TAKHTA SUCI DAN HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA BARAT: ANTARA MORALITAS EVANGELIS DAN REALITAS GEOPOLITIK
TAKHTA SUCI DAN HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA BARAT: ANTARA MORALITAS EVANGELIS DAN REALITAS GEOPOLITIK
Berikut adalah kajian akademis dan kritis mengenai peran Takhta Suci dalam isu hak asasi manusia di Papua Barat, dengan merujuk pada dokumen-dokumen penting Gereja Katolik.
Oleh: Wim Anemeke, awam katolik Papua.
I. Pendahuluan
Gereja Katolik, melalui Magisterium-nya, telah menunjukkan kepedulian mendalam terhadap isu-isu sosial dan hak asasi manusia (HAM). Sejak Ensiklik Rerum Novarum (1891) oleh Paus Leo XIII, ajaran sosial Gereja (Catholic Social Teaching) telah berkembang menjadi landasan teologis dan etis dalam membela martabat manusia. Namun, dalam konteks konflik berkepanjangan di Papua Barat, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana Takhta Suci sungguh-sungguh mengedepankan prinsip-prinsip moral yang diwartakannya sendiri, khususnya dalam forum internasional?
II. Perkembangan Doktrin Sosial Gereja dan Hak Asasi Manusia
1. Rerum Novarum (1891)– Paus Leo XIII menyoroti ketimpangan sosial akibat revolusi industri, menegaskan pentingnya keadilan sosial dan perlindungan terhadap kaum miskin. Ini menandai awal dari komitmen Gereja terhadap keadilan struktural.
2. Divini Redemptoris (1937)– Paus Pius XI mengecam komunisme dan menegaskan perlindungan atas hak individu. Ia mengidentifikasi ideologi-ideologi totaliter sebagai ancaman terhadap martabat manusia.
3. Pesan Natal Paus Pius XII (1944) – Dalam konteks Perang Dunia II, beliau menyatakan bahwa “martabat insani manusia adalah martabat citra Allah,” menjadi tonggak eksplisit pengakuan hak asasi manusia sebagai bagian dari wahyu Kristiani.
4. Konsili Vatikan II (1962–1965) – Dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili menegaskan bahwa “segala bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap martabat manusia adalah tidak dapat dibenarkan.” Konsili juga membuka jalan bagi keterlibatan Gereja dalam urusan dunia melalui solidaritas global.
5. Dokumen-dokumen pasca-Konsili:
- Octogesima Adveniens (1971) oleh Paus Paulus VI menyerukan keterlibatan awam dalam membela keadilan.
- Sollicitudo Rei Socialis (1987) oleh Paus Yohanes Paulus II menekankan preferential option for the poor dan kritik terhadap ketidakadilan struktural.
- Caritas in Veritate (2009) oleh Paus Benediktus XVI mengangkat tema globalisasi, pembangunan manusia integral, dan peran aktor-aktor internasional.
- Fratelli Tutti (2020) oleh Paus Fransiskus menyoroti krisis kemanusiaan global dan pentingnya solidaritas lintas bangsa.
6. Deklarasi Dignitas Infinita (2024) – Diterbitkan oleh Dikasteri Ajaran Iman, menegaskan bahwa “pengecaman terhadap pelanggaran serius terhadap martabat manusia adalah kewajiban moral.” Dokumen ini secara eksplisit menyebut pelanggaran HAM sebagai dosa publik yang menuntut suara kenabian Gereja.
III. Papua Barat dalam Lensa Moralitas Gereja
Papua Barat, yang secara historis memiliki pengalaman kolonialisme yang berbeda dari wilayah Indonesia lainnya, mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Namun, proses integrasinya ke Indonesia melalui Pepera 1969 dinilai cacat prosedural oleh banyak pengamat internasional. Studi akademik seperti Drooglever (2005) dan laporan Human Rights Watch menunjukkan pola represi struktural, pelanggaran HAM, dan pemusnahan budaya selama lebih dari enam dekade.
Dalam perspektif ajaran Gereja, hal ini menyangkut isu-isu fundamental seperti:
- Martabat manusia dan hak hidup (lihat Evangelium Vitae, 1995).
- Hak atas identitas budaya dan kebebasan politik (lihat Compendium of the Social Doctrine of the Church, 2004, no. 157–159).
- Hak atas pengungsi dan korban kekerasan negara (lihat Message for World Day of Migrants and Refugees, berbagai tahun).
Namun, secara praktis, Takhta Suci belum menunjukkan keterlibatan langsung atau eksplisit dalam menyuarakan keprihatinan terhadap tragedi kemanusiaan di Papua Barat, berbeda dengan pendekatan terhadap konflik di Ukraina, Venezuela, Myanmar, maupun Palestina.
IV. Politik Moral Takhta Suci dan Dilema Diplomatik
Sebagai entitas diplomatik sekaligus moral, Takhta Suci mengelola hubungan internasional dengan strategi ostpolitik – pendekatan hati-hati yang menghindari konfrontasi terbuka demi menjaga dialog lintas negara. Hal ini menjelaskan keengganan Paus Fransiskus untuk menyebut Papua Barat secara eksplisit saat kunjungannya ke Indonesia (2024), meskipun tekanan datang dari LSM, ordo religius, dan aktivis HAM Katolik, baik lokal maupun global.
Namun, pendekatan ini mulai dipertanyakan mengingat dokumen-dokumen Gereja sendiri telah meletakkan dasar moral yang jelas untuk membela mereka yang tertindas, tanpa syarat pragmatis. Kesunyian dalam kasus Papua Barat tampak seperti bentuk 'omissione scandalosa' – keheningan yang membiarkan ketidakadilan terus berlangsung.
V. Kesaksian Gereja Lokal dan Seruan Profetis
Beberapa Keuskupan di Tanah Papua, seperti Keuskupan Timika dan Jayapura, telah mengeluarkan pernyataan pastoral kritis terhadap kekerasan oleh aparat keamanan. Uskup-uskup Papua menyebutkan bahwa “Papua sedang berdarah” dan meminta solidaritas internasional. Namun, suara ini seringkali tidak mendapat gema memadai dari hierarki Gereja universal.
Sementara itu, ordo-ordo religius seperti Societas Verbi Divini (SVD) dan Ordo Fransiskan juga konsisten menyuarakan keprihatinan akan pelanggaran HAM di Papua Barat. Mereka menyebut diamnya komunitas internasional sebagai bentuk kegagalan moral.
VI. Menuju Tahun Yubelium 2025: Sebuah Panggilan Moral
Dengan Tahun Yubelium 2025 sebagai tahun “pengampunan dan pembebasan”, momentum spiritual ini dapat menjadi titik balik bagi Takhta Suci untuk mengangkat suara kenabian dalam kasus Papua Barat. Berdasarkan ajaran Liberation Theology dan tradisi profetik para Paus terdahulu, Paus Fransiskus memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan keadilan, bahkan jika hal itu berarti berbicara kepada kekuasaan duniawi.
Sebagaimana Yesaya 1:17 menyerukan: “Belajarlah berbuat baik! Usahakan keadilan, kendalikan penindas, belalah hak anak yatim, perjuangkan perkara janda!” Maka, dalam terang Injil dan dokumen Gereja sendiri, mendiamkan penderitaan Papua Barat bukanlah pilihan moral yang dapat dipertahankan.
VII. Penutup
Takhta Suci memiliki kharisma moral dan diplomatik yang unik. Namun keheningan terhadap tragedi Papua Barat menciptakan celah antara ajaran dan tindakan. Jika Gereja Katolik benar-benar ingin menjadi sakramen keselamatan universal, maka martabat manusia di Papua Barat harus diangkat ke forum tertinggi Gereja dan komunitas internasional.
Sebagaimana Paus Yohanes Paulus II pernah berkata: “Damai adalah hasil dari keadilan, bukan pengabaian terhadap yang tertindas.” Dalam semangat ini, suara profetik dari Gereja tidak boleh dibungkam oleh pertimbangan-pertimbangan diplomatik atau kepentingan relasi internasional. Gereja, yang berdiri di atas tradisi kenabian dan keberpihakan terhadap kaum miskin serta tertindas, memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mengutuk kekerasan, tetapi juga secara aktif memediasi perdamaian yang adil.
Diamnya Takhta Suci dalam konteks Papua Barat menimbulkan pertanyaan serius: apakah nilai-nilai Injil tentang keadilan, kebenaran, dan pembebasan hanya berlaku selektif tergantung pada konteks geopolitik? Ataukah Gereja bersedia mengambil risiko demi memperjuangkan mereka yang tidak bersuara di pinggiran sejarah?
Konteks Papua Barat hari ini bukan semata-mata soal politik kemerdekaan, tetapi soal martabat umat manusia yang diinjak-injak, tentang rakyat yang dilucuti hak-haknya atas tanah, bahasa, dan hidup yang aman. Ini adalah soal imago Dei — tentang pengakuan bahwa setiap orang Papua diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan karena itu tidak bisa direduksi menjadi objek kekuasaan negara.
Menuju Tahun Yubelium 2025, yang diwartakan oleh Paus Fransiskus sebagai tahun “pengampunan dan pembebasan,” inilah saatnya bagi Takhta Suci untuk menegaskan kembali perannya sebagai suara kenabian dunia. Dalam tradisi para martir dan nabi, Gereja seharusnya tidak mencari kenyamanan dalam keheningan, melainkan berdiri tegak di tengah badai demi membela yang lemah. Tahun Yubelium bukan sekadar momentum liturgis, tetapi panggilan konkret untuk pembebasan nyata — termasuk bagi rakyat Papua Barat.
Dengan bersuara untuk Papua Barat, Takhta Suci tidak hanya membela satu bangsa, tetapi juga meneguhkan jati dirinya sebagai pelayan harapan bagi dunia yang luka. Sebab, seperti kata Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium: “Damai bukanlah ketenangan steril, tetapi perjuangan untuk keadilan.”
Dan jika memang keadilan adalah ekspresi tertinggi dari cinta, maka cinta harus diwujudkan dengan keberanian. Maka marilah kita berdoa, agar dalam terang Roh Kudus dan suara para kudus, Gereja Katolik universal dapat menyalakan obor harapan bagi saudara-saudari kita di Papua Barat — agar mereka tidak lagi menjadi korban yang dilupakan, tetapi subjek yang dihormati, didengar, dan dibebaskan.
Daftar Pustaka (pilihan):
- Leo XIII, Rerum Novarum, 1891.
- Pius XI, Divini Redemptoris, 1937.
- Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 1965.
- Paus Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, 1987.
- Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate, 2009.
- Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, 2020.
- Dikasteri Ajaran Iman, Dignitas Infinita, 2024.
- Pontifical Council for Justice and Peace,
- Compendium of the Social Doctrine of the Church, 2004.
- Drooglever, P.J., Een Daad van Vrije Keuze?, 2005.
- Human Rights Watch Reports on West Papua (berbagai tahun).
- Laporan Pastoral Keuskupan Timika dan Jayapura (berbagai tahun).
Comments
Post a Comment