Genosida yang Didiamkan: Ketika Kemanusiaan Dikubur dalam Politik dan Kepentingan

Eleanor Roosevelt sedang memegang poster Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. (Sumber: Wikipedia)
Pada 10 Desember 1948, dunia berdiri sejenak untuk mendengarkan suara nurani bersama. Lewat Eleanor Roosevelt dan para perumus lainnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dilahirkan sebagai janji suci umat manusia: 

Setiap orang, di mana pun ia dilahirkan, memiliki hak untuk hidup, untuk merdeka, dan untuk dijaga martabatnya. Namun tujuh dekade kemudian, dunia justru menyaksikan betapa janji itu hancur di hadapan genosida yang direkam secara langsung—dan tetap didiamkan.

Apa yang terjadi di Gaza bukan hanya tragedi. Ia adalah skandal moral global. Kita menyaksikan—melalui layar ponsel, televisi, bahkan laporan lembaga internasional—penghancuran sistematis terhadap dua juta jiwa yang terkepung, kelaparan, dan ditolak haknya untuk bertahan hidup. Genosida ini bukan lagi isapan jempol, melainkan statistik berdarah: puluhan ribu anak, perempuan, dan lansia tewas karena bom, peluru, dan kini, kelaparan. Yang lebih menyakitkan? Dunia tahu. Dan dunia diam.

Namun Gaza bukan satu-satunya luka yang menganga di tubuh umat manusia. Di bagian lain dunia yang nyaris tak terdengar—Papua Barat—sebuah bangsa pun perlahan-lahan dihancurkan dalam senyap. Di wilayah kaya emas, tembaga, dan hutan hujan purba itu, orang Papua tak hanya kehilangan tanah leluhur, tetapi juga identitas, hak hidup, dan tempat di mata dunia.

Sejak 1963, Papua Barat hidup dalam cengkeraman kekuasaan Jakarta. Puluhan ribu orang terbunuh, ribuan lainnya mengungsi di pedalaman dan melintasi perbatasan ke Papua Nugini. Sementara itu, operasi militer terus berlangsung, desa-desa dibakar, dan anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang trauma. Dunia internasional memilih bungkam. Media arus utama seolah menyepakati narasi bahwa Papua adalah bagian sah dari Indonesia, tanpa pernah menggali kebenaran sejarah yang mengungkap "Act of Free Choice" sebagai manipulasi yang disahkan oleh kekuatan imperialis.

Apa yang terjadi di Papua adalah pemusnahan lambat. Genosida berdurasi panjang. Tidak selalu dengan senjata, tapi juga dengan penghapusan budaya, diskriminasi sistematis, dan eksploitasi brutal terhadap alam yang menjadi jantung hidup mereka. Dan ironisnya, dunia hanya peduli sejauh kepentingannya terganggu.

Maka pertanyaan mendesak yang harus kita ajukan adalah ini: Berapa lama lagi dunia akan terus memproduksi kematian dan menyebutnya "stabilitas"?

Sudah jelas: negara dan institusi formal tak bisa diandalkan. PBB lumpuh oleh veto politik. Negara-negara besar membiarkan tragedi terus berlangsung demi aliansi militer, perdagangan senjata, atau kontrak tambang. Maka harapan, kini, harus dipindahkan. Dari atas ke bawah. Dari negara ke masyarakat sipil global.

Kita membutuhkan gerakan baru. Sebuah gelombang kesadaran kolektif, terkoordinasi lintas bangsa, iman, dan identitas. Sebuah solidaritas yang tak hanya marah di media sosial, tetapi bergerak di jalanan, di ruang kelas, di ruang doa, dan di ruang-ruang pengambilan keputusan alternatif. Karena perubahan tak akan datang dari mereka yang punya kuasa untuk mempertahankan status quo. Perubahan hanya akan datang dari mereka yang tak tahan lagi melihat ketidakadilan menang.

Mengakhiri genosida bukan sekadar tentang mendorong resolusi PBB atau sanksi ekonomi. Ini soal membangun budaya tanpa kekerasan yang dimulai dari diri kita sendiri. Dari keberanian untuk menyebut penindasan sebagai penindasan, dan untuk berdiri bersama mereka yang ditindas, meski dunia menyuruh kita diam.

Eleanor Roosevelt pernah berkata, "Di mana pun hak asasi manusia ditolak, itu adalah ancaman bagi semua orang." Kini, Gaza dan Papua adalah cermin bagi kemanusiaan kita. Pertanyaannya: apakah kita masih punya keberanian untuk menatapnya?

Comments