Perjalanan Panjang Menuju Rumah: Eksodus Papua Menuju Kemerdekaan
Selama lebih dari enam puluh tahun, rakyat Papua Barat telah menapaki padang gurun penderitaan. Perjalanan mereka menuju kemerdekaan bukan sekadar perjuangan politik—ini adalah ziarah spiritual.
Perjalanan panjang ini mengingatkan kita pada kisah bangsa Israel—suatu bangsa yang dulunya diperbudak, mengembara selama empat puluh tahun di padang gurun demi mencapai tanah yang dijanjikan.
Menyusuri Padang Gurun
Bangsa Israel tidak dibebaskan dari Mesir karena kekuatan mereka sendiri. Tuhanlah yang mendengar rintihan mereka. Tuhan yang melihat air mata mereka. “Aku telah melihat dengan jelas kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir,” demikian firman Tuhan dalam Keluaran 3:7. “Aku telah mendengar teriakan mereka oleh karena para pengerah mereka. Ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.”
Perjalanan mereka menuju kemerdekaan tidak lurus. Mereka melewati padang tandus dan medan perang, kelaparan dan kejatuhan, keluh kesah dan penyembahan berhala. Namun Allah tetap setia. Ketika mereka terjepit antara laut dan tentara Firaun, Allah melakukan yang mustahil—Ia membelah Laut Merah dan membuka jalan di tengah ketidakmungkinan.
Gambaran penyelamatan ilahi ini telah menjadi pelita bagi bangsa-bangsa tertindas sepanjang sejarah. Budak-budak Afrika di Amerika menyanyikannya di ladang kapas. Bangsa Yahudi mengingatnya dalam pengasingan dan di bawah penindasan Romawi. Bahkan di kamp konsentrasi Nazi, lagu-lagu pengharapan belum sepenuhnya padam. Dan kini, di pegunungan dan hutan Papua, kisah kuno ini hidup kembali.
Enam Puluh Tahun dalam Bayang-Bayang
Sejak tahun 1963, Papua Barat hidup di bawah penjajahan asing. Rakyatnya, berkulit gelap dan Melanesia, diperlakukan sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri. Mereka disebut “separatis” hanya karena menuntut martabat, hak menentukan nasib sendiri, dan kedamaian.
Pegunungan menjadi saksi pembantaian. Sungai-sungai membawa duka yang tak bersuara. Hutan-hutan bergema dengan tangisan anak-anak yang bersembunyi dari tentara. Namun, seperti Israel, rakyat Papua tidak menyerah.
Mereka bernyanyi. Mereka berdoa. Mereka berbaris dalam aksi damai dengan kaki telanjang. Mereka membawa Bintang Kejora seperti Israel membawa Tabut Perjanjian—tersembunyi, suci, dan penuh keberanian. Mereka mengenang para leluhur yang pernah hidup merdeka sebelum Jakarta mengirim tank dan pesawatnya.
Mereka bukan bangsa sempurna. Seperti Israel, mereka pernah tersesat. Mereka terpecah. Mereka mengeluh dan mencari jalan sendiri. Tapi Allah yang membebaskan budak-budak dari Mesir tidak memilih karena kebaikan, melainkan karena penderitaan.
Di Hadapan Laut Merah
Hari ini, Papua berdiri di tepi Laut Merahnya sendiri. Jalan ke depan terasa buntu—ditutup oleh kekuasaan politik, militerisasi, dan diamnya dunia.
Gereja hanya berbicara setengah hati. Negara-negara besar menutup mata. Rezim Indonesia melanjutkan operasinya—berkedok pembangunan, namun berlumuran kekerasan. Dan Laut Merah itu belum terbuka. Tapi kisah ini belum selesai.
Tuhan tidak pernah tergesa. Waktu-Nya diukur dalam generasi, bukan dalam berita harian. Ia membiarkan Israel mengembara bukan karena Ia lupa, tapi karena Ia sedang mempersiapkan mereka. Membentuk iman mereka. Mengajarkan kepercayaan.
Kita yang berjalan bersama rakyat Papua tidak boleh kehilangan pengharapan. Laut itu mungkin belum terbelah hari ini—tetapi akan terbelah. Bukan semata karena diplomasi atau pengadilan internasional. Tapi karena kuasa yang sama yang membebaskan budak dari Mesir, yang menghancurkan kekaisaran, dan yang membangkitkan Kristus dari kematian.
Suatu hari nanti, saat dunia tak menduga, Bintang Kejora akan berkibar di atas tanah yang merdeka, dan air akan terbelah.
Iman di Padang Gurun
Sampai hari itu tiba, kita harus terus berjalan. Kita harus terus menceritakan kisah Papua kepada dunia yang lebih memilih diam. Kita harus memegang teguh harapan bahwa keadilan bukan ilusi, bahwa belas kasih bukan kelemahan, bahwa Tuhan Eksodus masih mendengar jeritan orang tertindas.
Perjalanan ini panjang. Jalannya menyakitkan. Tapi seperti halnya Israel, Papua tidak berjalan sendiri.
“Dia membawa mereka keluar dari kegelapan dan bayang-bayang maut, dan mematahkan belenggu mereka.” — Mazmur 107:14
Belenggu itu akan hancur. Laut itu akan terbelah. Dan tanah kemerdekaan tidak lagi menjadi impian—tetapi kepulangan.
Comments
Post a Comment