Papua Tanah Damai (Katanya)
![]() |
Aksi pemuda Papua di Jakarta, 1 Desember 2024. Foto: Ambrosius Mulait. |
1 Desember 2024, pemuda-pemuda Papua turun ke jalan Jakarta.
Bukan buat cari diskon Harbolnas atau rebutan promo ojek online, tapi buat satu hal sederhana yang entah kenapa selalu bikin Jakarta sesak napas: menyuarakan harga diri dan kemerdekaan.
Sementara itu, di ruang-ruang ber-AC penuh spanduk "Toleransi dan Kerukunan", Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kembali menggaungkan mantra andalan mereka: “Papua Tanah Damai”.
Mantra ini sudah didengungkan sejak awal 2000-an. Dan hasilnya? Luar biasa! Konflik makin parah, kekerasan makin brutal, dan rakyat makin... bingung. Mungkin ini semacam "damai versi 4.0"—tenang di brosur, berdarah di lapangan.
Papua Tanah Damai? Damai buat siapa?
Pemerintah ingin damai? Iya, damai versi "semua yang teriak merdeka dianggap musuh negara". Gerakan Papua Merdeka juga mau damai, tapi versinya adalah "Indonesia keluar dari tanah ini, lalu kita damai-damai saja di rumah sendiri". Sementara agama—ah, agama—datang dengan niat mulia: perdamaian universal, tapi sayangnya, diikat oleh sponsor utama... negara.
Agama netral? Benarkah?
Bagaimana mau netral kalau semua ormas keagamaan sudah dirangkul negara dengan pelukan yang begitu erat, sampai-sampai sulit bernapas sendiri? Katanya penengah, tapi kadang lebih sibuk jadi penyambung lidah negara. Lebih sering mengucapkan “Amin” menerima kebijakan, daripada “Tolak!” melawan penindasan.
Ibarat wasit di pertandingan bola yang juga ikut main, ya gimana bisa adil?
Apa yang seharusnya dilakukan agama di Papua?
Agama-agama di Papua seharusnya jadi penyejuk. Bukan pendingin ruangan buat elite, tapi air segar buat mereka yang kehausan keadilan. Khususnya Gereja—yang banyak umatnya di Papua—harus sadar posisi: kalian bukan Humas Negara Republik Indonesia, kalian pelayan Injil. Itu loh, ajaran Yesus yang bela orang lemah, bukan bela proyek tambang atau seremonial belaka.
Cukuplah jadi Gereja yang suka "mendoakan perdamaian" dari mimbar, lalu pulang naik mobil ke perjamuan kenegaraan. Coba turun dan dengar jeritan orang Papua yang kehilangan tanah, hutan, dan harapan.
Damai sejati tidak datang dari slogan. Apalagi slogan yang dicetak tebal di spanduk FKUB yang lebih sering hadir di hotel daripada di hutan Papua.
Jadi, sekali lagi: Papua Tanah Damai?
Iya. Tapi tolong, jangan definisikan “damai” seperti mensterilkan ruang tunggu bandara: bersih, wangi, tapi penuh penjaga bersenjata.
Kalau agama-agama di Papua mau relevan, maka saatnya mereka berdiri di tengah rakyat, bukan di balik podium pemerintah. Jangan takut dibilang subversif—Yesus juga dulu disalib karena dianggap makar.
Dan yang paling penting:
Damai bukan berarti diam.
Diam bukan berarti netral.
Dan netral dalam penindasan, artinya berpihak pada penindas.
Comments
Post a Comment