Peran Indonesia di Melanesia: Perspektif Papua

Peran Indonesia di Melanesia: Perspektif Papua

Dari kacamata Papua, peran Indonesia di wilayah Melanesia mencerminkan dominasi dan upaya klaim identitas.


Orang Papua sering mempertanyakan peran Indonesia di wilayah Pasifik Selatan, yang secara historis, geografis, dan kultural termasuk Melanesia, bukan Asia. Sejak integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia, narasi resmi bahkan sering menekankan bahwa Indonesia adalah negara dengan jutaan penduduk Melanesia, mencakup Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.

Dengan klaim ini, Indonesia menempatkan diri sebagai aktor utama dalam urusan Melanesia, seolah memiliki legitimasi untuk menentukan identitas, politik, dan arah pembangunan wilayah-wilayah ini.


Kontradiksi Identitas: Tanggapan Papua terhadap Narasi Indonesia

Namun, dari perspektif orang Papua, klaim tersebut tidak sejalan dengan kenyataan. Orang Papua jelas mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari Melanesia—dari bahasa, budaya, hingga fisik—dan mereka mengalami marginalisasi karena identitas ini. 

Sebaliknya, orang-orang dari Maluku dan Nusa Tenggara Timur, meskipun secara antropologis termasuk rumpun Melanesia, tidak serta-merta mengidentifikasi diri mereka sebagai Melanesia. Orang Flores, misalnya, jarang atau bahkan tidak pernah menyebut dirinya Melanesia. Orang Ambon lebih menekankan sejarah kolonial, ikatan komunitas, dan identitas lokal yang khas, bukan identitas rasial yang dibentuk oleh negara.

Di sinilah kontradiksi narasi Indonesia terlihat. Negara sering menggunakan istilah ‘jutaan Melanesia’ untuk membenarkan kehadirannya dalam forum Pasifik Selatan seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), baik dalam konteks pembangunan, diplomasi regional, maupun kebijakan integrasi politik.

Klaim ini seakan menjadi alat legitimasi: dengan menekankan jumlah penduduk Melanesia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia, negara menegaskan posisi dominannya dan menutup ruang bagi aspirasi politik atau pengakuan identitas yang berbeda. Bagi banyak orang Papua, keterlibatan Indonesia di Melanesia lebih tepat dilihat sebagai intervensi, bukan kemitraan.


Indonesia di MSG versus Realitas Papua

Dalam konteks Melanesian Spearhead Group (MSG), peran Indonesia menjadi semakin problematis. 

MSG dibentuk pada 1986 untuk memperkuat solidaritas Melanesia, menghormati hak politik, dan memberi suara bagi komunitas yang terpinggirkan.

Indonesia, melalui klaim sebagai rumah bagi “15 juta orang Melanesia,” mencoba menempatkan diri sebagai bagian dari kelompok ini, tetapi perspektif Papua menunjukkan ketegangan yang mendasar. 

Di satu sisi, Indonesia mengklaim keanggotaan dan peran sebagai negara Melanesia; di sisi lain, rakyat Papua—yang seharusnya menjadi representasi nyata Melanesia—tidak memiliki suara penuh dalam kebijakan negara yang mengatur mereka. 

MSG memperlihatkan paradoks ini: pengakuan identitas Melanesia ada di tingkat regional, tetapi di tingkat nasional, Indonesia terus mengontrol dan membatasi ekspresi identitas Papua.


Jutaan Melanesia dan Politik Dominasi Indonesia

Secara umum, orang Papua memandang peran Indonesia di Melanesia sebagai upaya terselubung untuk mengatur dan mendominasi. Narasi tentang “jutaan Melanesia” dipakai sebagai alat politik untuk menegaskan kontrol, sementara realitas sosial dan kultural di lapangan sering diabaikan.

Keberagaman identitas Melanesia—Papua, Maluku, Flores—tidak bisa disamaratakan, sehingga klaim Indonesia atas seluruh wilayah ini menjadi topeng legitimasi yang menutupi marginalisasi dan dominasi struktural.

Dengan demikian, peran Indonesia di Melanesia sebaiknya dibaca bukan sebagai pengayom, melainkan sebagai aktor yang berupaya mengelola, mengontrol, dan menentukan arah politik serta identitas masyarakat Melanesia sesuai kepentingan negara.

Comments