijadikan alat rente, bukan mandat untuk melayani rakyat Papua.


Mengabdi atau Menjilat? Ambisi di Atas Kepentingan Rakyat

Dalam skema ini, Papua diperlakukan bukan sebagai subjek pembangunan, melainkan objek eksploitasi. Praktik paling nyata adalah budaya mencari muka: pejabat lebih sibuk memamerkan loyalitas kepada Jakarta melalui proyek-proyek monumental yang memuaskan pemerintah pusat, tetapi tidak menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan. 

Bagi Jakarta, itu simbol keberhasilan; bagi rakyat Papua, itu pemborosan dan pengkhianatan. Akibatnya, ketimpangan kian menganga: elite menari di atas penderitaan, sementara rakyat tetap terjerat kemiskinan dan ketidakadilan.


Budak Jakarta: Keterikatan Politik dan Ekonomi

Istilah “budak Jakarta” bukanlah hiperbola. Banyak pejabat Papua menggantungkan karier politik mereka pada loyalitas kepada pusat, bukan pada kehendak rakyat. 

Kebijakan daerah—mulai dari pengelolaan dana otonomi khusus hingga izin tambang dan proyek infrastruktur—lebih diarahkan untuk memuaskan Jakarta daripada memberdayakan masyarakat adat. Otonomi pun berubah menjadi alat subordinasi: pejabat memilih menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pusat, menukar tanggung jawab moral dan martabat politik dengan pengakuan serta keamanan karier.


Penderitaan Rakyat sebagai Latar Panggung

Setiap pesta politik, perayaan seremonial, dan proyek besar pejabat Papua sesungguhnya dibangun di atas penderitaan rakyat. Anak-anak putus sekolah, tanah adat dirampas, dan kemiskinan ekstrem tersingkir dari narasi resmi—namun tetap membingkai citra “kesuksesan” politik. 

Bukti nyata terlihat dalam dugaan korupsi mantan Penjabat Bupati Lanny Jaya atas dana desa senilai Rp 168 miliar. Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi ratusan kampung dialihkan secara ilegal, merugikan pelayanan dasar masyarakat di wilayah pegunungan terpencil.


Jalan Keluar: Kemandirian dan Akuntabilitas

Mengakhiri praktik ini butuh keberanian dan akuntabilitas. Rakyat Papua harus menuntut pejabat yang menempatkan kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi, melalui transparansi, partisipasi, dan evaluasi kinerja berbasis kesejahteraan.

Otonomi sejati berarti membangun kemandirian ekonomi dan politik, bergerak bersama rakyat, mendengar suara mereka, dan merancang kebijakan nyata. Pejabat yang mengorbankan rakyat demi pengakuan pusat harus dipertanggungjawabkan; panggung politik sejati adalah tempat dimana warga menjadi prioritas, bukan hiasan bagi kesuksesan pribadi.

Comments