NKRI Gagal Total di Papua, Tapi Terlalu Sombong untuk Mundur


Tanggal 30 April 1975, dunia menyaksikan satu pemandangan yang tak akan pernah terlupakan:

 Helikopter-helikopter terakhir Amerika terbang dari atap Kedutaan Besar di Saigon, membawa lari tentara dan diplomat mereka. 

Negara adikuasa dengan senjata tercanggih di dunia—kalah. Bukan oleh kekuatan besar, tapi oleh rakyat Vietnam yang bersenjata semangat dan tekad kemerdekaan. Sekarang, lima dekade kemudian, kita melihat bayang-bayang Vietnam di Timur Indonesia: Papua. Bedanya? Amerika tahu kapan saatnya berhenti. NKRI tidak.


Mengapa NKRI terus bertahan di Papua?

Bukan karena cinta tanah air. Bukan karena rakyat Papua menginginkan mereka. Tapi karena tanah Papua menyimpan emas, tembaga, dan kekayaan tak terhitung yang jadi pelumas kekuasaan Jakarta.

Papua bukan wilayah—ia adalah tambang hidup. Dan selama perut Jakarta masih lapar, bom, peluru, dan drone akan terus dikirim ke sana, bukan demi bangsa, tapi demi uang.


Vietnam punya Vietcong. Papua punya TPNPB.

Sudah lebih dari 60 tahun TPNPB (Tentara Pembebasan Papua Barat) melawan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. Dengan senjata seadanya dan tanpa dukungan negara adidaya, mereka bertahan di gunung, di hutan, di lembah—membuat tentara Indonesia frustrasi, kalah medan, dan kehilangan arah.

Taktik gerilya mereka berhasil menjatuhkan drone, membakar pos militer, bahkan menjatuhkan helikopter tempur. Di medan perang yang asing bagi tentara dari Jawa, TPNPB bukan pengecut—mereka adalah mimpi buruk yang terus menghantui barak militer Indonesia.


TNI-POLRI tak lebih baik dari tentara AS di Vietnam. Bahkan lebih buruk.

Bedanya, kekejaman mereka tidak disorot CNN atau BBC. Wartawan asing dilarang. Aktivis dibungkam. Yang menolak tunduk, dibunuh atau dicap separatis.

Ribuan nyawa melayang. Desa-desa dibakar. Anak-anak mati dalam pengungsian. Dan dunia diam.

Kenapa? Karena korporasi asing yang mengeruk emas Papua ikut menjaga rahasia. Karena Jakarta tahu: selama tak ada kamera, tak akan ada kebenaran.


Pertarungan masih imbang. Tapi waktu tidak di pihak Jakarta.

Apa yang tak dipahami oleh elite Jakarta adalah satu hal sederhana: sebuah bangsa tak bisa dibungkam selamanya.

Papua tidak akan menyerah, bahkan jika separuh penduduknya telah diganti dengan orang luar.

Papua tidak akan hilang, bahkan jika seluruh dunia menutup mata. Dan Jakarta tahu ini. Papua adalah Vietnam-nya NKRI. Dan seperti di Vietnam, mereka tak akan menang.

Mereka bisa membakar desa. Mereka bisa menggelar propaganda. Tapi mereka tidak bisa memadamkan satu hal: hasrat untuk merdeka.

Pertanyaannya sekarang: Berapa banyak lagi yang harus mati sebelum NKRI akhirnya mengaku kalah?

Comments