GEREJA TANPA MARTABAT
Dalam sebuah wawancara dengan "Hidup Katolik" pada 2019, Kardinal Jakarta Ignatius Suharyo menyindir: "Banyak orang berkomentar tentang Papua tetapi tidak pernah berada di sana. Realitas Papua itu sangat kompleks, tidak dapat diselesaikan jangka pendek."
Di lain kesempatan pada 2021, prelatus asal Jawa yang kini berusia 74 tahun ini menegaskan bahwa "Sikap resmi Gereja Katolik terkait isu Papua sangat jelas, yakni mendukung sikap pemerintah (Indonesia), karena dijamin oleh hukum internasional".
Dua pernyataan Kardinal Indonesia tersebut sangat menyakiti perasaan orang Papua, menimbulkan kesan bahwa menyelesaikan konflik di Papua adalah urusan segelintir ahli, dan apapun yang terjadi, Gereja akan mengutamakan kepentingan pemerintah pusat di Jakarta dari pada aspirasi rakyat setempat.
Sejak awal tahun 2025, tidak ada pernyataan dari Kardinal Suharyo terkait konflik yang terus berkecamuk di Bumi Cenderawasih. Semua pimpinan Gereja di Indonesia praktis bungkam. Mengapa demikian?
Saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman Katolik Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa para uskup memilih diam untuk tidak memperkeruh situasi. Ada pula yang berasumsi bahwa para uskup sebenarnya sedang melakukan diplomasi diam-diam dengan pemerintah.
Hanya satu yang berani bersikap kritis. "Hampir semua pemimpin Gereja di negeri ini adalah pecundang. Mereka seperti gembala upahan yang tidak segan-segan mengorbankan dombanya demi keselamatan diri sendiri," ujarnya.
Peristiwa yang viral di media sosial baru-baru ini terkait pengusiran paksa sebagian masyarakat adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur, oleh PT Kristus Raja milik Keuskupan Maumere, menunjukkan betapa jauhnya Gereja di Indonesia dari ideal injili.
Begitu pula dengan apa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya di Keuskupan Merauke, Papua Selatan, di mana uskup setempat secara terbuka mendukung pemerintah untuk membuka lebih dari dua juta hektar hutan untuk proyek-proyek strategis negara, padahal hal ini jelas bertentangan dengan ajaran sosial Gereja!
Benarlah apa yang dikatakan Yesus tentang pemimpin agama palsu dalam Injil Matius 7:16: "Dari buahnya kamu akan mengenali mereka".
Nah, apa lagi yang bisa diharapkan orang Papua dari Gereja Indonesia? Jawaban saya: "Tidak ada!"
Gereja yang diam adalah gereja yang tidak berdaya. Gereja yang menindas orang miskin adalah gereja yang tidak bermartabat. Dan sesungguhnya, tidak ada gereja yang lebih hina daripada gereja yang mendukung tirani.
Sebagai pelindung umat Tuhan, Gereja dituntut untuk berpihak kepada yang lemah dan terpinggirkan, alih-alih mengeksploitasi ketidakberdayaan mereka. Gereja harus berperan dalam menyelamatkan masyarakat adat yang hak hidupnya dilanggar karena politik negara.
Dalam konteks ini, Gereja Indonesia patut dikritik karena kurangnya keberpihakan terhadap penduduk asli Papua,
Ditulis oleh Wim Anemeke, awam Katolik Papua.
Comments
Post a Comment