Papua Darurat Perang: Terapkan Hukum Humaniter Sebelum Terlambat!
Konflik Papua memburuk, ribuan warga mengungsi, dan operasi keamanan makin intens. Negara wajib menerapkan HHI dan membuka dialog HAM agar krisis kemanusiaan tak kian dalam.
Kekerasan Bersenjata yang Memburuk
Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan bersenjata di Papua terus bergerak menuju titik kritis. Di tengah pernyataan resmi yang menyebut keadaan di Papua hanyalah “gangguan keamanan”, realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda.
Banyaknya bentrokan antara TNI–POLRI dan TPN–PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat), pengungsian massal, blokade bantuan kemanusiaan, serta tiadanya akses jurnalis asing adalah indikator objektif bahwa konflik ini merupakan perang non-internasional.
Mengingkari realitas ini bukan sekadar ketidakjujuran; tindakan itu menempatkan rakyat Papua—apapun pandangan politik mereka—dalam bahaya yang kian nyata, meski mereka tetap Warga Negara Indonesia.
Hukum Humaniter: Standar Minimum Perlindungan
Hukum Humaniter Internasional (HHI) hadir untuk konflik bersenjata non-internasional seperti ini—ketika ada dua aktor bersenjata dengan struktur komando, wilayah operasi, dan kemampuan tempur yang jelas.
Papua telah memenuhi parameter tersebut. Perdebatan ‘perang atau bukan perang’ tidak lagi relevan—nyawa penduduk sipil terancam, rumah-rumah hilang, dan kebutuhan pokok mereka pun kadang tak terpenuhi.
Laporan terbaru Human Rights Monitor mencatat lebih dari 100.000 warga Papua hidup sebagai pengungsi internal, belum termasuk puluhan ribu yang melarikan diri ke Papua Nugini tanpa perlindungan memadai.
Sejumlah LSM Gereja juga menegaskan banyak dari pengungsi adalah perempuan, anak-anak, dan lansia, yang bertahan bertahun-tahun di hutan tanpa pelayanan dasar atau menumpang di halaman gereja, balai, dan sekolah.
Negara Mengoperasikan Logika Perang
Negara kerap menyebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN–PB) sebagai “kelompok kriminal bersenjata” tanpa status kombatan, sementara intensitas operasi militer—penggunaan pesawat tempur, pasukan non-organik, dan penyisiran wilayah sipil—menunjukkan negara sendiri telah mengoperasikan logika perang.
Yang paling menderita di sini adalah warga sipil Papua—terjebak dalam trauma yang terus menghantui, sementara suara mereka tenggelam dalam kesunyian.
Menerapkan HHI bukanlah pengakuan separatisme, tetapi standar minimum untuk mencegah pelanggaran hukum internasional sekaligus melindungi wibawa Indonesia di mata dunia.
Seperti diingatkan Romo Frans Magnis-Suseno:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan… Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia … kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua.”
Dalam konteks ini, pengingat mengenai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit menjadi relevan—bahwa setiap operasi militer wajib dijalankan dengan menjunjung nilai kemanusiaan, kehormatan, dan perlindungan terhadap rakyat. Prinsip seperti “Kami adalah patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah” serta “Kami menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit” menegaskan bahwa kekuatan militer harus sejalan dengan moral, hukum nasional, hukum internasional, dan Pancasila, khususnya Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
HHI Menetapkan Batas Perlindungan
HHI menegaskan bahwa operasi militer tidak boleh menyasar warga sipil, kekerasan harus proporsional, akses bantuan kemanusiaan dijamin, dan mereka yang tidak lagi bertempur wajib dilindungi.
Sesuai Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak hidup bebas dari rasa takut—hak yang harus dijunjung tinggi, terutama bagi rakyat Papua yang berada di tengah konflik.
Pendekatan keamanan semata terbukti gagal menyelesaikan akar masalah Papua, karena konflik ini juga menyangkut politik, identitas, sejarah, dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua selama enam dekade.
Pengakuan Konflik dan Dialog HAM
Pengakuan bahwa ini konflik bersenjata non-internasional bukanlah kekalahan politik, melainkan langkah awal menuju kedewasaan demokrasi dan tanggung jawab negara—tanda kesiapan untuk menghadapi realitas dengan keberanian dan rasa keadilan.
Negara-negara lain, seperti Filipina dan Kolombia, telah menyadari bahwa penerapan HHI adalah syarat minimum untuk menyelamatkan warga sipil sekaligus menjaga wibawa di mata hukum internasional.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia mengakui Papua bukan sekadar “gangguan keamanan”, tetapi konflik yang membutuhkan HHI. Dialog berbasis HAM menjadi titik awal paling manusiawi. Tanpa itu, Papua berada di tepi jurang krisis kemanusiaan lebih besar daripada yang terlihat.
Jalan Hukum, Kemanusiaan, dan Dialog
Papua bukan ruang eksperimen kekerasan; Papua adalah bumi manusia yang wajib dilindungi. Sudah saatnya Indonesia memilih jalan hukum dan kemanusiaan. Kementerian terkait harus proaktif, sementara Komnas HAM perlu memfasilitasi dialog HAM yang jujur dan bermartabat antara pemerintah dan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) sebagai representasi politik rakyat Papua yang memiliki pengakuan dan kapasitas advokasi di tingkat internasional.
Langkah ini bukan pembenaran separatisme, melainkan upaya minimum untuk melindungi warga sipil dan membangun kembali kepercayaan.
Papua membutuhkan keputusan yang berani dan bertanggung jawab; tidak ada lagi waktu untuk menunda. Jika negara ini mampu menawarkan solusi demokratis bagi Aceh dan Timor Leste, mengapa Papua harus terus dibiarkan tanpa jalan penyelesaian yang bermartabat?
Referensi
1. Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, terkait Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-Internasional (Protokol II), 1977.
https://ihl-databases.icrc.org/en/ihl-treaties/apii-1977
2. Human Rights Monitor.
Pembaruan IDP Oktober 2025: Kampanye militer mengganggu kehidupan dan layanan sipil serta menyebabkan pengungsian baru.
https://humanrightsmonitor.org/news/idp-update-october-2025-military-campaign-disrupts-civilian-life-and-services-while-causing-new-displacements/
3. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), & Dewan Gereja Papua Barat.
Laporan Riset September 2024: "Pengungsian Internal Adalah Masalah Kronis di Tanah Papua"


Comments
Post a Comment