Gereja yang Terkunci di Menara Gading
Dalam sebuah wawancara yang sangat mencerahkan dengan 'Hidup Katolik' pada 2019, Kardinal Jakarta, Ignatius Suharyo, melontarkan komentar bijak:
"Banyak orang memberi komentar tentang Papua tetapi belum pernah sampai di sana. Realitas Papua itu sangat kompleks, tidak dapat diselesaikan dalam jangka pendek".
Ironis, tentu saja, karena ucapan itu datang dari seseorang yang—yah—juga bukan orang Papua dan tampaknya lebih akrab dengan karpet merah Vatikan daripada lumpur Wamena. Tapi tentu, kita semua tahu, realitas Papua terlalu kompleks untuk diserahkan kepada orang Papua sendiri.
Lalu, di tahun 2021, Sang Kardinal kembali menunjukkan kebijaksanaan surgawi dengan menyatakan bahwa Gereja Katolik "mendukung sikap pemerintah karena dijamin oleh hukum internasional."
Wah, luar biasa. Rupanya Injil kini punya cabang hukum baru: Bab Hukum Internasional, pasal "Ikut Saja Negara, Asal Aman".
Tak heran jika banyak orang Papua merasa seperti dijadikan figuran dalam drama besar bernama "Papua Damai versi Jakarta". Dari dua pernyataan ini, pesan yang tersirat amat jelas: konflik Papua bukan urusanmu, bukan urusanku, melainkan urusan para elit dengan gelar panjang dan ruangan ber-AC. Gereja? Tentu saja gereja ikut siapa yang pegang kuasa. Itu kan Injil versi terbaru.
Dan sejak tahun 2025? Hening. Sunyi. Bungkam. Tak satu pun pernyataan keluar dari mulut Sang Kardinal tentang konflik di tanah Cenderawasih. Mungkin beliau sedang retret abadi, atau mungkin sedang sibuk menyusun doa-doa agar suara umat tak terlalu keras terdengar sampai ke altar pusat.
Ketika saya berdiskusi dengan teman-teman Katolik, ada yang berkata para uskup sedang diam agar tidak memperkeruh situasi. Lucu juga—seakan-akan situasinya belum cukup keruh. Ada pula yang percaya ada diplomasi diam-diam. Tentu saja, diplomasi diam itu sangat efektif—apalagi jika diamnya total dan tanpa hasil.
Tapi ada satu yang tidak tahan lagi dan meledak: "Hampir semua pemimpin Gereja di negeri ini adalah pecundang. Gembala upahan yang lari saat serigala datang." Pedas? Mungkin. Tapi sayangnya, tidak terlalu jauh dari kenyataan.
Contohnya? Silakan lihat kasus viral di Sikka, NTT—di mana Keuskupan Maumere, melalui PT Kristus Raja (ya, bahkan nama perusahaannya pakai nama Kristus!), menggusur masyarakat adat demi proyek mulia yang entah injilnya dari mana.
Atau lihat Keuskupan Merauke yang dengan penuh semangat pelayanan mendukung pembabatan dua juta hektar hutan Papua demi proyek negara. Demi rakyat? Tidak. Demi surga? Jangan mimpi!
"Buahnya akan menunjukkan siapa mereka," kata Yesus. Tapi kalau buahnya penindasan, ketidakpedulian, dan kompromi terhadap keadilan, lalu siapa sebenarnya yang sedang dilayani oleh gereja?
Jadi, masihkah orang Papua berharap pada Gereja Indonesia? Jawaban saya, sederhana saja: Tidak!
Gereja yang diam adalah gereja yang mandul. Gereja yang memihak tirani adalah gereja yang sudah menggadaikan jiwanya. Dan gereja yang menindas kaum miskin, lebih hina dari para pemungut cukai zaman Yesus.
Gereja seharusnya menjadi benteng terakhir bagi mereka yang tertindas. Tapi ketika gereja ikut menghancurkan harapan, maka siapa lagi yang bisa diandalkan?
Ditulis oleh Wim Anemeke,
Awam Katolik Papua.
Comments
Post a Comment