Melawan Lupa: Refleksi atas Sikap Gereja Katolik Indonesia dalam Konteks Pendudukan Timor Leste

Melawan Lupa: Refleksi atas Sikap Gereja Katolik Indonesia dalam Konteks Pendudukan Timor Leste


Pendudukan Timor Leste oleh Indonesia pada periode 1975–1999 merupakan peristiwa sejarah yang penuh dinamika dan tantangan kemanusiaan. Dalam situasi konflik yang diwarnai oleh berbagai pelanggaran hak asasi manusia, peran berbagai institusi, termasuk Gereja Katolik, menjadi hal yang penting untuk dikaji secara jujur dan terbuka.

Gereja Katolik di Timor Leste dikenal sebagai salah satu suara yang berupaya melindungi dan membela hak-hak rakyatnya selama masa sulit tersebut. Namun, dalam konteks yang berbeda, sikap Gereja Katolik Indonesia, yang diwakili oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), terkesan lebih berhati-hati dalam menanggapi situasi tersebut. Sikap ini mengundang berbagai pertanyaan dan menjadi bahan refleksi kritis, terutama mengenai bagaimana institusi keagamaan memposisikan diri dalam menghadapi tantangan moral dan sosial.


Situasi di Timor Leste: Sebuah Gambaran

Setelah masuknya pasukan Indonesia pada akhir tahun 1975 dan aneksasi wilayah Timor Leste, sejumlah laporan dan penelitian mengungkapkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan selama masa pendudukan. Dampak kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat setempat sangat besar, termasuk kehilangan nyawa dan penderitaan yang meluas.

Di tengah kondisi tersebut, Gereja Katolik Timor Leste menunjukkan peran penting sebagai penjaga keadilan dan pembela hak asasi manusia. Salah satu tokoh penting adalah Uskup Carlos Ximenes Belo, yang kemudian meraih Nobel Perdamaian pada 1996 karena perjuangannya membela perdamaian dan hak asasi manusia di Timor Leste.


Seruan Uskup Belo kepada Gereja Katolik Indonesia

Uskup Belo secara konsisten menyerukan agar Gereja Katolik Indonesia, melalui Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengambil sikap yang lebih jelas dan tegas terhadap pendudukan dan kekerasan yang terjadi di Timor Leste. Dalam beberapa kesempatan, Belo mengingatkan bahwa sikap diam atau pasif dari institusi Gereja di Indonesia dapat memperburuk penderitaan rakyat Timor.

Sebagai contoh, dalam sebuah surat terbuka yang dikutip oleh peneliti John G. Taylor dalam bukunya 'East Timor: The Price of Freedom' (1999), Belo menulis:

“Saya mendesak KWI untuk mengutuk invasi yang tidak adil ini dan mengangkat suara bagi mereka yang tertindas. Keheningan bukanlah jawaban; Gereja harus menjadi suara kebenaran dan keadilan.”

(Belo, dikutip dalam Taylor, 1999, hlm. 132)

Namun, seruan ini tidak mendapat tanggapan yang signifikan dari KWI pada saat itu, sehingga peran Gereja Katolik Indonesia dalam isu kemanusiaan di Timor Leste menjadi sorotan kritis.


Sikap Gereja Katolik Indonesia: Sebuah Refleksi

Sikap berhati-hati yang diambil oleh Gereja Katolik Indonesia dalam menanggapi situasi Timor Leste dipandang oleh beberapa akademisi sebagai akibat dari tekanan politik dan kompleksitas hubungan antara Gereja dan negara. Misalnya, Benedict Anderson dalam 'Imagined Communities' (1991) menekankan bagaimana institusi keagamaan di Indonesia sering kali menghadapi dilema antara peran rohani dan dinamika politik nasional.

Kritikus seperti Margaret Sleeboom-Faulkner (2000) dalam artikel 'Church and State Relations in Indonesia: The Case of Timor Leste' menyoroti bahwa sikap kurang vokal KWI dapat dipahami dalam konteks menjaga hubungan dengan pemerintah, meski hal ini berdampak pada legitimasi moral Gereja.


Melawan Ulang Sejarah: Pelajaran untuk Papua

Refleksi atas peristiwa di Timor Leste penting untuk konteks Papua saat ini. Sejarah tersebut mengingatkan bahwa sikap diam atau berhati-hati institusi besar seperti Gereja berpotensi mengulang pola membiarkan penderitaan rakyat tanpa dukungan yang memadai. Sejarah akan menjadi saksi bagaimana Gereja Katolik Indonesia memposisikan diri menghadapi tantangan moral dan sosial. Oleh karena itu, Gereja harus belajar dari masa lalu, mengambil sikap tegas, dan peduli pada keadilan serta hak asasi manusia, terutama di Papua.

Melawan lupa berarti menjaga agar pengalaman masa lalu menjadi pembelajaran berharga. Gereja memiliki tanggung jawab moral menjadi agen perdamaian dan keadilan serta mendukung perlindungan hak asasi manusia tanpa kecuali.

Sejarah pendudukan Timor Leste menjadi pengingat akan pentingnya sikap tegas dan keberanian moral bagi bangsa dan institusi, termasuk Gereja Katolik Indonesia. Dengan sikap reflektif, Gereja dapat berperan konstruktif dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sejati. Semoga refleksi ini memperkuat upaya bersama membangun masa depan lebih adil dan damai.


Seruan Pertobatan dan 'Mea Culpa' kepada Konferensi Waligereja Indonesia

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) perlu mengakui sikap hati-hati dan pasif pada masa pendudukan Timor Leste yang menimbulkan luka dan pertanyaan moral. Pengakuan dosa ('mea culpa') ini penting sebagai langkah pembaruan dan penguatan komitmen Gereja dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan penghormatan hak asasi manusia, terutama bagi yang masih mengalami ketidakadilan seperti di Papua.

Pendudukan Timor Leste bukan sekadar integrasi administratif, melainkan menyimpan penderitaan yang tidak boleh dibenarkan dengan istilah “integrasi” tanpa memandang dampak kemanusiaannya. KWI harus menolak sikap diam yang bertentangan dengan panggilan Injil untuk membela yang tertindas dan membangun perdamaian sejati.

Sejarah harus diluruskan agar tidak menjadi alat pembenaran represi. Melawan lupa berarti mengenang sekaligus memperbaiki arah ke depan. Oleh karena itu, KWI dan seluruh Gereja Katolik Indonesia diajak mengambil sikap tegas dalam membela hak-hak rakyat yang masih berjuang demi keadilan tanpa mengulangi kesalahan masa lalu.

Sebagaimana diingatkan oleh aktivis kemanusiaan George Adi Condro, institusi agama yang diam di tengah ketidakadilan telah mengabaikan panggilan terdalamnya sebagai pelita dunia. Keberanian moral bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban Gereja untuk berdiri di sisi yang benar, meski harus menghadapi kekuasaan yang menindas.

Pemikiran ini menegaskan pentingnya refleksi kritis terhadap sikap Gereja Katolik Indonesia saat masa pendudukan Timor Leste, sekaligus mengingatkan tanggung jawab moral Gereja dalam konteks Papua saat ini.


Rekomendasi Konkret Peran Gereja dalam Mendukung Keadilan dan HAM


1. Mengadopsi Sikap Prophetic dan Kritis

 Gereja harus mengambil posisi yang jelas dan berani sebagai suara kenabian (prophetic voice) dalam menghadapi ketidakadilan. Ini berarti gereja tidak hanya bersikap pastoral dan ritual, tapi juga aktif mengkritisi kebijakan pemerintah atau kekuatan lain yang melanggar hak asasi manusia.


2. Menguatkan Pendidikan Hak Asasi Manusia di Komunitas Gereja

Gereja perlu mengintegrasikan pendidikan HAM dan nilai keadilan sosial dalam pembinaan umat, baik di paroki, sekolah, maupun lembaga pendidikan keagamaan. Hal ini membekali umat agar sadar akan hak-hak mereka dan berani memperjuangkannya secara damai.


3. Mendukung Korban dan Mengadvokasi Keadilan

Gereja harus menjadi tempat perlindungan bagi korban pelanggaran HAM dan menyediakan pendampingan baik secara spiritual maupun hukum. Selain itu, gereja harus aktif mengadvokasi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran secara transparan dan adil.


4. Membangun Dialog dengan Pemerintah dan Lembaga Internasional

Gereja bisa menjadi mediator yang jujur dan berimbang dalam dialog antara rakyat dan pemerintah. Melalui jaringan internasionalnya, gereja juga dapat membawa isu-isu pelanggaran HAM ke perhatian dunia, memberikan tekanan moral bagi pihak yang berkuasa.


5. Mengembangkan Teologi Kontekstual yang Membebaskan

Gereja perlu mengembangkan teologi yang benar-benar kontekstual, yang mengangkat nilai-nilai lokal dan membebaskan, seperti teologi pembebasan atau teologi inkulturasi di Papua dan wilayah konflik lainnya. Ini memperkuat identitas dan perjuangan umat dalam konteks budaya mereka.


6. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Institusi Gereja

Gereja harus transparan dalam sikap dan tindakannya, menghindari kolusi dengan kekuatan penindas. Akuntabilitas internal penting agar gereja tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan yang melanggar HAM.


7. Menginisiasi Aksi Solidaritas dan Kampanye Publik

Gereja dapat mengorganisasi aksi solidaritas bersama masyarakat sipil, misalnya kampanye damai, dialog lintas agama, dan kegiatan sosial yang memperkuat kesadaran kolektif akan keadilan dan kemanusiaan.

Langkah-langkah konkret di atas sejatinya telah dijalankan oleh beberapa jejaring Katolik independen dan gerakan akar rumput, seperti Jaringan Gusdurian Katolik, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) di Papua dan Timor, serta sejumlah ordo religius seperti Serikat Jesuit dan Ordo Fransiskan. Mereka telah terlibat dalam advokasi HAM, pendidikan kritis, dan pendampingan korban secara konsisten. Namun, inisiatif-inisiatif ini masih bersifat lokal atau regional dan belum terintegrasi dalam skala nasional oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana menyatukan suara profetik ini menjadi komitmen institusional gereja secara keseluruhan di tingkat nasional.

Comments