Ambrosius Mulait: Dari Wamena ke Jakarta, Perjuangan Tanpa Henti untuk Papua
Ambrosius Mulait:
Dari Wamena ke Jakarta, Perjuangan Tanpa Henti untuk Papua
Beberapa tahun lalu, saya sempat mampir ke sebuah asrama mahasiswa Papua di Jakarta. Disambut hangat oleh teman-teman asrama, saya dikenalkan dengan Ambrosius Mulait, atau biasa dipanggil Ambros. Dia ini ketua Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua di Indonesia (AMPTPI) yang sudah hampir 20 tahun menyuarakan aspirasi orang Papua di seluruh Indonesia.
Ngopi-ngopi santai sama Ambros, obrolan berubah jadi serius banget:
Papua, yang sudah jadi bagian Indonesia sejak 60-an, punya masalah rumit. Di bawah Presiden Jokowi, pelanggaran HAM makin sering terjadi. Orang Papua makin curiga sama pemerintah. Proyek pembangunan yang dibanggakan Jokowi kadang malah bikin rusak lingkungan, budaya, dan penuh diskriminasi ras.
Ambros, yang saat itu berumur 29 tahun, asli Wamena, lulusan Magister Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), sekarang tinggal di Jakarta. Perjalanannya dari Wamena ke ibu kota, jaraknya 4.000 km, benar-benar penuh liku.
“Setelah lulus SMA di Wamena 2012, aku mau kuliah teknik komputer di USTJ Jayapura. Tapi setelah sampai, dapat kabar bapakku sakit. Dengan sisa uang 400 ribu, aku buru-buru balik Wamena naik Trigana. Sayangnya, bapak meninggal sebulan kemudian. Karena situasi keluarga, aku putus kuliah dan mulai kerja. Tapi ibu selalu dorong aku untuk terus sekolah.
Dari hasil jual noken buatan ibu, aku kumpulin 5 juta dan berangkat ke Jakarta. Teman bilang aku bisa daftar ke STIPAN. Aku diterima dan lulus 2016. Lanjut S2 di IPDN sampai 2020,” cerita Ambros dengan bangga.
Sejak 2013, Ambros dan teman-temannya aktif aksi damai memperjuangkan HAM Papua. Dia sering nongkrong di warnet baca berita dari media independen karena info tentang Papua banyak yang disembunyikan pemerintah.
Ambros ingat cerita ibunya soal kekejaman tentara Indonesia pas operasi militer Koteka 1977—saudara ibunya jadi korban. Dia sadar sejarah yang diajarkan di sekolah itu beda banget dengan kenyataan.
“Sejak kecil, kami dicuci otak buat percaya cerita pemerintah soal ‘kejayaan’ Majapahit yang katanya sampai Papua, padahal nggak ada buktinya. Pemerintah bilang beberapa tokoh Papua dulu mendukung kemerdekaan Indonesia, padahal nggak benar. Penaklukan Papua dari operasi Trikora 1961, Perjanjian New York 1962, dan ‘Act of Free Choice’ 1969 itu dikemas seperti kisah heroik.”
Di Jakarta, Ambros lihat sendiri betapa sulitnya hidup banyak orang. “Aku mikir, kok Jakarta janji kemakmuran buat Papua, tapi di sini orang masih banyak yang susah? Ternyata, Papua yang dibutuhkan Indonesia, bukan sebaliknya.”
Jargon-jargon seperti “NKRI harga mati” dan “dari Sabang sampai Merauke” cuma jadi alat pemerintah buat menindas yang mau merdeka.
Ambros dan teman-teman dari AMPTPI terus berjuang lewat demo dan seminar. Setiap demo, dia bikin press release, cetak, dan sebarkan ke mahasiswa dan dosen supaya mereka tahu fakta sebenarnya.
Sayangnya, dosen yang banyak dari militer dan kementerian malah bilang dia nggak patriotik. “Patriotisme mereka cuma omong kosong, mereka tutup mata sama penderitaan orang Papua.”
Tapi ada juga dosen baik hati, seperti Wesly Pandjaitan, orang Batak yang jadi mentor Ambros dan tetap berdiskusi soal Papua sampai sekarang.
Waktu di IPDN, Ambros sempat ditawari kerja nyaman di pemerintahan, tapi dia tolak. “Lebih baik aku berjuang bela hak asasi Papua daripada cari karier enak di pemerintahan yang korup.”
Populasi asli Papua makin menyusut, kurang dari 1% dari total penduduk Indonesia. Kalau nggak ada yang bersuara, mereka bakal hilang seperti Aborigin di Australia.
Rasisme terhadap orang Papua sudah lama dan sistematis. Bahkan di masa Orde Baru Suharto, orang Papua, sama seperti orang Tionghoa, jadi kambing hitam.
Presiden Gus Dur sempat coba memperbaiki, bahkan bendera Bintang Kejora sempat diizinkan dikibarkan. Tapi semua itu hilang setelah Gus Dur lengser.
Tahun 2019 jadi puncak perlawanan damai orang Papua setelah mahasiswa Papua di Surabaya diserang dan dihina “monyet”. Ambros ikut demo damai di Jakarta, mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Presiden, berdampingan dengan bendera Merah Putih.
Pemerintah anggap itu provokasi, Ambros dan teman-temannya ditangkap. Surya Anta, salah satu temannya, jadi tahanan politik pertama yang mendukung kemerdekaan Papua.
Saat dipenjara, Yenny Wahid, anak Gus Dur, sempat datang dan menawarkan jadi penjamin. Tapi Ambros tegas menolak kalau harus memisahkan dirinya dengan Surya dan teman-teman lainnya.
Di pengadilan, Ambros didakwa makar, tapi dia tetap jaga martabat dan didukung banyak pengacara serta simpatisan.
Beberapa intel Papua di pemerintahan bahkan tawari dia kursi DPRD Jayawijaya tanpa pemilihan, tapi dia tolak karena nggak mau darah orang Papua jadi tanggung jawabnya.
Ambros dan kawan-kawan dipenjara 9 bulan. Pernah nggak dia pengen nyerah? “Enggak, kalau aku nggak serius, aku pasti tergoda tawaran jabatan atau fasilitas. Aku cuma mau Indonesia mengakui kesalahannya dan beri Papua hak menentukan nasib sendiri, tapi aku ragu itu bakal terjadi.”
Dia pilih berjuang tanpa kerja sama dengan pemerintah Indonesia, tapi tetap menghargai pejuang Papua yang memilih jalan berbeda dalam Republik Indonesia, seperti almarhum Filep Karma yang merupakan Aparatur Sipil Negara.
Menurut Ambros, kemerdekaan Papua adalah implementasi pembukaan UUD 1945 tentang hak semua bangsa untuk merdeka dan menghapus kolonialisme.
Terima kasih Ambros atas cerita dan perjuangannya. Dia bukti nyata ada yang rela kehilangan segalanya demi kebebasan dan martabat rakyat Papua.
Comments
Post a Comment