Papua Belum Merdeka dalam Bingkai NKRI
Papua Belum Merdeka dalam Bingkai NKRI
Membantah Klaim Resmi dengan Realitas Sejarah dan Kemanusiaan
Integrasi yang Tidak Memberi Ruang Penentuan Nasib Sendiri
Klaim bahwa Papua telah merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1969 tidak dapat berdiri tegak di hadapan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa integrasi Papua bukanlah hasil penentuan nasib sendiri oleh rakyatnya, melainkan rangkaian manuver politik internasional dan tekanan militer yang mengabaikan suara Orang Asli Papua (OAP). Perjanjian New York 1962, yang menyerahkan Papua dari Belanda kepada Indonesia, dibuat tanpa melibatkan rakyat Papua sedikit pun. Tidak ada konsultasi, tidak ada referendum, dan tidak ada mekanisme demokratis yang menghormati prinsip dekolonisasi sebagaimana dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Puncak dari proses ini adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang kini dikenal secara luas sebagai Act of No Choice. Mekanisme musyawarah terpilih yang hanya melibatkan 1.026 orang dari ratusan ribu penduduk jelas tidak mencerminkan kehendak rakyat. Kesaksian sejarah menunjukkan adanya intimidasi, kontrol ketat militer, dan tekanan politik yang membuat hasil Pepera tidak dapat disebut sebagai bentuk kemerdekaan atau persetujuan rakyat. PBB pun tidak memberikan legitimasi penuh; mereka hanya “mencatat” hasilnya, sebuah sikap diplomatis yang menunjukkan keraguan terhadap keabsahan proses tersebut. Dengan demikian, dasar klaim kemerdekaan Papua dalam NKRI sejak awal sudah rapuh secara moral, politik, dan hukum internasional.
Pendekatan Keamanan dan Kekerasan Struktural yang Mengikis Martabat
Sejak integrasi, Papua menjadi salah satu wilayah paling termiliterisasi di Indonesia. Pendekatan keamanan mendominasi kehidupan sosial dan politik, menciptakan suasana ketakutan yang menembus ruang-ruang privat dan publik. Operasi militer berulang dilakukan di berbagai wilayah, menargetkan kelompok bersenjata tetapi sering kali menghantam warga sipil yang tidak tahu-menahu. Penangkapan tanpa prosedur hukum, penyiksaan, penembakan terhadap demonstran damai, dan pengungsian massal akibat operasi militer telah menjadi bagian dari sejarah panjang kekerasan negara di Papua.
Ruang demokrasi dibatasi sedemikian rupa sehingga ekspresi politik, bahkan yang damai sekalipun, sering diperlakukan sebagai ancaman keamanan. Bendera, nyanyian, orasi, dan gerakan mahasiswa ditangani dengan logika kriminalitas dan separatisme. Dalam kondisi seperti ini, sulit membayangkan bagaimana Papua dapat disebut “merdeka” sementara rakyatnya hidup dalam bayang-bayang aparat, dengan kebebasan yang terus dirampas dalam kehidupan sehari-hari.
Kolonisasi Demografis dan Ancaman terhadap Eksistensi OAP
Realitas kolonisasi demografis adalah bukti diam-diam tetapi sangat kuat bahwa Papua tidak mengalami kemerdekaan sejati. Sejak 1970-an, ketika program transmigrasi besar-besaran digalakkan, komposisi penduduk Papua berubah secara drastis. Pada awal integrasi, OAP merupakan mayoritas mutlak. Namun kebijakan transmigrasi negara, ditambah migrasi spontan yang didorong oleh pembangunan infrastruktur dan arus ekonomi, menjadikan banyak kota strategis di Papua dikuasai pendatang.
Kini, di Jayapura, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, Serui, dan Sorong, OAP telah menjadi minoritas. Proses perubahan ini tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan hasil intervensi negara yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi migrasi besar-besaran. Konsekuensi dari perubahan demografis ini sangat mendalam: OAP kehilangan akses terhadap tanah adat, kehilangan posisi dalam struktur ekonomi, dan kehilangan ruang dalam sistem politik. Ketika suatu bangsa menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri dan tersisih dari arus pembangunan, maka itu adalah tanda bahwa bangsa tersebut sedang kehilangan dirinya.
Kekayaan Alam Papua Tidak Membawa Kemerdekaan Ekonomi
Papua adalah tanah yang kaya: emas, tembaga, gas alam, kayu, dan sumber daya laut yang besar. Namun kekayaan itu tidak pernah berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Model pembangunan yang diterapkan lebih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar nasional dan multinasional, sehingga rakyat Papua lebih sering menjadi penonton daripada penerima manfaat. Freeport menjadi salah satu simbol kontradiksi paling nyata: satu dari tambang terbesar di dunia berdiri kokoh di tengah kemiskinan struktural OAP.
Indikator sosial Papua mempertegas ketidakmerdekaan ekonomi tersebut. Papua dan Papua Pegunungan secara konsisten memiliki angka kemiskinan tertinggi, Indeks Pembangunan Manusia terendah, serta tingkat kematian ibu, bayi, stunting, dan gizi buruk yang jauh di atas rata-rata nasional. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan ketimpangan struktural yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan alasan “pembangunan belum merata”, tetapi memperlihatkan kegagalan mendasar dalam model pembangunan yang diterapkan sejak integrasi.
Otonomi Khusus: Jalan Tengah yang Tidak Menyelesaikan Akar Masalah
Otonomi Khusus (Otsus) yang diberlakukan sejak 2001 digadang-gadang sebagai solusi politik yang memberi ruang bagi Papua untuk membangun dirinya sendiri. Namun dua dekade lebih berlalu, Otsus terbukti tidak mampu mengatasi akar persoalan. Korupsi dalam pemerintahan lokal, intervensi kuat pemerintah pusat, dan meningkatnya peran aparat keamanan membuat Otsus tak lebih dari paket administratif yang tidak menyentuh persoalan martabat dan hak-hak kolektif OAP. Pemekaran provinsi tanpa musyawarah yang bermakna hanyalah memperkuat kontrol administratif pusat sekaligus melemahkan posisi politik orang Papua sebagai satu kesatuan identitas. Dalam konteks seperti ini, Otsus justru mempertebal rasa keterasingan OAP di tanah mereka sendiri.
Papua Belum Merdeka, Karena Martabat Bangsa Papua Belum Diakui
Jika kemerdekaan berarti kebebasan menentukan nasib sendiri, hidup aman, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat atas tanah serta identitas, maka Papua jelas belum merdeka di dalam bingkai NKRI. Integrasi yang bermasalah, kekerasan struktural yang terus berlangsung, kolonisasi demografis yang mengikis eksistensi OAP, ketidakadilan ekonomi, dan kegagalan Otsus secara keseluruhan membuktikan bahwa klaim “Papua sudah merdeka” adalah slogan politik tanpa dasar kenyataan.
Yang ada hanyalah rakyat yang terus berjuang mempertahankan keberadaannya sebagai bangsa Melanesia, di tengah kekuasaan negara yang tidak pernah secara sungguh-sungguh mengakui martabat, hak, dan kemanusiaan mereka. Selama kondisi ini terus berlangsung, dan selama Pribumi Papua tidak memiliki kontrol atas masa depan mereka, maka klaim kemerdekaan itu akan selalu terbantahkan oleh fakta paling nyata: bahwa bangsa Papua masih berada dalam situasi yang mengancam kelangsungan hidup mereka sendiri.


Comments
Post a Comment