Persatuan Bukan Persatean

Persatuan Bukan Persatean 

Himbauan Introspeksi Nasionalisme Indonesia dalam Memandang Papua


Nasionalisme Indonesia kerap dipahami sebagai kesetiaan mutlak kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Dalam wacana publik, membela keutuhan wilayah sering dianggap sebagai ukuran utama kecintaan pada bangsa. Namun di balik slogan dan simbol, ada pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara jujur: 


Nasionalisme dan Pertanyaan yang Tak Nyaman

Apakah cara kita memandang Papua sungguh sejalan dengan nilai-nilai yang kita agungkan sebagai dasar bernegara, yakni Pancasila dan UUD 1945? 

Pertanyaan ini tidak nyaman, tetapi di sanalah letak kedewasaan nasionalisme diuji.

Nasionalisme yang dewasa seharusnya bukan sekadar kesetiaan pada batas teritorial, melainkan kesetiaan pada nilai. 

Ketika nasionalisme berhenti pada pembelaan simbol negara, tetapi mengabaikan penderitaan warga negara tertentu, ia kehilangan ruh etiknya. Cinta tanah air yang menutup mata terhadap luka sesama anak bangsa bukanlah cinta, melainkan penyangkalan.


Papua dan Akar Historis “Wilayah Bermasalah”

Papua sering hadir dalam imajinasi nasional bukan sebagai rumah bagi manusia yang bermartabat, melainkan sebagai “wilayah yang bermasalah”. 

Cara pandang ini dibentuk oleh sejarah politik yang sejak awal menempatkan Papua dalam kerangka konflik dan keamanan. Sejak Trikora 1961, Papua diposisikan sebagai medan perebutan kedaulatan, bukan ruang dialog dengan penduduknya. Narasi pembebasan dan integrasi berjalan beriringan dengan logika militer, yang kemudian diwariskan dalam cara negara memandang Papua.

Pola tersebut dilembagakan melalui Pepera 1969, yang secara hukum dijadikan dasar integrasi, tetapi secara sosial meninggalkan luka dan rasa tidak didengar di kalangan orang Papua. Sejak itu, ketidakpuasan dan kritik sering dibaca sebagai ancaman, bukan sebagai ekspresi warga negara. Operasi militer yang berulang hingga hari ini pun memperkuat citra Papua sebagai “daerah rawan”, sehingga penderitaan sipil dinormalisasi. Dalam kerangka inilah Papua terus direduksi menjadi masalah keamanan, bukan komunitas manusia yang menuntut keadilan dan pengakuan martabat.

Bahasa keamanan, stabilitas, dan ancaman kerap mendominasi cara kita membicarakannya. Perlahan namun pasti, orang Papua direduksi dari subjek warga negara menjadi objek kebijakan. Mereka dibicarakan, diatur, dan diamankan, tetapi jarang sungguh-sungguh didengarkan.

Dalam kerangka ini, kekerasan struktural, pengungsian warga sipil, dan pembatasan ruang demokrasi kerap dinormalisasi sebagai konsekuensi yang tak terelakkan demi persatuan. Namun di titik inilah nasionalisme perlu berinstrospeksi:

Apakah persatuan yang dibangun di atas rasa takut dan ketimpangan masih layak disebut persatuan?


Persatuan yang Kehilangan Makna

Semboyan persatuan sering diulang, tetapi maknanya jarang direnungkan. Persatuan sejati tidak lahir dari pemaksaan keseragaman. Ketika perbedaan dipandang sebagai ancaman dan suara kritis dicurigai sebagai pengkhianatan, persatuan berubah menjadi alat penindasan yang halus namun nyata. Di sinilah ungkapan “persatuan bukan persatean” menemukan relevansinya.

Persatean adalah proses menusuk dan menyeragamkan. Semua unsur harus tunduk pada satu tusuk sate, meski harus melukai diri mereka sendiri. Persatuan yang sehat justru menghormati keberbedaan, mengakui sejarah yang kompleks, dan memberi ruang bagi luka untuk diungkapkan. Tanpa itu, persatuan hanya menjadi slogan kosong yang menutupi ketidakadilan.


Konstitusi dan Nurani Kolektif

UUD 1945 bukan sekadar dokumen hukum, melainkan janji moral negara kepada rakyatnya. Ia berbicara tentang perlindungan terhadap segenap bangsa, tentang kemanusiaan, dan tentang keadilan sosial. Ketika penderitaan warga Papua dipinggirkan atau disangkal, pertanyaannya bukan lagi politis semata, melainkan konstitusional dan etis.

Demikian pula Pancasila, yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan sebagai fondasi persatuan. Jika kemanusiaan dikorbankan demi stabilitas, dan keadilan ditunda tanpa batas demi keutuhan wilayah, maka yang dikhianati bukan Papua, melainkan nilai-nilai dasar bangsa itu sendiri.


Nasionalisme yang Berani Bercermin

Nasionalisme yang matang tidak selalu merasa benar. Ia berani mengakui bahwa negara bisa keliru, bahwa kebijakan bisa melukai, dan bahwa sejarah menyimpan trauma yang belum sembuh. Mengakui penderitaan orang Papua bukanlah tindakan anti-NKRI, melainkan wujud kesetiaan yang lebih dalam kepada cita-cita Indonesia itu sendiri.

Introspeksi ini menuntut keberanian moral. Ia meminta kita bertanya bukan hanya “bagaimana mempertahankan Papua”, tetapi juga “bagaimana menjadi adil bagi Papua”. Tanpa pertanyaan kedua, pertanyaan pertama kehilangan legitimasi etiknya.


Mengembalikan Persatuan pada Martabat

Tulisan ini adalah ajakan untuk membuka hati dan mulai mendengarkan dengan empati. 

Jika nasionalisme Indonesia sungguh berakar pada Pancasila dan UUD 1945, maka ia harus sanggup berdiri di pihak kemanusiaan, bahkan ketika itu menantang kenyamanan mayoritas.

Persatuan tidak pernah dimaksudkan sebagai persatean. Ia adalah perjumpaan setara antara manusia-manusia yang diakui martabatnya.

Tanpa keadilan dan kemanusiaan, persatuan hanyalah kata. Dengan keduanya, persatuan menjadi harapan.

Comments