Papua: Kontributor Besar yang Terus Dipanen

Papua: Kontributor Besar yang Terus Dipanen

Papua menyumbang triliunan ke negara, Otsus gagal tingkatkan kesejahteraan. Pemberian hak menentukan nasib sendiri adalah langkah rasional dan lebih murah daripada operasi militer.


Dana Otsus atau Janji Palsu?

Sejak diberlakukannya Dana Otonomi Khusus (Otsus), Papua menerima aliran subsidi yang tampak besar — total kumulatif mencapai Rp 126,99 triliun antara 2002 hingga 2020, atau rata‑rata sekitar Rp 6,68 triliun per tahun — namun janji kesejahteraan bagi rakyat tetap jauh dari kenyataan.

Alokasi ini diharapkan menjadi tonggak percepatan pembangunan, memperbaiki layanan dasar, dan mengatasi ketimpangan yang telah membelenggu masyarakat Papua selama puluhan tahun. 

Namun kenyataannya, dana tersebut sering tersendat, sebagian tersimpan di deposito, sebagian lainnya diselewengkan, sementara masyarakat tetap menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur memadai. Janji Otsus yang seharusnya menjadi katalis perubahan berubah menjadi simbol ketidakmampuan sistem pusat menyejahterakan Papua.


Papua sebagai Mesin Kontribusi

Di saat yang sama, Papua menjadi penyumbang besar bagi negara. Hingga Agustus 2024, pendapatan negara dari Papua tercatat sekitar Rp 11,58 triliun, sementara pajak domestik sendiri hingga Oktober 2024 mencapai hampir Rp 6,98 triliun. Sektor pertambangan dan penggalian mendominasi, menegaskan bahwa tanah Papua menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi bagi pusat. PT Freeport Indonesia, misalnya, menyetor sekitar Rp 7,73 triliun pada tahun yang sama, sebagian masuk ke kas pusat, sebagian ke pemerintahan daerah. 

Kontribusi ini jauh melebihi jumlah yang secara langsung diterima masyarakat Papua setiap tahun. Papua sejatinya bukan penerima bantuan, melainkan korban eksploitasi sistemik. Kekayaan melimpahnya terus mengalir ke pusat, sementara janji pembangunan bagi rakyat tetap tak terwujud.


Paradoks Net Contribution

Jika Otsus dipandang sebagai transfer dari pusat ke Papua dan pendapatan negara dari Papua dipandang sebagai kontribusi Papua ke pusat, muncul paradoks yang mengejutkan. 

Dalam banyak tahun, kontribusi Papua ke negara bisa menyamai atau bahkan melebihi realisasi tahunan Dana Otsus yang dikucurkan. Papua, dengan sumber daya melimpah dan kontribusi fiskal yang besar, tetap tertinggal dalam pembangunan. 

Ini adalah ketidakadilan sistemik: rakyat Papua menyumbang secara terus-menerus, namun manfaatnya jarang kembali kepada mereka secara proporsional. Paradoks ini menunjukkan bahwa narasi ketergantungan Papua adalah ilusi; dalam kenyataannya, Papua adalah penyumbang besar yang tak pernah diakui.


Biaya Militer vs Biaya Referendum 

Jika Otsus gagal dan Papua tetap dianggap bagian dari status quo yang dipertahankan dengan operasi militer, maka biaya tahunan menjadi sangat tinggi. Operasi militer, pengamanan wilayah, administrasi ekstra, dan pengeluaran terkait konflik menelan anggaran miliaran rupiah setiap tahun. 

Bandingkan dengan biaya mekanisme referendum untuk hak menentukan nasib sendiri, prosedur demokratis yang sah dan damai: relatif aman dan jauh lebih hemat dibandingkan operasi militer yang menelan korban dan merusak infrastruktur sosial. Dari perspektif ekonomi dan politik, memungkinkan rakyat Papua menentukan nasib sendiri jauh lebih rasional daripada mempertahankan kontrol dengan kekerasan.


Keadilan Sosial dan Politik sebagai Fondasi Hak Menentukan Nasib Sendiri

Data kontribusi fiskal Papua yang melimpah dan kegagalan Otsus dalam meningkatkan kesejahteraan menegaskan satu kebenaran sederhana: Papua memiliki dasar moral dan ekonomi untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. 

Setiap rupiah yang dihasilkan oleh tanah ini dan mengalir ke pusat adalah alasan etis bagi rakyat Papua untuk meminta pengakuan atas hak mereka. Papua memiliki potensi untuk mandiri secara ekonomi dan menjadi mitra setara bagi Indonesia, bukan sekadar wilayah yang terus dipanen.

Kegagalan sistem pusat untuk membalas kontribusi ini dengan pembangunan yang setara memperkuat argumen bahwa rakyat Papua bukan sekadar warga yang harus bergantung, tetapi masyarakat yang berhak menentukan jalannya sendiri secara bebas.


Kesimpulan 

Singkatnya, membaca angka-angka kontribusi dan transfer finansial, dikombinasikan dengan realitas kegagalan pembangunan, pelanggaran HAM akibat operasi-operasi militer, menunjukkan posisi Papua yang tidak adil dalam negara ini. Papua adalah kontributor besar yang terus dipanen, sementara mayoritas rakyatnya hampir tidak merasakan manfaat nyata. 

Dalam konteks ini, hak menentukan nasib sendiri bukan hanya tuntutan politik, tetapi langkah rasional, hemat biaya, dan adil secara moral. Mekanisme demokratis untuk menentukan nasib sendiri bukan hanya solusi pragmatis; ia adalah jalan untuk menegakkan keadilan sosial, dan politik yang selama ini diabaikan oleh sistem pusat.


Wim Anemeke 

Comments