Papua: Luka Lama yang Sengaja Dibiarkan Terbuka
Konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) telah berlangsung selama lebih dari enam dekade dan hingga hari ini, tak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Jika konflik ini berlangsung di negara lain, dunia internasional mungkin sudah lama angkat suara. Namun karena ini terjadi di wilayah terpencil Indonesia, kekerasan seakan dipelihara dalam diam.
Dahulu, para pejuang Papua hanya bersenjatakan busur, panah, dan senapan rakitan. Kini, senjata konvensional telah menjadi bagian dari perlawanan. Ini bukan sekadar pertanda modernisasi perlawanan, tapi juga cerminan kegagalan negara menyelesaikan akar konflik: aneksasi, diskriminasi, dan penindasan sistematis terhadap rakyat Papua.
Pemerintah pusat Jakarta terus berlindung di balik narasi keamanan nasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa yang disasar bukan hanya kelompok bersenjata, tetapi juga warga sipil. Rumah dibakar, desa dikosongkan, perempuan dan anak-anak dipaksa mengungsi ke hutan. Laporan demi laporan mengungkap penyiksaan, pemerkosaan, hingga eksekusi di luar proses hukum. Jika ini bukan kejahatan kemanusiaan, lalu apa?
Indonesia memang telah menandatangani Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977—tapi hingga kini, tak satu pun dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional. Ini menjadikan semua operasi militer di Papua Barat sejak 1963 sebagai tindakan ilegal secara hukum internasional. Dan lebih parahnya lagi: operasi-operasi militer tersebut dilakukan tanpa persetujuan DPR-RI, yang berarti secara konstitusional pun cacat.
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga mengkhianati prinsip-prinsip negara hukum yang dijunjung dalam UUD 1945. Negara yang membanggakan demokrasi ini justru mempertontonkan wajah kolonialisme baru di Papua.
Mengapa dunia diam?
Mengapa belum ada pertanggungjawaban?Jawabannya mungkin terletak pada satu hal: Statuta Roma. Indonesia menolak meratifikasi dokumen pendirian Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 1998, tahun ketika transisi demokrasi seharusnya membuka jalan bagi keadilan. Penolakan ini jelas bukan kebetulan. Tanpa keanggotaan di ICC, Indonesia tak bisa dipaksa duduk di kursi pesakitan meski bukti kejahatan berat menumpuk dari tahun ke tahun.
Namun perlu dicatat: ketidakhadiran Indonesia dalam ICC tidak serta-merta menghapus tanggung jawabnya. Negara-negara lain tetap dapat meminta penyelidikan, apalagi jika pelanggaran menyentuh batas tertentu—seperti genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung sistematis dan meluas. Dan di Papua, semua indikator itu ada.
Sebuah Penjajahan yang Dilegalkan?
Kita tak akan pernah benar-benar memahami luka Papua jika tak berani menoleh ke sejarah yang coba dikubur. Pada 1 Desember 1961, Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belanda, lengkap dengan bendera, lagu kebangsaan, dan struktur pemerintahan. Sebuah momen yang mestinya menjadi awal kebebasan. Namun, harapan itu dirampas secara brutal hanya dalam hitungan tahun.
Indonesia, melalui operasi militer Trikora yang diumumkan langsung oleh Presiden Soekarno, melancarkan invasi bersenjata ke wilayah yang secara hukum belum menjadi bagian dari Indonesia. Invasi ini bukan penyatuan—melainkan aneksasi. Dan puncaknya adalah sandiwara yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969: hanya 1.026 orang "dipilih" dari populasi ratusan ribu, untuk mewakili kehendak seluruh rakyat Papua, di bawah pengawasan militer dan bayang-bayang kekerasan.
Referendum? Samasekali bukan. Pepera itu teater kekuasaan. Sebuah pertunjukan yang dirancang agar hasilnya sesuai dengan kepentingan Jakarta, sementara dunia internasional—yang tahu betul bahwa proses ini cacat secara moral dan hukum—memilih menutup mata. Bungkamnya dunia menjadi segel pengesahan atas penjajahan yang dibungkus diplomasi.
Sejak itu, Papua hidup di bawah bayang-bayang kekerasan negara. Diperkirakan lebih dari 500.000 orang Papua tewas dalam operasi militer, penumpasan, dan pembunuhan sistematis. Angka ini lebih besar dari jumlah korban di Timor Leste sebelum kemerdekaannya.
Namun anehnya, Papua nyaris tak mendapat perhatian internasional. Mengapa? Apakah karena mereka orang kulit hitam? Apakah karena Papua kaya emas dan tembaga?
Kita harus jujur: ini bukan sekadar konflik. Ini adalah penjajahan gaya baru—diperkuat dengan senjata, didiamkan oleh hukum, dan diselimuti oleh propaganda nasionalisme. Di saat dunia berbicara tentang hak asasi manusia, Papua Barat terus berdarah.
Sampai Kapan Diam?
Diamnya masyarakat Indonesia dan komunitas internasional hanya akan memperpanjang penderitaan orang Papua. Jika hukum nasional gagal, dan hukum internasional diabaikan, maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah solidaritas global.
Dunia pernah bersatu untuk membebaskan Timor Leste. Dunia juga pernah menekan Afrika Selatan untuk mengakhiri apartheid. Mengapa tidak untuk Papua?
Karena pada akhirnya, ini bukan hanya soal Papua. Ini soal keberanian kita menolak kekerasan yang dibungkus hukum, dan menuntut pertanggungjawaban dari negara yang mengaku demokratis, namun bertindak seperti penjajah di tanahnya sendiri.
Comments
Post a Comment