Penggadaian Indonesia dan Kebodohan Kolektif: Peringatan untuk Papua

Penggadaian Indonesia dan Kebodohan Kolektif: Peringatan untuk Papua

Di Indonesia, rakyat menyaksikan tanah air—ibarat rumah mereka—dijual sedikit demi sedikit, sambil bersorak untuk penjual yang mengantongi uang, padahal yang hilang justru modal dan masa depan mereka.


Fenomena ini nyata sejak era Suharto (1967–1998), pemimpin feodalistik yang selama tiga dekade menggadaikan kekayaan alam, membungkam demokrasi, dan membiarkan pelanggaran HAM merajalela dari Aceh hingga Papua. Tanah, hutan, tambang, bahkan laut dijual demi keuntungan investor asing, sementara rakyat menonton seolah itu adalah kemenangan nasional. 


Ilusi Kekuasaan dan Kepatuhan Kolektif

Mochtar Lubis, wartawan dan kritikus Indonesia (1922–2004), menyoroti bagaimana masyarakat Nusantara menilai pemimpin dari citra, menerima ilusi kekuasaan sebagai kebenaran.

Rakyat terbuai narasi heroik dan simbol kekuasaan; efek halo menutupi utang, korupsi, dan penderitaan. Kepatuhan pada otoritas, diperkuat bias konfirmasi, membuat mereka mudah percaya propaganda dan janji kosong.


Eksploitasi Sumber Daya dan Kekuasaan Orde Baru

Sejarah Orde Baru menunjukkan hal ini dengan jelas. Sejak awal kekuasaannya, Suharto membuka pintu bagi investasi asing dan eksploitasi sumber daya melalui UU Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Kehutanan (1967/1968). 

Penebangan hutan besar-besaran dan pemberian Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) kepada konglomerat dekat rezim menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial yang parah, termasuk marginalisasi masyarakat adat, terutama di Papua, seperti terlihat pada kontrak karya Freeport tahun 1967 untuk eksploitasi tambang tembaga dan emas terbesar di dunia, di mana data dari CIFOR dan berbagai laporan akademis menunjukkan keuntungan mengalir ke perusahaan dan kroni, sementara masyarakat lokal hampir tidak merasakan manfaatnya.


Utang Luar Negeri dan Ketergantungan Ekonomi

Secara ekonomi makro, negara menumpuk utang luar negeri untuk proyek infrastruktur dan stabilitas politik. Proyek-proyek megah yang tampak sebagai “pembangunan” justru meningkatkan ketergantungan pada modal asing. 

Era Suharto meninggalkan utang luar negeri membengkak; krisis moneter 1997–1998 menjadi bukti nyata kegagalan sistem ini. Inflasi melambung, rupiah terjun bebas, jutaan rakyat jatuh miskin, sementara korupsi menggerogoti 20–30% dana pembangunan melalui patronase. Mayoritas rakyat tetap miskin, elit menumpuk kekayaan.


Warisan Kebodohan Kolektif di Era Kontemporer

Warisan kebodohan kolektif ini berlanjut hingga era Prabowo. Meskipun rezim tampil pro-rakyat, mereka tetap menanggung beban utang dan ketergantungan ekonomi yang diwariskan Orde Baru. 

Proyek infrastruktur besar, seperti tol Trans-Sumatera dan ibu kota baru, dibiayai sebagian oleh utang luar negeri, namun keuntungan kembali ke elit, sementara rakyat menanggung dampaknya dan memuji pembangunan tanpa menyadari warisan kebodohan kolektif.


Papua Menolak Ilusi dan Menegakkan Kedaulatan

Papua merdeka memiliki peluang untuk menjadi berbeda. Rakyat menilai pemimpin dari integritas, keberpihakan, dan kemampuan menjaga kedaulatan ekonomi, bukan dari janji heroik atau citra menawan. Kekayaan alam harus dijaga, demokrasi diperkuat, dan budaya kritis dibangun agar tidak terjebak dalam lingkaran kebodohan kolektif.

Papua merdeka harus menolak sirkus politik, pemujaan buta, dan segala bentuk eksploitasi. Rakyat menuntut transparansi dan penerapan akal budi dalam setiap kebijakan. Masa depan Papua bergantung pada kemampuan menilai fakta, menolak ilusi pembangunan, dan menjaga kedaulatan sosial, politik, dan ekonomi.

Comments