Papua Barat: Neraka yang Dibungkam NKRI
![]() |
Aksi Pemuda Papua dan Solidaritas Indonesia di Jakarta, 1 Desember 2024. Foto: Ambrosius Mulait. |
NKRI suka tampil gagah di panggung internasional, mengutuk pelanggaran HAM di negeri-negeri jauh.
Dari Gaza hingga Rohingya, pemerintah kita tak pernah ketinggalan memberi kuliah moral tentang kemanusiaan. Tapi mari kita tanyakan satu hal mendasar: di mana suara itu ketika pelanggaran terjadi di tanahnya sendiri—di Papua Barat?
Laporan Simon-Skjodt Center for the Prevention of Genocide tahun 2022 menempatkan Indonesia di posisi ke-27 negara paling berisiko mengalami kekejaman massal. Tapi bagi rakyat Papua, ini bukan soal risiko—ini sudah menjadi realitas hidup selama lebih dari enam dekade.
Sejak NKRI menganeksasi Papua Barat tahun 1963, kematian menjadi keseharian yang disamarkan sebagai "penegakan hukum" dan "operasi keamanan". Berikut angka-angka yang coba dikubur dalam sunyi:
- 100.000 jiwa: Temuan Yale University Human Rights Clinic (2003), menyebut tindakan ini sebagai genosida.
- 300.000 jiwa: Perkiraan Dr. Kees Lagerberg berdasarkan anomali statistik populasi Papua.
- 500.000 jiwa: Angka yang dikutip terus-menerus oleh Benny Wenda (ULMWP).
- 600.000 jiwa: Pernyataan Tom Beanal, Ketua Presidium Dewan Papua.
- 1.500.000 jiwa: Estimasi tertinggi dari Jakobus E. Dumupa dalam 'Hunting for Justice' (2006).
Dengan populasi asli Papua yang hanya sekitar 1 juta pada era 1980-an, itu berarti NKRI telah menghapus hingga 30% atau lebih dari satu generasi orang Papua. Dan semuanya dilakukan di bawah bayang-bayang Garuda.
Tak ada transparansi. Tak ada keadilan. Tak ada pertanggungjawaban. Jurnalis dilarang masuk. LSM dibatasi. Rakyat dibungkam. Negara membangun tembok sunyi dan menyebutnya “kedaulatan NKRI”.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat Indonesia sibuk mencaci Israel—mengutuk penjajahan, mengecam genosida. Tapi saat aparat NKRI menembaki warga sipil Papua, membakar rumah dan memaksa ribuan warga mengungsi di pegunungan, mulut kita terkunci rapat.
NKRI gemar memainkan narasi anti-kolonial, sembari melanggengkan kolonialisme internal yang lebih panjang, lebih brutal, dan lebih disangkal. Ironi ini bukan lagi sekadar munafik—ini adalah dosa kolektif yang dibungkus nasionalisme murahan. Pertanyaannya:
- Sampai kapan dunia membiarkan tragedi ini terus terjadi?
- Sampai kapan elit agama, intelektual, dan aktivis moral kita hanya peduli pada Palestina, tapi membisu soal Papua?
- Dan kapan rakyat Indonesia sendiri akan berhenti menutup mata terhadap darah yang mengalir di wilayahnya sendiri?
Jika diam adalah emas, maka Indonesia telah membangun istana keheningan di atas kuburan massal Papua. Dan kita semua, tanpa terkecuali, adalah bagian dari konspirasi sunyi ini.
Comments
Post a Comment