Ketika yang Merdeka Belajar Menjajah: Wajah Neo-Kolonialisme di Era Pasca-Kolonial

Ketika yang Merdeka Belajar Menjajah: Wajah Neo-Kolonialisme di Era Pasca-Kolonial

Bayangkan seorang bekas budak yang akhirnya bebas dari belenggu rantai. Tapi tak lama setelah kemerdekaannya, ia mulai mengikat rantai yang sama pada tangan orang lain — bukan karena dipaksa, tapi karena kini ia merasa berhak melakukannya. Beginilah kira-kira potret dunia pasca-kolonial yang jarang dibicarakan: tentang bangsa-bangsa yang dulu dijajah, kini merasa sah menjajah yang lain — bukan dari luar, tapi dari dalam.

Di abad ke-21 ini, kita terbiasa melihat kolonialisme sebagai sesuatu dari masa lalu: Belanda, Inggris, Portugis, dan kekuatan kulit putih lain yang datang dari seberang lautan. Tapi bagaimana kalau penindasan kini datang bukan dari pelaut berkulit pucat, melainkan dari sesama anak bangsa, yang kebetulan lahir di pusat kekuasaan?


Dari Kemerdekaan ke Penaklukan: Ironi yang Tak Pernah Usai

Banyak yang bangga bercerita tentang perjuangan mengusir penjajah. Tapi tak banyak yang mau mengakui bahwa setelah bendera asing diturunkan, sebagian dari kita justru menaikkan bendera sendiri di tanah yang tak pernah rela menjadi bagian dari kita.

Wilayah-wilayah yang jauh dari ibu kota — yang tanahnya kaya, lautnya biru, hutannya rimbun, dan manusianya berbeda warna kulit — menjadi sasaran integrasi paksa. Bukan integrasi sukarela, tapi lebih seperti pernikahan paksa yang disahkan oleh senjata dan diikat dengan janji pembangunan.

"Ini demi keutuhan nasional," kata mereka. Tapi siapa yang dimaksud dengan "kita" di sini? Dan mengapa yang berbeda selalu diminta berkorban demi sebuah mimpi yang bukan miliknya?


Dua Kolonialisme, Dua Gaya Menjajah

Kolonialisme lama memang kejam, tapi setidaknya ia mendokumentasikan apa yang dilakukannya. Para misionaris, etnografer, bahkan serdadu kolonial meninggalkan jejak — catatan, foto, peta, cerita. Sejarah lokal, bahasa ibu, upacara adat: semuanya dicatat, meski dari sudut pandang mereka.

Kolonialisme baru justru lebih rapi dan diam-diam. Ia datang dengan baju dinas dan jargon pembangunan. Ia membakar arsip, menyensor berita, dan melabeli siapa pun yang bersuara lain sebagai ancaman negara. Bahkan wartawan asing yang ingin meliput harus menyamar — dan kalau ketahuan, bisa masuk penjara karena “salah visa”.

Bayangkan: di era satelit dan media sosial, masih ada tempat di mana sejarah dilarang, kamera dimatikan, dan trauma kolektif ditutup rapat. Bukan karena tak ada luka, tapi karena luka itu dianggap memalukan bagi narasi besar tentang “kemajuan”.


Modernisasi yang Meminggirkan

Satu lagi wajah kolonialisme baru: pembangunan. Jalan dibuka, sekolah dibangun, rumah sakit didirikan. Tapi siapa yang diajak bicara sebelum semua itu dimulai? Siapa yang betul-betul diuntungkan?

Ketika tambang emas dibuka, emasnya tidak untuk rakyat. Ketika transmigran datang, tanahnya bukan untuk masyarakat lokal. Ketika aparat dikirim, keamanannya bukan untuk yang sudah lama tinggal di sana.

Di satu sisi kita dengar janji “memajukan daerah tertinggal”. Tapi di sisi lain, kita lihat orang-orang yang digusur dari tanahnya, adat yang ditertawakan, dan bahasa ibu yang tak lagi diajarkan di sekolah.


Waktunya Berhenti Menutup Mata

Kolonialisme tidak selalu datang dengan kapal dan meriam. Kadang ia datang lewat kantor pemerintah, lewat proyek investasi, lewat kurikulum nasional, dan bahkan lewat cara kita menceritakan sejarah.

Kini saatnya kita bertanya: apakah benar kemerdekaan berarti akhir dari penjajahan? Atau hanya pergantian pelaku?

Dekolonisasi yang sejati bukan sekadar mengganti bendera atau bahasa penguasa. Ia menuntut keberanian untuk melihat ke dalam — mengakui luka, menghormati perbedaan, dan memberikan ruang bagi setiap suara untuk menentukan nasibnya sendiri.

Karena tidak cukup hanya pernah dijajah untuk mengerti arti kemerdekaan. Kita juga harus berhenti menjajah — bahkan, dan terutama — bila yang kita jajah adalah saudara sendiri.

Comments