Meneladani Martin Luther King Jr. dan Billy Graham: Tanggung Jawab Rohani Hamba Tuhan di Papua
Meneladani Martin Luther King Jr. dan Billy Graham: Tanggung Jawab Rohani Hamba Tuhan di Papua
Belajar dari Martin Luther King dan Billy Graham, para hamba Tuhan di Papua dipanggil memperjuangkan martabat dan hak rakyatnya secara damai. Menentukan nasib sendiri adalah hak sipil.
Di berbagai belahan dunia, gereja sering menjadi tempat di mana suara orang kecil menemukan kekuatan. Ketika negara atau masyarakat gagal mendengar jeritan mereka yang menderita, sering kali justru gereja—melalui para hamba Tuhan—yang pertama-tama berdiri dan berkata: “Di sini ada manusia yang harus dihormati.”
Tanah Papua pun tidak berbeda. Di negeri yang penuh keindahan sekaligus luka ini, para hamba Tuhan memikul tanggung jawab moral untuk menjaga martabat umat yang Tuhan percayakan.
Dalam pergumulan besar ini, dua tokoh Kristen dari Amerika Serikat—Martin Luther King Jr. dan Billy Graham—memberikan inspirasi yang sangat relevan. Mereka hidup di tengah konflik rasial yang keras, namun keduanya menggunakan Injil sebagai cahaya untuk menuntun bangsa mereka menuju keadilan. Mereka berbeda gaya, berbeda strategi, bahkan berbeda kharisma. Tetapi keduanya sepakat bahwa iman tidak boleh diam ketika manusia diperlakukan tanpa martabat.
Hari ini, ada banyak hal yang bisa dipelajari para hamba Tuhan di Papua dari perjalanan mereka.
Pelajaran dari Martin Luther King Jr.: Keberanian yang Lahir dari Iman
Martin Luther King tampil sebagai seorang pendeta baptis yang percaya bahwa Gereja dipanggil bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk menegakkan keadilan. Ia tidak berjuang dengan senjata, tetapi dengan kata-kata yang keluar dari iman dan hati nurani.
King mengingatkan kita bahwa ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana pun. Ia mengerti bahwa diam di hadapan penderitaan sesama berarti membiarkan ketidakadilan tumbuh. Dan karena itu, ia memilih jalan non-kekerasan—suatu jalan yang keras, tetapi penuh kekuatan moral.
Bagi para hamba Tuhan di Papua, ini mengajarkan bahwa pelayanan profetik bukanlah pilihan sampingan. Ini adalah bagian dari panggilan kita. Ketika masyarakat menghadapi diskriminasi, kekerasan, atau krisis kemanusiaan, gereja tidak boleh menutup pintu. Sebaliknya, gereja harus menjadi rumah di mana kebenaran dan belas kasih berjalan bersama.
Dalam teologi Martin Luther King Jr., kesetaraan warga dan hak menentukan nasib sendiri bukanlah tindakan makar, melainkan hak sipil dan kewajiban moral. Ini bukan soal pemberontakan, tetapi soal pengakuan martabat manusia. King secara terbuka mendukung gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan dan perjuangan kemerdekaan di India, menegaskan bahwa semua komunitas berhak menentukan nasibnya sendiri.
Komunitas yang ingin hidup sebagai dirinya sendiri—menjaga budaya, tanah, dan masa depannya—memperjuangkan eksistensi yang sah. Ketika gereja membahas isu-isu ini, ia bukan “berpolitik”, melainkan menegakkan tanggung jawab moral dan profetisnya.
Pelajaran dari Billy Graham: Kesetiaan pada Injil yang Menghancurkan Tembok Pemisah
Meski berbeda temperament dan pendekatan dari MLK, Billy Graham juga memberikan teladan keberanian moral. Di masa ketika rasisme dilegalkan dan dianggap biasa, Graham menolak memisahkan jemaat berdasarkan warna kulit. Pada sebuah kebaktian akbar tahun 1953, ia bahkan menurunkan sendiri tali pembatas antara “bangku kulit hitam” dan “bangku kulit putih”. Ia berkata: “Injil tidak bisa dikhotbahkan di hadapan tembok pemisah seperti ini.”
Bagi Papua, pelajaran ini sangat penting. Gereja tidak boleh ikut membiarkan tembok pemisah apa pun: antara etnis, antara pendatang dan orang asli, antara mereka yang berkuasa dan mereka yang menderita. Panggilan gereja adalah menyatukan, bukan memecahkan.
Graham juga menunjukkan bahwa sekalipun kita tidak semua dipanggil menjadi aktivis seperti MLK, kita tetap bisa memperjuangkan martabat manusia dari tempat kita melayani. Ada yang berjuang lewat khotbah, yang lain melalui pendampingan pastoral, pendidikan, doa, atau pelayanan sosial. Semua bagian penting.
Apa Artinya Semua Ini bagi Para Hamba Tuhan di Papua?
Hari ini, Papua menghadapi situasi yang kompleks: luka sejarah, kekerasan yang berulang, diskriminasi struktural, krisis identitas, dan ketakutan akan hilangnya budaya serta tanah. Semua ini bukan hanya isu politik. Ini adalah isu kemanusiaan.
Di tengah ini semua, para hamba Tuhan memiliki panggilan yang tidak tergantikan:
Menjadi Suara Moral
Gereja harus berkata dengan jelas bahwa setiap manusia Papua diciptakan menurut gambar Allah—berharga, bermartabat, dan layak dihormati. Hak untuk hidup aman, hak atas tanah, hak menjaga identitas, dan hak menentukan masa depan komunitasnya adalah hak sipil, bukan kejahatan. Ini adalah bagian dari anugerah Tuhan yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun.
Menjadi Penjaga Perdamaian
Seperti MLK, gereja dipanggil mengutamakan jalan damai. Bukan berarti diam, melainkan berjuang tanpa kebencian. Menjadi terang tanpa membakar. Memperjuangkan perubahan tanpa kehilangan belas kasih.
Menjadi Pelindung yang Rentan
Banyak keluarga Papua hidup dalam ketakutan: takut kehilangan tanah, takut kehilangan anak, takut bersuara. Gereja harus menjadi tempat aman, bukan tempat yang membuat mereka semakin takut. Para hamba Tuhan dipanggil menghibur, mendampingi, dan berdiri bersama mereka yang rentan.
Menjadi Pengajar Kebenaran
Hak menentukan nasib sendiri sering disalahpahami seolah-olah selalu berarti pemberontakan. Padahal dalam tradisi HAM dan ajaran gereja tentang martabat manusia, ini adalah hak komunitas untuk merumuskan masa depannya secara damai dan bermartabat. Gereja perlu menjelaskan ini dengan bijak, tenang, dan penuh kebijaksanaan pastoral.
Lentera di Atas Bukit
Martin Luther King Jr. dan Billy Graham mengingatkan kita bahwa iman Kristen tidak boleh hanya berbicara tentang surga, tetapi juga tentang bagaimana manusia diperlakukan di bumi. Gereja ada bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa, tetapi juga untuk merawat luka manusia, menjaga keadilan, dan menghadirkan harapan.
Para hamba Tuhan di Papua dipanggil menjadi lentera di atas bukit, yang sinarnya tidak dapat disembunyikan. Ketika dunia menutup mata, gereja harus membuka hati. Ketika kekerasan ingin berbicara lebih keras, gereja harus berbicara lebih lembut namun lebih tegas. Ketika ketakutan merayap, gereja harus membawa keberanian.
Semoga teladan MLK dan Billy Graham menguatkan para hamba Tuhan di Tanah Papua untuk berjalan di jalan yang panjang dan melelahkan ini—jalan keadilan, jalan damai, dan jalan martabat manusia. Di jalan itulah Injil menemukan dagingnya, dan di jalur itulah Tuhan berjalan bersama umat-Nya.


Comments
Post a Comment