DEKONSTRUKSI NARASI SEJARAH PAPUA DALAM KONSTRUKSI NASIONALISME INDONESIA
![]() |
Aksi pemuda Papua di Jakarta, 1 Desember 2024. Foto: Ambrosius Mulait. |
Setiap tanggal 1 Desember, aksi pemuda Papua di Jakarta menjadi pengingat akan kompleksitas relasi antara Papua dan Indonesia, yang sering kali disederhanakan dalam narasi sejarah resmi.
Seperti dalam banyak kasus genosida dan kolonialisme, sejarah kerap dimanipulasi—dihapus, diputarbalikkan, atau disesuaikan—untuk membenarkan dominasi politik dan ekonomi; dan ketika upaya mengingat atau mengoreksi sejarah itu dilakukan, sebagaimana di Papua, ia kerap dibalas dengan stigma “separatis” yang menegasikan legitimasi aspirasi dan pengalaman historis rakyatnya.
Artikel ini mengkaji narasi sejarah Papua yang dilekatkan dalam wacana nasionalisme Indonesia melalui pendekatan dekonstruktif dan kritis. Penulisan ini bertolak dari berbagai mitos sejarah yang diajarkan dalam sistem pendidikan nasional dan kebijakan negara yang memperlakukan Papua bukan sebagai subjek sejarah, melainkan sebagai objek aneksasi. Berangkat dari upaya membongkar delapan mitos utama yang menyertai pengintegrasian Papua ke Indonesia, tulisan ini menyoroti bagaimana sejarah telah digunakan sebagai instrumen ideologis untuk membenarkan kekuasaan kolonial internal. Kajian ini merekomendasikan pembacaan ulang sejarah Indonesia-Papua secara partisipatoris, egaliter, dan kontekstual, agar keadilan historis dan politik dapat dicapai.
Pendahuluan
Narasi sejarah bukanlah representasi netral dari masa lalu, melainkan konstruksi yang sarat kepentingan ideologis. Dalam konteks Papua, narasi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia lebih banyak memuat versi dominan dari pusat kekuasaan, khususnya Jawa, tanpa mempertimbangkan fakta-fakta sejarah lokal Papua. Hal ini berdampak pada marginalisasi identitas dan aspirasi politik orang Papua, yang secara historis memiliki dinamika berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Seperti diungkap oleh Said (1993), dominasi narasi pusat atas pinggiran merupakan praktik kolonialisme pengetahuan yang menjadikan "yang lain" sebagai objek tanpa suara.
1. Mitos Majapahit dan Papua
Narasi yang menyatakan Papua sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit bersumber dari kitab Negarakertagama. Namun, validitas narasi ini diragukan secara arkeologis dan historiografis (Ricklefs, 2001). Tidak ditemukan bukti material yang menunjukkan adanya kontrol administratif atau budaya Majapahit atas Papua. Narasi ini lebih merupakan bentuk mitologisasi politik untuk memberikan legitimasi historis terhadap integrasi wilayah Papua ke Indonesia.
2. Papua dalam Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda tahun 1928 sering diklaim mencakup seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua. Namun, representasi Papua dalam kongres tersebut sangat problematis. Poreu Ohee dan Aitai Karubaba bukanlah wakil asli Papua, melainkan utusan dari Kesultanan Tidore. Klaim bahwa Papua secara historis ikut serta dalam perumusan identitas nasional Indonesia menunjukkan usaha simbolik untuk menutupi ketidakterlibatan rakyat Papua dalam konsensus nasional tersebut (Chauvel, 2005).
3. Pahlawan Nasional Papua dan Legitimasi Politik
Penetapan beberapa tokoh Papua sebagai pahlawan nasional, seperti Frans Kaisiepo, sering dipakai sebagai argumen bahwa orang Papua mendukung integrasi. Namun, hal ini mengabaikan kenyataan bahwa tokoh-tokoh tersebut dipilih dan diangkat dalam kerangka kepentingan negara, bukan berdasarkan konsensus masyarakat Papua. Dalam literatur pascakolonial, hal ini disebut sebagai "representasi kooptatif" (Spivak, 1988).
4. Legitimasi NKRI atas Papua
Papua bukan bagian dari kedaulatan Indonesia saat pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949. Nugini Belanda sejak 1910 telah dipisahkan secara administratif dari Hindia Belanda. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru terjadi pada 1950 setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Ini menunjukkan bahwa integrasi Papua bukanlah kelanjutan otomatis dari dekolonisasi, melainkan proses aneksasi terpisah (Saltford, 2003).
5. Militerisasi dan Intervensi Asing
Narasi bahwa Belanda menjadikan Papua sebagai pangkalan untuk mengganggu Indonesia tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, Indonesia memobilisasi kekuatan militer besar yang didukung oleh Uni Soviet untuk menginvasi Papua. Intervensi Amerika Serikat melalui diplomasi John F. Kennedy justru menjadi kunci tekanan terhadap Belanda untuk mundur. Papua menjadi bagian dari Perang Dingin dan kalkulasi geopolitik, bukan murni perjuangan dekolonisasi (Drooglever, 2009).
6. Trikora dan Agresi Militer
Pidato Trikora oleh Presiden Sukarno pada 1961 yang menyerukan pembatalan "negara boneka Papua" merupakan bentuk agresi terhadap hak penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh hukum internasional. Integrasi Papua kemudian dijalankan secara koersif, termasuk pemberian konsesi tambang kepada Freeport pada 1967—sebelum ada legitimasi hukum yang sah dari rakyat Papua (Leith, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi lebih dominan dibanding kepentingan pembebasan.
7. 1 Mei 1963: Aneksasi Bukan Pembebasan
Tanggal 1 Mei 1963 yang dirayakan sebagai hari integrasi justru ditandai dengan kekerasan dan perampasan aset oleh militer Indonesia. Kesaksian Pastor Frans Lieshout menunjukkan adanya kekerasan sistematis terhadap rakyat Papua dan penghancuran dokumen sejarah lokal. Tindakan ini mencerminkan pola umum dalam kolonialisme internal di mana memori kolektif lokal dihapus untuk digantikan oleh narasi nasional resmi.
8. PEPERA 1969 dan Demokrasi yang Dipalsukan
Act of Free Choice (PEPERA) 1969 bukanlah referendum yang demokratis. Hanya 1.025 orang dari sekitar 800.000 penduduk Papua yang dilibatkan, dan itu pun di bawah tekanan militer. Resolusi PBB 2504 yang diandalkan Indonesia tidak menyatakan dukungan terhadap legitimasi kedaulatan Indonesia, melainkan sekadar mencatat laporan proses integrasi. Fakta ini menunjukkan bahwa status Papua dalam NKRI tidak berdasar pada prinsip demokrasi (Brundige et al., 2004).
Penutup: Papua Bukan Objek, Melainkan Subjek Sejarah
Sejarah Papua dalam narasi nasional Indonesia menunjukkan bagaimana kekuasaan membentuk kebenaran historis. Papua dijadikan objek dari narasi besar nasionalisme Indonesia, tanpa partisipasi setara dari rakyat Papua sendiri. Mitos-mitos sejarah yang direproduksi melalui kurikulum pendidikan, media, dan diskursus politik menunjukkan kolonialisme epistemik yang membungkam suara Papua.
Dekonstruksi terhadap narasi-narasi ini adalah langkah awal menuju rekonsiliasi historis. Mengakui sejarah Papua secara kritis dan kontekstual berarti membuka ruang bagi pengakuan politik, sosial, dan budaya yang adil. Jika tidak, kekerasan simbolik dan material terhadap Papua akan terus berlanjut.
Narasi sejarah resmi mengenai integrasi Papua ke Indonesia seringkali mengabaikan kompleksitas dan aspirasi rakyat Papua. Klaim historis yang tidak didukung bukti kuat, proses integrasi yang kontroversial, dan dampak sosial-ekonomi yang merugikan masyarakat lokal menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap narasi tersebut. Pendekatan yang lebih inklusif dan menghormati hak menentukan nasib sendiri masyarakat Papua menjadi penting untuk membangun keadilan dan perdamaian di wilayah tersebut.
Daftar Pustaka:
Brundige, E. et al. (2004). Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control. Yale Law School.
Chauvel, R. (2005). Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation. Policy Studies 14. East-West Center.
Drooglever, P. (2009). An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua. Oneworld Publications.
Leith, D. (2003). The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia. University of Hawaii Press.
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200. Palgrave Macmillan.
Said, E. (1993). Culture and Imperialism. Knopf.
Saltford, J. (2003). The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962–1969: The Anatomy of Betrayal. Routledge.
Spivak, G.C. (1988). Can the Subaltern Speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the Interpretation of Culture. University of Illinois Press.
Comments
Post a Comment