Konferensi Bandung: 70 Tahun Janji Manis untuk Papua Barat?

Tanggal 18 April 2025 menandai peringatan 70 tahun Konferensi Bandung, yang juga dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika (KAA) Pertama.

Peristiwa besar pasca-Perang Dunia II ini mempertemukan para perwakilan dari negara-negara yang baru merdeka untuk menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya, yang saat itu semakin diperburuk oleh ketegangan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.


Sekilas tentang KAA

Kota Bandung, yang pada masa kolonial Hindia Belanda dikenal sebagai 'Parijs van Java' karena keindahan dan suasana Eropanya, dipilih sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pertama yang berlangsung dari 18 hingga 24 April 1955.

Lebih dari seribu perwakilan dari dua puluh sembilan negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, serta sekitar tiga puluh gerakan pembebasan nasional seperti Front Pembebasan Nasional Aljazair, Neo-Destour Tunisia, dan Istiqlal Maroko, berpartisipasi dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut. Di antara kepala negara yang hadir, terdapat Sukarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Chou Enlai (Tiongkok), dan Gamal Abdel Nasser (Mesir).

Dasasila Bandung, sepuluh prinsip hasil KAA, menegaskan komitmen terhadap hak-hak dasar masyarakat terjajah dan menjadi landasan moral perlawanan bagi bangsa-bangsa yang masih berada di bawah dominasi kolonialisme dan imperialisme. Beberapa tahun setelah konferensi tersebut, semangat solidaritas yang ditumbuhkan mendorong kemerdekaan sejumlah negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. 


Janji yang dikhianati

Kemenangan Revolusi Kuba yang menggulingkan rezim otoriter Fulgencio Batista yang didukung AS pada 1 Januari 1959, serta kemerdekaan Aljazair dari penjajahan Prancis pada 5 Juli 1962, merupakan tonggak penting pasca KAA. Kedua peristiwa tersebut mempercepat gelombang pembebasan nasional di Dunia Ketiga, menginspirasi negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menuntut kemerdekaan serta menentang dominasi kolonial dan imperialisme global.

Namun kini, idealisme dan semangat Bandung tampaknya telah menguap, seiring berjalannya waktu dan perubahan dinamika global yang mengarah pada pergeseran kekuatan. Biarpun banyak negara Dunia Ketiga telah meraih kemerdekaan, kenyataannya, bentuk-bentuk baru kolonialisme dan imperialisme masih sangat terasa di beberapa belahan dunia.

Meskipun dekolonisasi mengakhiri pengendalian langsung atas berbagai negara, namun hal tersebut tidak mampu mengakhiri eksploitasi dan campur tangan negara-negara adidaya dalam urusan politik dan ekonomi di negara-negara yang didekolonisasi.

Mayoritas negara Dunia Ketiga, termasuk yang menampilkan diri sebagai pembela setia kemerdekaan nasional, atau bahkan sosialisme, pada kenyataannya justru memihak kepada kubu imperialis yang mereka klaim sebagai lawan.

Sebagian besar dari mereka telah mengobral aset-aset yang sebelumnya dinasionalisasi dalam perekonomian masing-masing, semata-mata demi harapan untuk dapat berperan dalam ekonomi global sebagai pemasok bahan mentah atau subkontraktor bagi perusahaan-perusahaan multinasional.

Dengan sedikit sekali pengecualian, mereka bahkan tidak lagi menunjukkan itikad untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ketidakadilan ini terasa semakin memuakkan ketika beberapa negara pelopor KAA justru mempraktikkan bentuk-bentuk penindasan yang mereka kecam sebagai warisan kolonial kuno.


Aneksasi atau Integrasi Papua Barat

Hal ini terutama berlaku bagi Indonesia, yang pada era 1960-an, atas nama perjuangan anti-kolonial, mengambil alih wilayah Papua Barat.

Ketika Indonesia secara resmi merdeka dari Belanda pada tahun 1949, Papua Barat tetap berada di bawah kendali Belanda hingga 1 Desember 1961. Pengalihan kedaulatan dijanjikan kepada rakyat Papua Barat sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1971.

Kala itu Papua Barat tercatat dalam daftar dekolonisasi Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut masih menjalani proses pembebasan dari kolonialisme, dengan harapan dapat memperoleh kemerdekaan dan menentukan nasibnya sendiri melalui proses politik yang adil dan transparan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan resolusi internasional.

Namun, proses dekolonisasi yang sejatinya berjalan damai itu tiba-tiba terhenti akibat kampanye militer Trikora yang dilancarkan oleh Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961, dengan tujuan untuk menggabungkan Papua/Irian Barat ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa ini terjadi hanya tiga minggu setelah Nieuw-Guinea Raad, yang merupakan parlemen Papua saat itu, dengan tegas memproklamasikan kemerdekaan Papua Barat. Keputusan tersebut seharusnya dihormati, mengingat hak untuk menentukan nasib sendiri adalah prinsip dasar yang dilindungi oleh tatanan internasional.

Konfrontasi bersenjata singkat sempat terjadi antara pemerintah Indonesia dan Belanda, hingga akhirnya Presiden Sukarno berhasil mendorong integrasi Papua (Irian Barat) ke dalam NKRI melalui sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1962 di bawah pengawasan PBB. Namun, proses tersebut berlangsung tanpa keterlibatan langsung dari perwakilan rakyat Papua, padahal merekalah yang seharusnya menjadi pihak utama dalam menentukan masa depan wilayahnya.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana kita dapat menjelaskan bahwa Presiden Sukarno, yang merupakan pemimpin ikonik Konferensi Asia-Afrika, membiarkan dirinya melanggar prinsip-prinsip yang dahulu ia perjuangkan? 

Masihkah ia mengingat pernyataan tegas yang pernah ia gaungkan dalam pembelaannya di hadapan pengadilan kolonial Hindia Belanda di Bandung, pada 1 Desember 1930—bahwa setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri, dan bahwa sejarah dunia tidak pernah bersikap netral, melainkan selalu berpihak kepada mereka yang dengan tekad dan ketulusan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya?

Dan bagaimana pula dengan solidaritas internasional, khususnya di kalangan negara-negara Dunia Ketiga? Mengapa hingga saat ini masih ada keheningan terkait penderitaan yang terus dialami oleh rakyat Papua Barat setelah referendum Pepera 1969 yang kontroversial, yang hanya disetujui oleh 1.025 orang Papua dari 800.000 yang seharusnya terlibat?


Semangat Bandung untuk Papua Barat

Di akhir uraian ini, saya teringat kembali sebuah demonstrasi yang digelar oleh sejumlah mahasiswa Papua pada bulan Desember 2023, di depan Gedung Merdeka, Bandung, tempat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika.

Aksi ini, meskipun relatif kecil, memiliki makna simbolis yang mendalam. Seolah-olah para pemuda Papua tersebut berseru kepada pemerintah Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga:

"Apakah Dasasila Bandung juga berlaku bagi kami, orang Melanesia di Papua Barat? Ataukah ini hanya sekadar konsep atau janji yang tak terwujud?"

Tujuh puluh tahun setelah Konferensi Asia Afrika pertama, dunia masih dihadapkan pada berbagai tantangan geopolitik yang menuntut solidaritas dan kerja sama lintas bangsa. Sebagai bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, sudah saatnya kita membangun kembali kesadaran antikolonial yang sejati.

Semangat Bandung 1955 tidak boleh hanya menjadi catatan sejarah. Ia harus dihidupkan kembali sebagai kompas moral. Kita tidak boleh berpaling dari perjuangan rakyat Papua Barat yang hingga kini terus memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai sebuah bangsa. Mendukung mereka merupakan wujud nyata dari komitmen kita terhadap nilai-nilai fundamental kebebasan dan keadilan bagi semua.

Mahasiswa Papua berdemonstrasi di depan Gedung Merdeka Bandung, Museum KAA, 2023.

Dasasila atau Sepuluh Prinsip Deklarasi Bandung 1955:

  1. Menghormati hak asasi manusia yang fundamental dan tujuan serta prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
  3. Mengakui kesetaraan semua ras dan kesetaraan semua bangsa, baik besar maupun kecil.
  4. Menolak intervensi atau campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri, baik sendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan Piagam PBB.
  6. Menolak tindakan atau ancaman agresi atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun.
  7. Menyelesaikan semua sengketa internasional dengan cara damai, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, atau penyelesaian hukum.
  8. Memajukan kepentingan dan kerja sama bersama.
  9. Menghormati keadilan dan kewajiban internasional.
  10. Tidak menggunakan pengaturan pertahanan kolektif untuk melayani kepentingan tertentu dari salah satu negara besar; dan tidak memberikan tekanan kepada negara lain.


70 Tahun Janji Anti-Kolonialisme, Papua Barat Masih Terjajah!
  • Meski Konferensi Asia-Afrika menjunjung prinsip anti-kolonialisme dan hak asasi manusia, realitas di Papua Barat menunjukkan kontradiksi. Menurut Amnesty International, lebih dari 100 orang Papua terbunuh dalam operasi keamanan antara 2018–2023. Komnas HAM RI mencatat peningkatan pengaduan kasus kekerasan bersenjata dan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat.
  • Ketimpangan Sosial dan Ekonomi: Papua bersama NKRI tetap berada di belakang. Janji kemerdekaan tidak berarti keadilan sosial bagi semua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2023): Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua: 61,39 (terendah di Indonesia). Tingkat kemiskinan Papua 26,03%, jauh di atas rata-rata nasional 9,57%. Rasio dokter per 100.000 jiwa: Papua 9 dokter, nasional rata-rata 39 dokter.
  • Kolonialisme Ekonomi: Sumber Daya Alam (SDA) dikeruk, Rakyat tak diberdayakan. Papua menyumbang sumber daya strategis, namun rakyatnya tidak menikmati hasilnya. Sebagai contoh: Tambang Grasberg di Mimika (Freeport McMoRan) adalah salah satu tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang menyumbang 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, namun hanya sekitar 1,5% dari royalti masuk ke kas daerah Papua (Sumber: Laporan Freeport & Kementerian ESDM).
  • Kecurangan Pepera 1969: Fakta Bukan Sekadar Narasi. “Penentuan nasib sendiri” adalah prinsip utama KAA, namun hal ini diabaikan oleh Indonesia dalam pelaksanaan Pepera. Fakta dari arsip PBB dan sejarawan internasional menunjukan bahwa dari sekitar 800.000 penduduk Papua, hanya 1.025 orang dipilih untuk "bermusyawarah" di bawah tekanan militer. Diplomat AS Frank Galbraith menyebut Pepera “dirancang untuk menghasilkan hasil yang telah ditentukan”.
  • Demografi dan Transmigrasi: Minoritas di Negeri Sendiri. Proyek transmigrasi telah mengubah wajah Papua. Data BPS 2020 menunjukkan: Penduduk asli Papua di Jayapura, kini hanya sekitar 35%. Penduduk migran menguasai sektor ekonomi formal, sementara OAP (Orang Asli Papua) tersisih di pinggiran kota.
  • Membawa kembali semangat Konferensi Bandung berarti menghadirkan keadilan sejati bagi Papua, bukan hanya secara simbolik, tapi melalui kebijakan konkret yang menghormati hak, martabat, dan masa depan rakyat Papua.

Comments