Seratus Hari Prabowo: Ketika Sejarah Bercanda Terlalu Jauh
Seratus hari pertama kepemimpinan Prabowo Subianto—mantan menantu diktator Soeharto—telah menegaskan satu hal:
Bangsa ini, alih-alih belajar dari sejarah, justru memilih mengulangnya dalam bentuk yang lebih vulgar.
Sejak pelantikannya pada 20 Oktober lalu, Amnesty International mencatat sedikitnya 17 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan. Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap adanya 136 kasus penyiksaan dalam berbagai bentuk. Angka-angka ini bukan statistik semata, tetapi penanda bahwa represi kini kembali dinormalisasi, bahkan dilembagakan, di bawah kedok "penegakan ketertiban".
Beberapa waktu lalu, saya tak sengaja bertemu dengan seorang mantan diplomat Prancis berinisial HF, yang pernah bertugas di Timor Timur saat negeri itu bergulat menuju kemerdekaan pasca-pendudukan brutal Indonesia. Dengan nada heran sekaligus getir, ia bertanya, “Bagaimana mungkin di Indonesia, seorang mantan penjahat perang bukannya diadili, tetapi malah dipilih menjadi presiden?”
Pertanyaan itu menyayat, karena jawabannya tidak mudah. Maka saya hanya bisa membalas dengan pertanyaan lain: "Menurut Anda, apa yang akan terjadi pada suatu negara jika dipimpin oleh seorang penjahat perang?" Setelah itu, kami berdua diam. Tak perlu ada kata-kata. Kenyataan sudah cukup bising.
Hans Jonas, filsuf Jerman, pernah menyatakan, “In dubio, pro malo”—jika ragu, bersiaplah untuk yang terburuk. Dalam konteks Indonesia hari ini, keraguan sudah tak relevan. Kita tahu siapa pemimpinnya. Kita tahu rekam jejaknya. Maka yang tersisa hanyalah kesiapan menghadapi konsekuensinya: represi yang dilegalkan, kekerasan yang dinormalisasi, dan keadilan yang dikubur dalam retorika nasionalisme sempit.
Prabowo bukan sekadar jenderal tua yang kembali dari masa lalu. Ia adalah simbol dari kegagalan transisi demokrasi Indonesia, kegagalan untuk menuntaskan akuntabilitas atas pelanggaran HAM berat. Dari penculikan aktivis pada 1998, operasi militer brutal di Papua dan Timor Timur, hingga keterlibatannya dalam skenario kelam Orde Baru, Prabowo adalah personifikasi impunitas yang diberi legitimasi elektoral.
Mereka yang mendukungnya akan berkata: “Itu masa lalu. Yang penting sekarang adalah masa depan.” Tetapi bagaimana mungkin membangun masa depan di atas fondasi pelupa dan pengabaian terhadap kejahatan? Demokrasi tanpa ingatan adalah demokrasi yang siap melayani tirani. Dalam sistem seperti ini, kejahatan bukan hanya dimaafkan—ia dihormati.
Dan hari ini, kita menyaksikan sendiri konsekuensinya. Ruang sipil menyempit. Kritik dianggap ancaman. Hukum dikendalikan oleh kekuasaan, bukan sebaliknya. Prabowo tidak mengkhianati demokrasi; ia hanyalah produk dari demokrasi yang dibiarkan membusuk dari dalam.
Seratus hari hanyalah awal. Bila rakyat tidak waspada, maka seribu hari ke depan mungkin hanya akan menjadi parade luka lama yang kembali dibuka, ditertawakan, lalu dibungkam.
Comments
Post a Comment