Agama untuk perdamaian di Papua?
![]() |
Aksi pemuda Papua di Jakarta, 1 Desember 2024. Foto: Ambrosius Mulait. |
Menghadapi konflik dan kekerasan yang tak kunjung usai di Papua, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berupaya memediasi dialog damai.
Sejak awal tahun 2000-an, FKUB tak henti-hentinya menyerukan "Papua Tanah Damai". Namun, mengapa konflik di Papua makin hari makin parah? Mengapa seruan-seruan ini terkesan sia-sia? Apa sebenarnya arti "Papua Tanah Damai"?
Untuk lebih memahami isu ini, Chris Dogopia, alumni Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, yang kini menjabat sebagai Wakil Sekretaris United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) memberikan pandangannya.
Apa yang dimaksud Papua sebagai tanah damai?
Semua orang menginginkan Papua damai, tetapi tidak semua orang memiliki visi damai yang sama. Pemerintah Indonesia menginginkan perdamaian dengan membasmi semua kelompok separatis Papua. Gerakan kemerdekaan Papua menginginkan perdamaian dengan mengusir rezim Indonesia. Sementara organisasi keagamaan, khususnya Gereja, ingin mengakhiri konflik melalui konsensus bersama.
Apakah ormas keagamaan bisa menjadi penengah konflik Papua?
Dari tiga visi yang disebutkan sebelumnya, visi yang terakhir tampaknya yang paling adil. Namun pertanyaannya sekarang adalah: sejauh mana ormas keagamaan bisa menjaga netralitasnya, sementara faktanya semua agama di Indonesia berada di bawah pengawasan negara? Dengan kata lain: bagaimana mungkin agama menyerukan perdamaian, sementara mereka sendiri terlibat dalam melanggengkan konflik di Papua?
Secara teoritis, agama memang bisa berperan sebagai penengah. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, hal itu mustahil: agama dikooptasi oleh kepentingan. Masing-masing lebih mengutamakan pamrih institusinya daripada kebaikan bersama.
Apa yang seharusnya dilakukan agama untuk Papua?
Kristen (Katolik dan Protestan), Islam, Buddha, Hindu, dan Konghucu di Papua seharusnya memberikan secercah harapan untuk perdamaian. Umat Kristen, yang masih menjadi mayoritas di wilayah tersebut, harus menjadi yang pertama bersuara.
Gereja, khususnya Gereja Katolik di Papua perlu menyadari bahwa mereka bukanlah pelayan Pemerintah Indonesia. Mereka tidak perlu mengartikulasikan kebijakan pemerintah dalam karya misi pastoralnya. Mereka harus mengakui tempat di mana mereka berdiri dan membela hak-hak Masyarakat Adat setempat.
Singkatnya, semua agama harus berkolaborasi untuk menciptakan masyarakat Papua yang lebih damai dan adil.
Comments
Post a Comment