Persepsi Global dan Lokal terhadap Papua
Papua dalam Mata Dunia
Suara dari Warga Biasa, Diaspora, dan Orang Asing
Di sebuah jalan sempit di Jakarta, seorang tukang ojek duduk santai di kedai kopi langganannya. Obrolan kami mengalir biasa saja, sampai ia bercerita bahwa ia tinggal tak jauh dari sebuah asrama mahasiswa Papua.
“Mereka itu selalu berusaha bertahan hidup,” katanya pelan. “Tapi susah. Banyak yang diperlakukan tidak adil, dan jarang sekali ada yang mau dengar cerita mereka.”
Kepeduliannya terasa tulus. Ia bukan aktivis, namun ia peduli karena menyaksikan sendiri keseharian orang Papua di sekitarnya. Kisah sederhana ini mengingatkan satu hal penting: empati sering lahir bukan dari bacaan atau media sosial, melainkan dari kedekatan manusiawi.
Berangkat dari kegelisahan itu, saya melakukan survei kecil terhadap 20 orang dari latar belakang yang berbeda: warga Indonesia di dalam negeri, diaspora Indonesia, warga asing yang sama sekali tidak mengenal Indonesia, dan warga asing yang sudah mengenalnya.
Hasilnya memperlihatkan wajah kepedulian yang beragam—mulai dari empati yang kuat hingga ketidakpedulian yang jujur.
Warga Asing yang Tidak Mengenal Indonesia: Peduli, Tapi Terhambat Ketidaktahuan
Dua responden di kelompok ini menjawab dengan datar.
“Saya tidak tahu apa itu Papua,” kata salah satu dari mereka, seorang pekerja kelas menengah ke bawah. “Dan terus terang, saya tidak terlalu peduli. Dunia ini penuh masalah yang lebih dekat dengan hidup saya.”
Namun, respons berbeda datang dari tiga orang lainnya. Mereka justru menunjukkan empati, meski bercampur kebingungan.
“Saya kaget mendengar situasinya,” ujar seorang responden. “Tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana. Rasanya kemampuan saya terlalu kecil untuk membantu.”
Ketidaktahuan, ditambah perasaan tidak berdaya, membuat empati mereka berhenti di dalam hati. Ada kepedulian, tetapi tidak menemukan jalan untuk menjadi tindakan.
Warga Asing yang Mengenal Indonesia: Peduli, Tapi Tersandera Kapasitas
Kelompok ini menunjukkan dinamika yang lebih kompleks. Dua responden menyatakan keinginan untuk berbuat sesuatu, meski dari jauh. Mereka menyebut hal-hal sederhana: membagikan artikel, menyebarkan informasi, atau mendukung kampanye advokasi.
“Saya tidak bisa hadir di sana,” kata salah satu dari mereka, “tapi saya bisa memastikan orang lain tahu apa yang terjadi.”
Dua responden lainnya merasa prihatin, namun memilih tetap pasif.
“Saya peduli, tapi saya ragu apakah tindakan saya akan berdampak apa-apa.”
Satu responden, seorang pebisnis kelas atas, memilih untuk tidak peduli sama sekali. Alasannya sederhana dan jujur: pragmatisme. Temuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan memang bisa menumbuhkan empati, tetapi kepentingan pribadi dan posisi sosial sering kali menentukan sejauh mana seseorang mau bergerak.
Diaspora Indonesia; Di Antara Moral dan Realitas
Para diaspora Indonesia membawa refleksi yang berat. Dari lima responden, tiga menunjukkan kelelahan emosional dan enggan membicarakan Papua. Sementara dua lainnya masih menunjukkan kepedulian, meski dengan keterbatasan yang jelas.
“Saya peduli,” kata seorang diaspora yang aktif di komunitas HAM, “tapi dari jauh rasanya hampir tidak ada yang bisa saya lakukan.”
Salah satu responden lainnya, mantan istri seorang perwira tinggi militer yang pernah memiliki kedekatan dengan elite Orde Baru dan kini telah melepas kewarganegaraan Indonesia, berbicara terus terang:
“Saya ingin Papua merdeka, tapi saya enggan terlibat langsung. Saya tidak mau membahayakan keluarga yang masih tinggal di Indonesia.”
Para diaspora ini menunjukkan kepedulian yang berhenti di batas aman—dibentuk oleh jarak, pengalaman hidup, dan rasa takut yang belum sepenuhnya hilang.
Warga Indonesia di Dalam Negeri: Peduli, Tapi Dibatasi Rasa Takut
Kelima responden warga Indonesia yang tinggal di tanah air menyatakan hal serupa: mereka tahu ada pelanggaran HAM di Papua, dan mereka merasa prihatin. Namun, hampir semuanya menahan diri untuk tidak bertindak lebih jauh.
“Saya ingin membantu,” kata seorang guru, “tapi saya tidak mau sampai berurusan dengan aparat.”
Sosok yang paling menonjol justru kembali pada tukang ojek tadi. Tanpa jargon, tanpa teori, ia menunjukkan empati paling konsisten karena relasi sehari-hari yang nyata. Ada pula seorang dosen di sekolah Kristen yang sesekali menyuarakan isu Papua di forum daring, meski perspektifnya masih terbatas pada solidaritas sesama minoritas Kristen.
Di dalam negeri, risiko politik dan sosial menjadi tembok besar. Kepedulian ada, tetapi keberanian untuk bertindak sering kali dibungkam oleh ketakutan.
Pelajaran dari Suara-Suara Ini
Dari semua percakapan ini, satu pola menjadi jelas: kepedulian terhadap Papua ditentukan oleh tiga hal utama—pengetahuan, kapasitas untuk bertindak, dan kedekatan personal.
Empati tidak otomatis berubah menjadi aksi. Faktor sosial, ekonomi, dan politik sering menentukan apakah seseorang bergerak atau memilih diam.
Bagi para aktivis Papua, ini adalah pelajaran penting. Narasi yang menyentuh pengalaman manusia, edukasi publik yang mudah dipahami, serta bentuk aksi yang realistis dan aman, dapat membuka ruang partisipasi yang lebih luas.
Rekomendasi Praktis
- Gunakan narasi personal. Cerita langsung dari orang Papua jauh lebih kuat daripada angka dan statistik.
- Perluas edukasi global. Warga asing dan diaspora bisa menjadi sekutu jika diberi informasi yang jelas dan cara konkret untuk terlibat.
- Ciptakan ruang aman. Di dalam negeri, aksi non-konfrontatif dan komunitas daring bisa menjadi pintu masuk.
- Libatkan diaspora secara strategis. Jaringan dan sumber daya mereka tetap berharga, meski dari jauh.
- Sesuaikan dengan kapasitas individu. Tidak semua orang bisa turun ke jalan, tapi semua orang bisa berkontribusi dengan caranya masing-masing.
Pada akhirnya, Papua bukan hanya soal politik atau konflik bersenjata. Papua adalah soal bagaimana manusia merespons ketidakadilan.
Dari tukang ojek di Jakarta hingga warga asing di belahan dunia lain, kepedulian lahir dari pengalaman, pengetahuan, dan keberanian moral—sekecil apa pun bentuknya.


Comments
Post a Comment