Kebohongan sejarah Indonesia tentang Papua
Aksi pemuda Papua di Jakarta, 1 Desember 2024. Foto: Ambrosius Mulait. |
Sejumlah genosida yang terjadi dalam sejarah mengikuti mekanisme yang sama.
Semuanya menunjukkan bahwa cara paling efektif untuk menghancurkan sebuah bangsa adalah dengan memutarbalikkan sejarahnya.
Saya merasa sedih sekaligus malu ketika menyadari banyaknya narasi palsu yang telah saya telan mentah-mentah saat di bangku sekolah. Fakta-fakta yang saya sajikan di bawah ini hanyalah sebagian dari kebohongan sejarah tentang Papua yang diajarkan lewat kurikulum sekolah. Sayangnya, ini semua masih diceritakan kepada jutaan anak muda di Indonesia:
1. Papua bagian dari Majapahit.
Majapahit adalah sebuah kerajaan di pulau Jawa pada abad pertengahan. Menurut kitab Jawa kuno Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, membentang dari pulau Sumatera hingga Papua. Pada tahun 1930-an, sejumlah nasionalis Indonesia mengklaim Majapahit sebagai cikal bakal Indonesia modern. Namun pada kenyataannya, narasi Negarakertagama diragukan karena kurangnya bukti arkeologi.
Tidak ada relevansinya dengan Papua, karena belum pernah ditemukan prasasti, candi, maupun reruntuhan keraton di sana. Kejayaan Majapahit lebih merupakan legenda daripada kebenaran sejarah. Parahnya, para pemimpin Indonesia yang sebagian besar adalah orang Jawa, secara sadar atau tidak, menggunakan kisah ini untuk membenarkan supremasi mereka.
2. Orang Papua ikut Sumpah Pemuda.
Seluruh warga Indonesia telah diajarkan bahwa negara mereka dibangun atas semangat "Bhinneka Tunggal Ika". Hal ini ditegaskan ketika para wakil pemuda dari beberapa pulau Indonesia yang saat itu dijajah Belanda berkumpul di Jakarta untuk sebuah kongres pada akhir Oktober 1928. Meskipun memiliki perbedaan budaya, mereka bersumpah untuk bersatu sebagai satu bangsa, Indonesia. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Sumpah Pemuda.
Dua orang Papua, Poreu Ohee dan Aitai Karubaba, dikabarkan hadir di sana. Namun, setelah saya telusuri, saya menemukan bahwa mereka adalah utusan Sultan Tidore dari Maluku dan bukan perwakilan pemuda Papua saat itu. Perlu dicatat bahwa dominasi kesultanan Tidore di Papua bukanlah keinginan penduduk asli setempat karena orang Tidore dahulu mengeksploitasi orang Papua sebagai budak. Secara keseluruhan, orang Papua tidak memiliki banyak kesamaan dengan orang Indonesia.
3. Orang Papua berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Setidaknya ada lima orang Papua yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Salah satunya, Frans Kaisiepo, bahkan diabadikan pada uang kertas pecahan 10.000 rupiah. Hal ini memberikan kesan bahwa pemerintah Indonesia sangat menghormati orang Papua. Namun, pada kenyataannya, para pahlawan Papua tersebut tidak memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Mereka hanya memfasilitasi penyatuan Papua ke dalam NKRI.
Sebagian besar orang Papua menganggap Kaisiepo dkk sebagai pengkhianat. Meskipun banyak orang Papua menentang penjajahan Belanda, bukan berarti mereka berjuang untuk Indonesia.
4. Papua bagian sah dari NKRI.
Rezim Jakarta selalu mengklaim bahwa wilayah yang sekarang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah semua bekas jajahan Belanda yang tergabung dalam Hindia Timur. Namun, pada bulan Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia hanya dari pulau Sumatera hingga Maluku. Papua tidak termasuk karena merupakan entitas yang terpisah dari Hindia Belanda (Indonesia) sejak tahun 1910. Tidak seperti Hindia Belanda yang pemerintahannya berpusat di Batavia (sekarang Jakarta), Nugini Belanda (Papua) berada di bawah administrasi Hollandia (sekarang Jayapura).
Perlu diketahui juga bahwa negara Indonesia yang diakui oleh Belanda pada tahun 1949 adalah Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia (RI) hanyalah satu dari beberapa negara bagian yang ada di kepulauan Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950 setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan secara sepihak oleh Presiden Sukarno.
5. Papua dijadikan pangkalan militer Belanda untuk mengganggu NKRI.
Indonesia menganggap kehadiran militer Belanda di Papua hingga awal 1960-an sebagai ancaman terhadap kedaulatannya. Kenyataannya justru sebaliknya: Indonesia membuka beberapa pelabuhannya sebagai pangkalan militer Uni Soviet untuk membantunya melakukan invasi besar-besaran ke Papua. Hampir semua peralatan perang Indonesia saat itu, mulai dari kapal selam hingga pesawat tempur, dipasok oleh negara-negara blok timur. Sekitar 3.000 tentara Uni Soviet siap bertempur dengan seragam Indonesia.
Situasi tegang inilah yang menyebabkan pemerintah AS di bawah John F. Kennedy menekan Belanda untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia pada tahun 1962. AS ingin mencegah Indonesia terlibat lebih jauh dengan blok komunis.
6. Indonesia membebaskan Papua dari kolonialisme Belanda.
Orang Indonesia telah dicuci otaknya untuk mengidolakan presiden pertama mereka, Sukarno. Bagi banyak orang Indonesia, seruan Trikora Bung Karno pada 19 Desember 1961 untuk menggagalkan "Negara Papua buatan Belanda" menunjukan betapa hebatnya dia. Padahal, ini adalah agresi militer yang melanggar hukum internasional dan bahkan konstitusi Indonesia sendiri, yang mengakui hak semua bangsa untuk merdeka. Pernyataan Sukarno yang menyebut Negara Papua Barat yang baru berdiri pada 1 Desember 1961 sebagai boneka Belanda sebenarnya menunjukkan bagaimana dia meremehkan orang Papua, seolah-olah mereka terlalu terbelakang untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Selain itu, penggabungan Papua ke Indonesia tidak sepenuhnya berdasarkan niat baik. Papua yang kaya akan sumber daya alam, sejak awal memang telah dijadikan sapi perah Indonesia. Konsesi pertambangan diberikan kepada perusahaan multinasional AS, Freeport McMoRan, sejak tahun 1967. Ali Moertopo, jenderal besar Indonesia kala itu, mengatakan bahwa orang Papua yang menginginkan kemerdekaan harus dikirim ke bulan. Dengan kata lain: Indonesia membutuhkan sumber daya alam Papua, bukan manusianya.
7. Orang Papua bertekad bulat untuk bergabung dengan NKRI.
Orang Indonesia diyakinkan bahwa referendum 1969, yang dikenal sebagai 'Act of Free Choice' atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah bukti tak terbantahkan dari keinginan orang Papua untuk menjadi bagian dari Indonesia. Kenyataannya, hanya 1.025 dari 800.000 orang Papua yang diikutsertakan. Ini sama sekali bukan referendum yang demokratis. Selain itu, para peserta dilaporkan memberikan suaranya di bawah ancaman dari militer Indonesia.
Pemerintah Indonesia merasa bangga dengan referendum palsu yang tercatat dalam resolusi PBB 2504 tahun 1969, menjadikannya sarana legitimasi aneksasi Papua. Padahal, resolusi ini samasekali tidak berbicara tentang hak kedaulatan Indonesia atas Papua. Sebaliknya, resolusi ini menegaskan kewajiban Indonesia untuk membangun wilayah tersebut. Pertanyaannya, sejauh mana Indonesia telah memenuhi permintaan PBB ini? Ironisnya, alih-alih meningkatkan kondisi kehidupan penduduk asli Papua, dana pembangunan yang dialokasikan oleh Bank Dunia digunakan untuk membiayai para transmigran Indonesia. Saat ini Papua tetap menjadi wilayah termiskin di Indonesia.
Papua Bukan Indonesia
Masih banyak lagi kebohongan sejarah yang belum saya bahas di sini. Namun kiranya sedikit paparan ini dapat dijadikan bahan renungan bagi kita semua. Karena satu hal yang pasti, selama pemerintah Indonesia tidak mau introspeksi dan meluruskan kembali sejarahnya, maka ketidakadilan dan kekerasan terhadap orang Papua akan terus berlanjut. Citra Indonesia pun akan semakin terpuruk di mata dunia.
Pepatah lama menyarankan kita untuk “Sedia payung sebelum hujan”. Oleh karena itu, sebelum kejahatan negara Indonesia di Papua terungkap ke masyarakat luas, pemerintah Indonesia sebaiknya berani jujur mengakui bahwa Papua bukan hak milik mereka. Papua sesungguhnya wilayah yang dicaplok oleh Indonesia untuk kepentingan kapitalisme global. Papua bukanlah suku di Indonesia. Papua adalah bagian dari sebuah bangsa yang besar, bangsa Melanesia!
Comments
Post a Comment